Dua jam kemudian aku mendengar suara mobil Alex masuk ke halaman rumah, Mum baru saja selesai menggelung rambutku dengan rapi. Saat memandang pantulanku di cermin, aku terlihat... sangat berbeda. Seperti bukan diriku yang biasanya. Gaun ini menempel sampai pinggangku lalu jatuh ke bawah hingga lututku, beludrunya terasa lembut di kulitku. Mum memberiku makeup minimalis dan menggelung rambutku ke belakang membuatku terlihat kebih dewasa. Mum tersenyum dari belakangku, kedua mata birunya menatapku dengan bangga. "Kau sangat cantik, sayang. Semuanya pasti menyukaimu."
Aku membalas senyumannya dengan sedikit sedih, "Thanks, Mum."
"Turunlah saat kau sudah siap." Kata Mum sambil berjalan menuju pintu kamarku.
"Mum?" panggilku, Mum menengok sambil menaikkan kedua alisnya padaku. "Jangan biarkan Alex naik ke kamarku, okay?"
"Okay, sayang." balas Mum sebelum menutup pintu kamarku.
Kugertakkan gigiku dengan marah. Tentu saja aku tidak berniat pergi ke acara pertemuan itu. Aku harus memberi pelajaran pada Alex agar tidak mencampuri urusanku lagi. Kulepas sepatu heel milik Mum lalu menggantinya dengan sepatu flat yang serasi dengan gaunku. Kubuka jendela kamarku sambil mengambil tas kecil berisi handphone, buku, dan dompetku lalu merangkak keluar dari jendela.
Harus kuakui, mengenakan gaun sambil merangkak dari jendela bukanlah ide yang bagus. Dengan susah payah aku berhasil keluar dari jendela lalu turun ke bawah dengan tangga di samping rumah. Aku sering melakukan hal ini sebelumnya jika ingin keluar tanpa ketahuan orangtuaku, biasanya Jenna akan menjemput beberapa meter dari rumah. Tapi kali ini aku sendirian.
Setelah menginjakkan kakiku ke tanah aku berlari menuju halte bus terdekat tanpa menoleh ke belakang lagi. Setelah berada di dalam bus perasaan lega baru menyelimutiku, kukeluarkan handphone lalu mematikannya agar tidak ada yang bisa menggangguku. Beberapa orang sempat menatapku karena gaun yang kukenakan.
Mungkin aku akan pulang nanti malam, setelah acara itu selesai. Aku bisa mampir ke rumah Jen untuk mengulur waktu. Sebersit perasaan bersalah menyelimutiku untuk beberapa saat tapi Alex pantas mendapatkan ini setelah semua yang dilakukannya padaku.
Selama beberapa saat aku tidak tahu bus ini akan membawaku kemana karena tadi aku asal naik tanpa mengecek tujuannya, setelah beberapa lama kuputuskan untuk berhenti di jalan yang cukup jauh dari rumah lalu masuk ke sebuah cafe pertama yang kutemui. Aku mengambil tempat di bar lalu memesan segelas besar cokelat sundae, waiter di belakang bar memandangku dengan aneh sebelum membawakan pesananku.
Untungnya cafe ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang pelanggan dan dua orang waiter. Kukeluarkan sebuah buku yang belum selesai kubaca dari tasku lalu mulai membacanya. Dalam sekejap aku sudah terlarut dalam cerita di dalamnya. Setelah dua gelas sundae dan sepiring velvet cake, aku melirik jam di dinding cafe. Sudah hampir dua jam aku berada di tempat ini. Kututup bukuku dengan helaan nafas yang panjang. Saat ini pasti pertemuan itu baru dimulai, aku butuh paling tidak tiga jam lagi sebelum bisa pulang ke rumah. Aku membayangkan ekspresi Alex saat ini. Apa yang dilakukannya saat ini? Masih mencariku?
Kuhela nafasku lagi. Entah mengapa bukannya merasa puas, aku malah merasa gelisah. Apa aku ke rumah Jen saja sekarang?
