Hal pertama yang kudengar saat aku terbangun adalah suara Alex yang sedang berbicara di handphonenya. Kedua mataku perlahan terbuka, menatap langit-langit kamar apartemen Alex. Lelah masih terasa di seluruh sendi-sendi tubuhku. Tangan kananku menggapai leherku yang terasa sedikit tidak nyaman lalu menyentuh bagian di mana Alex menggigitku sebelumnya.
"Ow!" kulitku yang terluka terasa perih dan berdenyut. Alex masuk ke dalam kamar setelah mendengar pekikanku, handphonenya masih berada di tangannya.
"Cara? Ada apa?" Rambut coklat Alex yang masih kelihatan setengah basah dibiarkan berantakan. Ia mengenakan jeans dan kaos putih yang ditumpuk dengan kemeja berwarna biru tua. Kedua mata coklatnya memandangku lekat-lekat, menunggu jawabanku.
Aku memiliki beberapa pertanyaan untuknya, tapi sekarang aku tidak tahu yang mana yang harus kutanyakan lebih dahulu. Jadi aku memulainya dengan topik yang sangat mengangguku saat ini.
"Kau menggigitku lagi." Gumamku dengan nada menuduh.
Alex membeku di tempatnya, sesaat ekspresi bersalah terbesit di wajahnya. "Ah... maaf. Apa masih terasa sakit?"
Ya, sialan. Sakit sekali. Luka di pangkal leherku terasa berdenyut-denyut. Aku bangun lalu duduk di pinggir tempat tidur dambil mengerutkan keningku, kepalaku terasa pening dengan gerakan yang tiba-tiba. Kupejamkan kedua mataku sejenak. Langkah kaki Alex terdengar semakin mendekat hingga akhirnya berhenti di depanku. Aku membuka kedua mataku menatap Alex yang berlutut di depanku.
"Hey, kau tidak apa-apa?" tanya Alex dengan suara yang lebih pelan. Aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan saat ini. Antara ingin melemparkan sesuatu yang keras ke arah Alex karena telah menggigitku tapi aku juga ingin memeluknya dengan erat. Aku ingin menceritakan padanya apa yang terjadi denganku sebelumnya, aku juga ingin tertawa histeris sekaligus menangis karena apa yang terjadi denganku. Tapi akhirnya aku tidak melakukan satu pun hal yang ingin kulakukan. Kuhela nafasku dengan berat lalu mengangguk kecil. "Aku tidak apa-apa."
"Kau yakin? Kau terlihat sedikit pucat, Cara."
"Yah, aku hanya sedikit lapar." Jawabku sambil menatap pakaian yang sedang kukenakan saat ini, sebuah t-shirt berwarna merah yang cukup besar. Hanya itu.
"Aku punya makanan di dapur, atau kau ingin makan di kamar?" tanya Alex sambil berdiri lagi lalu menaruh ponselnya di meja sebelah tempat tidur.
:Aku tidak ingin makan di kamar." Gumamku sambil berdiri perlahan. Aku berjalan mengikuti Alex menuju dapur apartemennya. Langit di luar sudah sangat gelap saat kami melewati jendela besar di ruang tengah.
"Berapa lama aku tidur?"
"Hampir delapan belas jam." Jawab Alex sambil menyalakan kompornya untuk menghangatkan sesuatu. "Mum meninggalkan sup krim parsley untukmu tadi."
Sup krim parsley? Kukerutkan hidungku saat Alex membuka tutup panci sup lalu memindahkan sebagian isinya ke mangkuk. Ia meletakkan mangkuk berisi sup di depanku lalu kembali lagi sibuk dengan ovennya, beberapa menit kemudian Ia menarik seloyang pizza panas dari ovennya. Bau saus tomat dan keju leleh membuat perutku berbunyi keras.
"Kenapa hanya aku yang makan sup?" tanyaku sambil memandang mangkuk sup di depanku. Alex mengambil potongan pizza pertamanya lalu mengigitnya di depanku. Kami berdua duduk di bar kecil yang menyatu dengan dapur Alex.
