Mum masuk ke kamarku setelah makan malam membawa sebuah kotak besar di tangannya. "Cara, ini gaun—"
Aku mengerang sebelum Mum menyelesaikan kalimatnya, "Jangan gaun yang mengembang Mum!"
"Tentu saja, sayang. Apa kau meremehkan seleraku? Aku sendiri yang memilihnya tadi siang." balas Mum sambil duduk di ujung tempat tidurku lalu membuka kotak dan bungkusan kertas di dalamnya. Mum menarik sebuah gaun beludru berwarna hijau tua, tidak mengembang dan tidak ada pita. Simpel dan sangat elegan. Aku memandang gaun di tangan Mum selama beberapa saat dengan ekspresi terpana.
"Kau menyukainya?" tanya Mum sambil tersenyum lebar.
"Aku sangat… menyukainya."
"Kurasa gaun ini serasi dengan warna matamu." tambah Mum masih dengan senyumnya yang lebar. "Tapi aku belum bisa menunjukkan gaun Prommu sekarang—"
"Tunggu dulu... Ini bukan gaun Promku?" tanyaku dengan bingung.
Mum tertawa kecil sambil menggeleng, "Tentu saja bukan, Cara. Ini hanya gaun biasa. Terlalu sederhana untuk acara Prom. Gaun Prommu baru akan datang besok lusa."
"Tapi gaun ini sudah sempurna." jawabku dengan cepat. "Aku tidak ingin gaun lain." tambahku sedikit memohon. Mum mengerutkan keningnya kepadaku.
"Tapi aku sudah memesannya." balas Mum dengan ekspresi kecewa.
Aku benar-benar menyerah. "Katakan padaku gaun yang satunya tidak mencolok."
Mum mengangkat bahunya, "Yang jelas tidak sesimpel gaun ini."
Ergh. "Okay… Thanks untuk gaunnya, Mum." kataku sambil memeluk ibuku.
"Mum? Kau ingat saat kalian mengadopsiku?" tanyaku tiba-tiba. Mum terdiam sambil mengerutkan keningnya.
"Tentu saja. Tiba-tiba Alex membawamu kepada kami, ia menggandengmu dan menolak melepaskanmu sebelum kami membawamu pulang. Ia bahkan mengancam akan tinggal di panti asuhan itu jika kami tidak bisa mengajakmu pulang hari itu juga." Mum tertawa kearahku, "Memangnya ada apa?"
Aku tersenyum padanya, "Hanya penasaran Mum."
***
Kujatuhkan badanku di atas tempat tidur sambil memandang ke langit-langit kamarku yang dihiasi puluhan bintang, kegelapan membuat sinar yang berpendar menjadi terlihat lebih terang. Tiba-tiba handphoneku berbunyi dari dalam tas, kupaksa tubuhku yang sudah setengah tertidur untuk bangkit.
"Alex, ini sudah malam." gerutuku tanpa melihat caller id. Tidak ada yang akan meneleponku selarut ini kecuali Alex.
"Oh, sorry! Apa aku boleh meneleponmu besok pagi?" Bukan suara Alex yang membalasku tapi suara yang tidak kukenal—kutarik handphoneku menjauh untuk melihat layarnya, sebaris nomor yang tidak kukenal muncul di dalamnya.
"Siapa ini?"
"Vincent, dari kelas Geometri." balasnya.
"Oh, aku kira kakakku. Aku tidak mengecek siapa yang menelepon."
"Yeah…" jawabnya lalu diselingi keheningan yang sedikit canggung, "Jadi Alex adalah kakakmu?" lalu terdengar suara tawa yang gugup.
"Yep. Kau mengenal Alex?" tanyaku sebelum kembali merebahkan tubuhku ke tempat tidur.
"Uhhh… Cara, sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu..." Vincent menghela nafas lalu terdiam.
"Okay?"
"Kurasa aku tidak bisa pergi ke pesta Prom bersamamu." Vincent terdiam menunggu reaksiku.
"Oh... Okay?" Padahal baru siang ini ia mengajakku.
"Ini bukan karena aku tidak ingin mengajakmu... Aku benar-benar ingin mengajakmu. Bahkan hampir setiap hari aku bertanya pada Jen apa sudah ada yang mengajakmu, tapi Jen bilang kau tidak akan pergi ke Prom. Lalu tadi pagi ia—"
"Vincent, ada apa?" potongku.
"Well… ada yang membuatku tidak bisa mengajakmu, Cara." balasnya.
"Karena...?" lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, "Tunggu dulu, apa ada sesuatu yang membuatmu membatalkannya? Seseorang?"
"Y—yeah... semacam itu. Tapi aku tidak bisa memberitahumu."
"Jangan bilang karena—"
"Aku tidak bisa mengatakan alasannya padamu. Sekali lagi maafkan aku, Cara." sebelum aku bisa mendesaknya, Vincent memutuskan sambungan teleponnya. Dengan marah aku keluar dari kamarku lalu menuju ke bawah. Orangtuaku yang sedang menonton Tv di ruang keluarga menoleh saat aku memasuki ruangan.