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu—tidak, aku merasakan seseorang dari balik punggungku. Bulu halus di tengkukku meremang sebelum aku mendengar suaranya.
"Aku sudah mengatakan padamu, kau tidak akan bisa kabur dariku." suaranya yang rendah membuat jantungku melonjak di dalam rongga dadaku.
Aku menoleh ke arah Alex yang sedang memandangku dengan senyuman penuh amarah di belakangku. Kedua mata coklat keemasannya berkilat saat menatap ekspresiku.
"Bahkan ke ujung dunia pun aku akan selalu menemukanmu, Caroline." Ia mengulurkan tangannya padaku.
Untuk sesaat nafasku tertahan di paru-paruku. Alex mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja putih. Dua kancing teratas kemejanya sudah terbuka. Rambutnya disisir dengan rapi tidak seperti biasanya... dan ia terlihat sangat tampan hingga membuatku membeku di tempat. Tangannya yang masih terulur bergerak dengan tidak sabar meraih tanganku, refleks kuambil buku dan tasku sebelum ia menarikku keluar cafe.
"Alex—"
"Diam, Caroline." potong Alex, lalu ia mendorongku dengan tegas ke dalam mobilnya sebelum membanting pintunya hingga tertutup membuatku terlonjak di tempat. Aku tahu ia pasti sangat marah saat ini. Tapi bagaimana ia bisa menemukanku? Cafe itu bukan tempat yang biasa kukunjungi dan jaraknya cukup jauh dari rumah.
Alex mengemudikan mobil dalam diam, seluruh perhatiannya fokus pada mengemudi. Walaupun saat ini ia lebih tepat disebut mengebut daripada mengemudi. Aku melirik ke arahnya untuk mengukur seberapa marah dirinya saat ini, wajahnya masih terlihat sangat marah sekaligus… lega? Sedikit rasa bersalah hampir membuatku mengucapkan kata maaf, sebelum aku bisa membuka bibirku Alex membelokkan mobilnya ke jalan yang berseberangan dengan jalur yang biasa menuju rumah. Kurasa kami masih akan menghadiri Pack meeting itu. Oh sial, tiba-tiba perutku terasa melilit karena gugup.
"Kita akan pergi ke pertemuan itu?" tanyaku dengan suara panik yang tidak bisa kututupi. Alex masih membungkam mulutnya, kedua tangannya memegang kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kau adalah calon Luna di pack ini." sentaknya tiba-tiba. "Semua orang mengharapkanmu bersikap lebih baik dan dewasa. Jangan sampai melakukan kesalahan, karena aku juga harus bertanggung jawab atas Luna pack ini." suaranya yang dingin membuat hatiku mencelos.
"Aku ingin pulang." kataku dengan sama dinginnya.
Tiba-tiba mobil Alex berhenti di sebuah rumah besar di pinggir hutan dekat tempat ia mengajakku makan malam minggu lalu. Puluhan mobil diparkir di halamannya yang sangat luas. Alex keluar dari mobilnya lalu membuka pintuku.
Aku tidak bergerak dari tempat dudukku, pandanganku terpaku pada sebuah air mancur besar yang berada tengah halaman luas ini. Di ujung halaman berdiri sebuah bangunan megah yang sangat besar, mungkin lebih tepat disebut kastil daripada rumah.
Anehnya tempat ini terlihat familiar, tapi aku yakin aku belum pernah mengunjunginya.
"Cara, keluar." suara Alex yang memerintah membuatku sedikit tersentak dari pikiranku. Sebelum aku sempat menjawabnya, tangannya terulur untuk menarik lenganku keluar. Kupandang Alex dengan pandangan marah sekaligus terluka, tapi ia masih menghindari tatapanku dengan ekspresi kaku di wajahnya.