"Kawrena swup parsley terdwengar menjijikan untukku." Gumamnya sambil terus mengunyah. Kuputar kedua bola mataku padanya lalu mendorong mangkuk supku dan meraih sepotong pizza untukku. Gigitan pertama rasanya seperti surga, aku mengerang sambil memejamkan mataku saat merasakan keju mozarella yang meleleh dan pepperoni hangat beserta sausnya meledak di dalam mulutku. Aku benar-benar lapar. Alex mengehentikan kegiatan makannya saat aku membuka mataku lagi, pizza di tangannya masih tersisa setengah dan Ia sedang memandangku.
"Apa?" tanyaku sambil terus mengunyah sebanyak-banyaknya. Alex menggeleng singkat lalu melanjutkan makannya. Kami menghabiskan seloyang pizza dalam waktu 15 menit.
"Apa yang terjadi kemarin... Maafkan aku, Cara. Aku tidak sengaja." Kata Alex sambil membereskan sisa-sisa makanan kami.
"Hmmm..."
"Seharusnya aku tidak menggigitmu. Aku tidak bisa mengendalikan serigalaku yang lebih dominan, dan kau menghilang selama 5 jam lebih. Serigalaku—Ia hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Okay... aku mengerti. Tapi apa yang terjadi padaku kemarin—Alex, kurasa ada sesuatu yang salah denganku." Gumamku.
"Aku tidak ingin membicarakan tentang kemarin."
Aku menatap Alex yang sedang mencuci tangannya di wastafel dengan kening berkerut, Ia sama sekali tidak menatapku saat berbicara denganku.
"Apa maksudmu? Alex, kemarin—"
"Cara, aku tidak ingin membicarakannya sekarang." Katanya dengan perlahan, seakan-akan Ia sedang berbicara dengan anak kecil. "Kau hanya tersesat." Tambahnya sambil berjalan meninggalkan dapur. Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh lalu mengikutinya ke arah kamar.
"Alex, aku tidak tersesat. Sesuatu sedang terjadi padaku. Dan apa yang kau bicarakan beberapa hari yang lalu, tentang Leykan—"
Alex berhenti seketika lalu membalikkan badannya, kedua matanya menggelap. "Jangan pernah membicarakannya pada siapapun. Kau mengerti?"
Aku menatap Alex dengan pandangan tidak percaya, beberapa hari yang lalu Ia mencurigaiku sebagai Leykan dan sekarang Ia menolak untuk membicarakannya?
"Kau mengerti?" ulangnya lagi dengan nada Alpha-nya yang arogan. Tentu saja jika aku adalah Jake atau anggota packnya mungkin saat ini aku sudah menundukkan kepalaku lalu menjawab, 'Ya, Alpha.' Dan mungkin menjilat tangannya seperti anjing
Untung saja aku bukan termasuk dalam packnya. Jadi aku menamparnya.
Suara nyaring terdengar dari tanganku yang menyentuh pipinya, kepala Alex hanya bergerak beberapa mili padahal aku menamparnya cukup keras. Kutarik tangan kananku yang terasa panas lalu mundur beberapa langkah setelah melihat ekspresi di wajah Alex. Kedua mata coklat gelapnya berkilat marah saat memandangku. Selama ini aku hampir tidak pernah melihat Alex marah, bahkan saat kecil pun Ia tidak pernah berkelahi. Walaupun aku tahu sekarang alasannya, karena Ia seorang Alpha Ia harus mengendalikan emosinya. Tapi mungkin juga ada alasan lain.
Karena Alex yang marah, seperti yang berdiri di depanku saat ini, terlihat sangat menakutkan. Ia menyeringai seperti yang dilakukan Jake kemarin dalam bentuk serigalanya, lalu berjalan mendekatiku. Jantungku berdebar sangat keras saat Ia semakin mendekat lalu mengangkat tangannya, kupejamkan kedua mataku erat-erat menunggunya memukulku.
Tapi aku tidak merasakan rasa sakit sama sekali.
Tangan Alex menangkup wajahku dengan lembut hingga membuatku terkejut dan membuka kedua matanya. Ia masih menatapku dengan tatapan marahnya, tapi sentuhannya di wajahku terasa lembut.