"Dad. Dimana. Alex." tanyaku dengan menggertakkan gigiku. Kali ini ia sudah benar-benar keterlaluan.
"Alex sudah kembali ke apartemennya, Cara." jawab Dad, "Ada apa?"
"Kapan ia kembali ke apartemennya?" tanyaku lagi.
"Setelah makan malam, ya kan?" Dad memandang Mum.
"Alex sialan." Gumamku dengan suara pelan, lalu aku berjalan kembali ke kamarku.
"Ada apa, Cara?" Mum bertanya dari bawah.
"Aku tidak akan pergi ke Prom!" seruku dengan marah dari depan kamarku, lalu membanting pintunya hingga menutup.
Selama beberapa saat aku hanya berputar-putar di dalam kamarku berusaha untuk mendinginkan kepalaku. Alex! Berani-beraninya ia mengancam Vincent untuk membatalkan ajakan Promnya. Padahal baru siang ini aku memberitahunya untuk tidak mencampuri urusanku. Kepalaku hampir meledak karena kemarahanku. Aku tidak akan memaafkan Alex! Kali ini ia sudah sangat keterlaluan. Sesaat aku berpikir untuk meneleponnya, tapi aku yakin apapun yang kukatakan saat ini tidak akan bisa masuk ke dalam kepalanya yang keras.
Malam itu aku tidur dengan perasaan kesal dan marah, jika ada nasehat yang mengatakan jangan pernah membiarkan wanita tidur dengan perasaan marah… Well, itu benar sekali.
Keesokan paginya aku bangun dengan perasaan yang tidak lebih baik dari kemarin. Kupejamkan mataku sejenak lalu melirik jam di meja kecilku yang menunjukkan pukul 10 pagi. Kupejamkan mataku lagi perlahan, lalu seperti disiram seember air es aku melompat dari tempat tidurku dan berlari ke bawah. Mum sedang berada di dapur, membaca sebuah buku resep. Ia mendongak ketika melihatku masuk, "Pagi—"
"Mum! Kenapa tidak membangunkanku?! Ini sudah jam sepuluh!" Pekikku.
"Selamat pagi juga, sayang. Kupikir kau ingin tidur lebih lama." Jawab Mum sambil kembali membaca buku resep di depannya.
"Mum! Aku terlambat dan sekarang aku harus membolos!" Aku duduk di seberang Mum lalu meletakkan kepalaku di meja makan dengan dramatis.
"Cara... Ini hari Sabtu." Mum memandangku seakan aku sudah gila lalu menggelengkan kepalanya. Ini hari Sabtu?
"Oh." Balasku dengan lemah, sekarang kepalaku terasa pusing karena tiba-tiba harus bangun sebelum sempat mengumpulkan nyawaku.
Mum mendongak lagi dari buku resepnya, "Kau butuh bantuan bersiap-siap untuk nanti sore? Pakai gaun yang kubelikan kemarin, okay? Tadi pagi Alex mampir kesini, ia bilang akan menjemputmu jam dua siang."
Sekarang aku yang memandang Mum dengan bingung. Mum melihat ekspresiku selama beberapa saat lalu melotot. "Oh, jangan bilang Alex belum bilang padamu!" Mum menutup buku resepnya dengan keras sebelum menatapku dengan wajah murka. "Hari ini adalah malam bulan purnama pertama. Alex harus memperkenalkanmu secara resmi dalam Pack meeting sebagai mate, Cara.", Mum memijat pelipisnya dengan frustasi, "Dan ia lupa memberitahumu?!"
Aku melongo memandang Mum, Pack meeting? Memperkenalkanku secara resmi? Malam ini? Tiba-tiba perasaan marahku pada Alex kembali lagi, kali ini lebih parah.
"Aku tidak akan pergi." gumamku dengan marah sambil berdiri.
Mum mendongak ke arahku, "Cara... kau harus pergi. Ini adalah acara yang penting bagi Pack."
"Well, aku bukan bagian dari Pack, kan?" balasku sambil berjalan kembali ke kamar dengan langkah marah. Aku tidak bisa mendengar gumaman Mum di belakangku. Kuputuskan untuk mandi untuk meredakan amarahku, kunyalakan keran bathup dan mengisinya dengan air hangat. Kulepas pakaianku lalu masuk ke dalam bathup, membiarkan air hangat menguapkan sebagian kemarahanku. Setelah puas aku beranjak ke shower untuk keramas. Saat aku keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, Mum sudah menungguku di tempat tidur dengan gaun hijau beludru yang diletakkan di sebelahnya.
"Cara..." Mum memandangku dengan wajah yang sedikit cemas. Jelas sekali acara ini sangat penting baginya.
"Okay, Mum." jawabku dengan nada menyerah. Ini semua salah Alex, tidak seharusnya aku melampiaskannya seperti ini. Mum terlihat sangat lega saat mendengar jawabanku, ia mengambil sebuah kotak make up dari mejaku. "Aku akan membantumu bersiap-siap."
Oh. Ini akan menjadi hari yang menyebalkan.