"Jangan. Menyentuhku." desisku sambil berusaha menarik lenganku darinya tapi Alex malah menggenggamnya semakin erat. "Jangan membuat semuanya lebih susah lagi!" balasnya tanpa emosi, kali ini pandangan dinginnya tertuju padaku. Kami berpandangan sejenak, lalu ia melengos lagi sambil menggenggam tanganku dan menarikku menuju rumah besar itu. Aku bisa merasakan kedua mataku yang mulai memanas.
Kami masuk lewat pintu samping dan langsung menuju halaman belakang rumah tersebut yang sama luasnya dengan halaman depannya. Aku mendengar suara orang-orang yang sedang mengobrol, pandanganku disambut oleh sekitar 70-an orang yang berkumpul di halaman belakang. Dekorasi pesta kebun musim gugur menghiasi tempat ini, sebuah kolam renang di tengahnya diisi oleh beberapa anak kecil yang sedang berenang.
Mereka semua werewolf? Tubuhku menegang saat aku menyadari aku mengenal sebagian besar orang-orang ini.
"Kami terlambat." kata Alex tiba-tiba di depan semua orang itu, aku masih berdiri di belakangnya. Sedetik kemudian puluhan pasang mata di tempat ini tertuju pada kami. Refleks, tanganku meremas genggaman tangan Alex lebih kuat, aku selalu benci menjadi pusat perhatian.
Lalu terdengar suara gumaman dimana-mana, beberapa orang asing tersenyum ke arah kami sambil mengangkat gelas di tangan mereka. Nafasku tertahan di paru-paruku karena seluruh perhatian dan pandangan yang kudapat, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini.
Seakan mengetahui apa yang kurasakan, Alex menarik tanganku dengan lebih lembut dan mulai memperkenalkanku pada beberapa orang yang berdiri di dekat kami. Mereka menyambutku dengan sangat ramah dan sopan, malah terlalu sopan.
Sepertinya semua orang berbicara dengan sangat hormat pada Alex, beberapa dari mereka bahkan mengalihkan pandangan atau sedikit menunduk saat sedang berbicara dengannya. Dan Alex… benar-benar seperti orang lain saat ini. Walaupun aku bukan werewolf tapi aku bisa merasakan aura dominan memancar darinya yang seakan memerintahku untuk tunduk padanya. Setiap kata yang ia ucapkan terdengar tegas dan dingin. Tidak seperti Alex yang berbicara sambil mengunyah saat sarapan beberapa hari yang lalu.
Sementara Alex berbicara aku hanya berdiri di sampingnya dengan senyuman tipis yang membeku di wajahku. Karena aku masih merasa canggung kuedarkan pandanganku ke sekitarku, aku mengenali beberapa orang di sekolahku, Annelise, Regan, dan beberapa tetangga di sekitar rumahku. Perutku terasa semakin melilit melihat Mr. Turner, guru kimiaku, berdiri beberapa meter di depanku dan sedang mengobrol dengan seorang staf administrasi di sekolahku. Orang-orang ini adalah werewolf, dan mereka menutupinya dengan sangat baik selama ini.
"...Caroline yang akan mengurusnya." perhatianku teralihkan ketika mendengar Alex menyebutkan namaku. Mereka semua memandangku dengan tersenyum, bagaimana semua orang ini melakukannya? Bekerja sama membohongi seseorang lalu tiba-tiba berkumpul dan membuka rahasia mereka sambil tersenyum padaku seolah-olah mereka mengharapkanku terkejut dan tertawa bersama mereka.
Aku tidak menginginkan ini semua.
"Cara! Ah—maksudku, Caroline!"
Punggungku membeku saat mendengar suara yang sangat kukenal memanggil namaku. Saat aku menoleh, Jen sedang berjalan ke arahku bersama dengan Dane. Sebuah senyuman lebar terukir wajahnya yang berbinar.
Tenggorokanku terasa tercekat, perlahan senyuman tipis di wajahku memudar tanpa bisa kucegah.
Jenna yang menyadari perubahan ekspresiku memelankan langkahnya lalu memandangku dengan khawatir. "Caroline? Ada apa?" pertanyaannya membuat beberapa pasang mata di sekitar kami ikut memandang ke arahku.