"Apa kau mengira aku akan melukaimu, Cara?" suaranya terdengar sama marahnya dengan tatapannya saat bertanya padaku. Lalu Ia melepaskan tangannya dari wajahku dan berbalik masuk ke kamar sambil membanting pintunya keras-keras membuatku terlonjak kecil. Aku berdiri mematung di depan pintu kamar, berbagai macam pikiran berputar di dalam kepalaku. Tapi hanya ada satu hal yang paling penting.
Apa yang terjadi padaku... Aku harus mencari jawabannya, dan jika Alex tidak mau membantuku, maka aku akan melakukannya sendiri.
***
"Hey, Cara." suara Jake menyambutku saat aku membuka pintu apartemen Alex. Aku menelepon Jake pagi ini dan memintanya datang ke sini, Alex sendiri sudah pergi sebelum aku bangun pagi ini.
"Hey." Balasku sambil setengah memeluknya lalu membiarkannya masuk.
"Tunggu dulu... kau belum siap?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu sambil memandang piyama yang kukenakan. Aku balas memandangnya dengan bingung.
"Alex tidak memberitahumu?" tanyanya dengan nada yang sama bingungnya denganku.
"Ada apa?"
Jake memandangku dengan kesal lalu melihat jam tangannya, "Ganti baju dalam sepuluh menit, Cara." Katanya sambil mendorong bahuku dan mengarahkanku ke kamar.
"Hey, memangnya kita mau kemana?" protesku.
"Lihat saja nanti."
***
Jake membukakan pintu mobil Jeep nya untukku, kunaikkan kedua alisku menatapnya dengan pandangan bertanya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya. Karena aku tidak tahu kami akan pergi kemana jadi aku memakai jeans dan kemeja biru milik Alex yang lengannya harus kugulung hingga ke siku. Jake menggumamkan lagu asing sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Jake, kau tidak berniat menculikku, kan?" tanyaku sambil memasang sabuk pengaman.
"Ha. Alex akan membunuhku lebih dulu." Gumamnya sambil menggerutu
"Lalu kita akan pergi kemana? Makan?"
"Lihat saja nanti, Cara." Balasnya sambil nyengir ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan tatapan kesal lalu menyerah. Lagipula aku tidak peduli kemana Jake akan membawaku asal kami bisa berbicara. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya.
"Hey, Jake, bagaimana kau bisa menemukanku kemarin?" tanyaku dengan nada santai, aku tidak ingin Ia mencurigaiku.
"Hm? Aku dan Alex berpatroli mencarimu di perimeter terluar wilayah pack kita, sedangkan yang lainnya di wilayah yang lebih dalam. Dan kebetulan aku mencium jejakmu—tunggu dulu, bagaimana kau bisa sampai disana, Cara?"
"Perimeter terluar?" tanyaku lagi.
"Yeah, Alex menguasai salah satu wilayah terbesar pack werewolf... Jadi kami membaginya lagi ke 4 wilayah; wilayah I, II, III, dan IV. Kau berada di wilayah IV, hampir mencapai batas wilayah antar pack."
Aku terdiam sejenak berusaha mencerna penjelasan Jake. "Jadi hutan Pepperwell adalah wilayah terluar pack?"
Jake menoleh ke arahku walaupun Ia saat ini sedang mengemudi, keningnya berkerut heran. "Bukan, Cara. Wilayah terluar pack kita adalah hutan Ripper, aku menemukanmu disana."
Perutku terasa mual mendengar jawaban Jake, hutan Ripper berada sangat jauh dari sekolahku... jaraknya hampir 1,5 jam perjalanan menggunakan mobil. Bagaimana aku bisa berada disana?
"Aku tidak tahu apa yang kaulakukan di tempat itu, Cara, dan Alex melarangku untuk bertanya macam-macam padamu jadi aku tidak akan bertanya. Tapi jangan pernah pergi ke hutan itu lagi, tempat itu sangat berbahaya."
Aku ingat Dad pernah melarangku juga saat aku berumur 12 tahun. Beberapa tahun kemudian Eric memberitahuku bahwa di hutan itu sering ditemukan mayat yang tercabik-cabik dan tidak dikenali, mungkin karena itulah orang-orang memberinya nama hutan Ripper.
Tapi masih ada satu hal lagi yang menggangguku sejak kemarin. "Apa—Apa kau bertemu seseorang sebelum menemukanku?" Entah bagaimana caranya tapi Vincent berhasil menemukanku lebih dulu, itu artinya Ia juga tahu kabar saat aku menghilang. Seharusnya orang-orang di luar pack Alex tidak mengetahuinya.
"Tidak. Tapi beberapa rogue sering berkeliaran di hutan itu, kau beruntung tidak bertemu satu pun." Tambah Jake dengan wajah muram, "Walaupun ada hal aneh yang terjadi kemarin... Tidak ada satu pun binatang hidup yang kutemui di hutan itu."
Jantungku sedikit melonjak di dalam rongga dadaku, "Apa maksudmu?"
Jake menaikkan kedua bahunya, "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku melihat bangkai binatang di seluruh hutan."
"Seluruh hutan?" tanyaku dengan setengah berbisik.
"Mungkin itu perbuatan pemburu liar, Cara. Kadang-kadang mereka bisa sangat kejam, membunuh binatang sembarangan hanya untuk bersenang-senang."
"Oh." Tapi kelinci yang kulihat kemarin baru saja mati dan masih mengeluarkan darah saat aku berdiri di depannya. Jika pemburu yang melakukannya, seharusnya aku bertemu salah satu dari mereka. Dan yang paling penting... bagaimana mungkin pemburu membunuh seluruh binatang di hutan seluas itu sekaligus?
Apa yang terjadi saat itu? Bagaimana aku bisa sampai di tempat itu? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya sama sekali? Dan siapa Vincent sebenarnya? Pikiran-pikiran itu berputar di dalam kepalaku hingga tanpa kusadari mobil Jake sudah berhenti di sebuah parkiran kosong. Kupandang sekelilingku yang benar-benar sepi lalu akhirnya memandang Jake, Ia sedang tersenyum lebar ke arahku.
"Keluar, Cara." Katanya masih dengan senyum idiotnya. Kedua mataku melotot ke arahnya.
"Disini?!" Parkiran kosong ini berada di depan supermarket yang sedang tutup, dan tidak ada pemukiman di sekitarnya. Hanya hutan dan jalan sepi yang entah berujung kemana, aku belum pernah melewati tempat ini sebelumnya. "Jake, dimana kita?" tanyaku dengan tidak sabar.
"Keluar dulu, Cara." Ulang Jake dengan senyum yang semakin lebar. Aku keluar dari mobilnya lalu menunggu Jake keluar juga. Tapi Ia tidak keluar, aku menatap mobil Jake yang berputar lalu melaju pergi melalui jalan yang sama dengan sebelumnya.
"Jake!" teriakku. Ia hanya melambaikan tangannya padaku melalui kaca jendelanya yang dibuka. Aku menatap mobilnya yang menjauh dengan mulut menganga.
"Jake, kau benar-benar..." gumamku dengan marah lalu mengambil handphone di saku jeansku. Sial, tidak ada sinyal.
Beberapa menit kemudian sebuah mobil BMW hitam melaju perlahan mendekatiku, aku tidak bisa melihat pengemudinya karena kacanya yang gelap. Tapi aku mengenal plat mobilnya. Kulipat kedua tanganku di depan dadaku dengan marah hingga mobil itu berhenti di depanku. Alex keluar dari mobilnya, Ia mengenakan kaos hitam dengan logo band dan celana jeans. Dan seperti biasa rambutnya dibiarkan sedikit berantakan. Senyum kecil di wajahnya membuatku melupakan amarahku selama beberapa saat. Ia berjalan mendekatiku lalu behenti di depanku. Aku bisa mencium bau pinus dan mint darinya, dan Ia terlihat sangat sangat tampan.
"Hey—"
"Siapa kau?" potongku dengan kedua mataku yang menyipit. Alex terdiam sejenak lalu tersenyum semakin lebar.
"Kau bukan Alex, seingatku kakakku masih mengurung dirinya seharian di kamarnya seperti anak kecil." Tambahku dengan nada sarkasme. Senyum di wajah Alex menghilang seketika.
"Aku bukan kakakmu, Cara."
Aku benar-benar tidak menyadari kata-kata yang barusan kuucapkan. "Aku—maksudku aku hanya..." Aku tidak bisa melanjutkannya. Kami terdiam selama beberapa saat hingga akhirnya Alex membuka pintu mobilnya untukku.
"Kita akan pergi kemana?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobilnya.
"Suatu tempat." Jawabnya sambil melirikku sekilas lalu kembali fokus ke jalan, "Tenang saja, kau memakai pakaian yang benar."
"Ada apa dengan kalian semua hari ini?" gumamku pada diriku sendiri. "Kenapa Jake yang menjemputku?"
"Karena aku harus mengurus beberapa hal pagi ini dan sepertinya kau tidak akan mau pergi bersamaku..."
"Yeah, jika kau tidak bersikap seperti kemarin mungkin aku akan—"
"Cara, aku tidak ingin membicarakannya sekarang." Potong Alex dengan nada datar. Walaupun kami saling mengobrol, tapi jelas sekali masalah kemarin masih belum selesai. Aku menoleh ke arah jendela di sampingku, berusaha menelan gumpalan di tenggorokanku yang terasa sakit.
Kami tidak berbicara hingga mobil Alex memasuki lapangan parkir yang diisi beberapa mobil. Aku membuka pintu mobil Alex lalu berjalan keluar menjauhinya. Aku tidak tahu kemana kakiku melangkah dan aku tidak peduli selama aku bisa berada jauh dari Alex. Jake sialan, padahal aku berencana untuk bertanya padanya tentang Leykan hari ini.
"Cara, tunggu sebentar." Tangan Alex menggenggam salah satu pergelangan tanganku lalu menarikku hingga berhenti. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat bayangan gelap di bawah matanya, dan Ia terlihat benar-benar lelah. "Aku tahu kau marah padaku, tapi aku benar-benar tidak ingin membicarakan kejadian itu."
Aku menatapnya dengan marah lalu berusaha menarik tanganku darinya, tapi tentu saja, gagal. "Kau tahu ada sesuatu yang salah denganku, Alex. Dan kau lebih memilih untuk menutupinya daripada memberitahuku." Aku tidak bisa menyembunyikan suaraku yang bergetar.
Ekspresi Alex berubah seketika, Ia terlihat sama tersiksanya denganku saat ini, walaupun Ia buru-buru menghapusnya dari wajahnya setelah itu.
"Cara, aku—"
"Cara!" suara Jenna terdengar melengking di belakangku membuatku sedikit terkejut. Alex melepaskan tanganku seketika lalu mundur selangkah dariku. Kubalikkan badanku menatap Jenna dan Eric yang sedang berjalan ke arah kami, keduanya sedang tersenyum lebar. Aku berlari kecil meninggalkan Alex dan menghampiri mereka.
"Hey!" kupaksakan senyuman yang sama lebarnya di wajahku. "Ada apa ini? Apa yang kalian lakukan disini?" tanyaku sambil memandang sekelilingku, lalu aku menyadari kami sedang berada di depan pintu masuk sebuah taman bermain. Jenis taman bermain yang memiliki roller coaster, merry-go-round, dan sebagainya. Aku membuka mulutku lebar-lebar lalu menatap Jenna dan Eric.
"Yah, ini kado dari kami berdua, Cara. Happy Birthday lagi!" kata Eric sebelum memelukku erat-erat lalu diikuti oleh Jenna.
"Kalian menyewa seluruh taman bermain untukku?" tanyaku dengan nada tidak percaya. Jenna mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Yeah!" jawab Jenna sambil mendorongku masuk ke dalam, Eric mengikuti di sebelah kami. Saat aku menoleh ke belakang sebelum kami masuk, Alex sudah menghilang.