Alex pergi ke luar kota lagi keesokan paginya. Awalnya Ia memintaku untuk tinggal di rumah yang kami tempati kemarin ditemani oleh Jake atau Jenna, tapi setelah perdebatan panjang akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tentu saja Jake tetap akan mengecekku setiap hari.
Aku tahu alasaan Alex keberatan aku kembali ke rumah karena kedua orangtua kami belum tahu tentang identitasku yang sebenarnya. Saat ini hanya Alex dan Jake yang mengetahuinya dan sepertinya semakin sedikit orang yang tahu maka akan semakin bagus situasinya untukku.
Tapi dalam rencanaku dan Vincent aku harus datang ke Prom, jadi mau tidak mau aku harus kembali ke rumah. Awalnya Vincent yang akan menjadi pasangan Promku, tapi situasi saat ini kurang baik dan sepertinya Alex juga meminta Jake untuk mengawasi Vincent. Jadi akhirnya aku pergi bersama Eric, kebetulan Ia dan pasangannya baru saja putus. Vincent akan menjemputku di sekolah lalu kami akan pergi dari kota ini bersama.
Semua itu harus dilakukan sebisa mungkin tanpa sepengetahuan Alex.
"Cara?" suara Mum membuyarkan lamunanku, aku menoleh lalu tersenyum padanya. Mum masuk ke kamarku membawa sebuah kotak besar berwarna putih. "Gaunmu sudah datang!"
"Wow!" balasku dengan nada antusias yang sedikit terpaksa. Mum meletakkan kotak itu di atas tempat tidurku, menungguku untuk membukanya. "Kupikir setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini kau tidak jadi ikut Prom lagi, sayang."
"Kupikir juga begitu tapi terimakasih Mum untuk gaunnya." balasku sebelum membuka kotak di depanku. Kuambil gaun itu lalu kuletakkan di atas tempat tidur agar kami bisa melihatnya lebih jelas. Aku tidak bisa menahan senyumanku ketika melihat ekspresi berharap di wajah Mum. "Gaunnya sangat cantik." kataku padanya sebelum memeluknya. "Terimakasih, Mum." ulangku lagi.
Dan aku tidak berbohong, gaun itu memang sangat cantik. Mum memilih gaun panjang crepe berwarna apricot pucat dengan potongan yang simpel dan anggun.
"Apa kau mau mencobanya, sayang?"
"Tidak perlu, Mum." jawabku dengan cepat. "Aku yakin gaunnya pas untukku."
Kening Mum sedikit berkerut tidak yakin saat mendengar jawabanku. "Baiklah. Sebentar lagi makan malam jadi turunlah."
"Okay." Kutunggu suara langkah kaki Mum hingga benar-benar tidak terdengar sebelum mengambil tas ransel dari lemari dan mengisinya dengan beberapa pakaian dan alat mandiku. Sampai kapan aku harus berlari? Pikirku sambil memasukkan kaos kaki ke dalam tas. Mungkin satu tahun cukup, lalu aku akan kembali...
Tanganku sedikit gemetar saat menarik resleting tas hingga menutup. Apa aku bisa kembali? Apa Alex akan mencariku setelah aku pergi? Bagaimana dengan Mum dan Dad? Mereka pasti sedih jika aku pergi tanpa memberitahu aoa-apa. Seakan bisa mendeteksi rasa raguku yang mulai tumbuh, handphoneku bergetar dari atas tempat tidur. Saat aku melihat layarnya sederet nomor yang tidak dikenal muncul, hanya ada satu orang yang meneleponku dengan nomor seperti ini.
"Apa kau sudah menyiapkan pakaianmu?" tanya Vincent tanpa berbasa basi.
"Yeah." balasku sebelum duduk di pinggir tempat tidurku. Samar aku dapat mendengar suara Jake yang baru datang di bawah.
"Jangan lupa bawa paspormu."
"Vincent... berapa lama kita harus pergi?" tanyaku setengah berbisik. Selama beberapa saat tidak ada jawaban darinya hingga kupikir sambungan telepon kami sudah terputus.
"Selama yang dibutuhkan." jawabnya akhirnya. "Ada apa Gabriella? Jangan bilang kau berubah pikiran."
Tentu saja tidak, aku tahu aku tidak punya pilihan lain lagi selain menghilang. "Jangan panggil aku Gabriella." kataku tiba-tiba.
"Tapi itu nama—"
"Sekarang namaku Caroline." potongku sebelum menghela nafas. "Aku akan meninggalkan tasku di halte yang sama nanti malam. Apa kau bisa mengambilnya?"
"Jangan khawatir. Aku akan mengambilnya."
Kupandang langit gelap di luar jendela kamarku sekilas, "Apa... Apa kau benar-benar pamanku?"
"Apa kau tidak percaya?" ada sedikit nada geli yang menjengkelkan dalam suaranya.
"Rasanya tidak masuk akal saja." jawabku dengan sedikit kesal. "Bagaimana mungkin aku berumur 108 tahun sedangkan tubuhku masih terlihat 18 tahun?"
Aku dapat mendengar suara helaan nafasnya sebelum menjawabku, "Kita tertidur cukup lama. Saat dalam pelarian aku... aku sempat menyerah. Umurku masih sangat muda dan saat itu aku cukup lemah, belum lagi kita tidak bisa bersembunyi di antara manusia karena—"
"Cara?" Suara Jake dari balik pintu kamarku membuat jantungku terlonjak. Kumatikan handphoneku lalu menyembunyikan ranselku di bawah ranjang sebelum membuka pintu.
"Ada apa?" tanyaku dengan suara sedikit tercekat.
"Ibumu menyuruhku memanggilmu untuk makan malam." balas Jake dengan santai sebelum berbalik kembali turun.
"Oh." Kututup pintu kamarku lalu mengikutinya dari belakang.
"Apa kau berbicara dengan Alex barusan?" tanya Jake tanpa menoleh.
Ah, sial... Ia pasti mendengarku tadi. "Bukan Alex." balasku dengan cepat, "Aku hanya mengobrol dengan Eric, besok aku akan pergi ke Prom bersamanya. Apa kau baru saja datang?"
Jake menoleh sekilas lalu mengangguk, "Pantas saja Alex bilang Ia tidak bisa menghubungimu tadi. Kupikir kau tidak jadi ikut Prom?"
"Well, Alex sedang sibuk dan aku tidak punya kegiatan, jadi sekalian saja ikut Prom."
"Dasar plin-plan." gerutunya sambil menepuk punggungku agak keras.
"Ow!" protesku pura-pura kesakitan lalu tertawa. Kutarik ujung jaketnya sebelum kami sampai dapur, "Jake, apa Alex masih berencana melepas status Alphanya?"
Jake menoleh ke arahku, ekspresi santainya perlahan berubah muram. "Tidak."
"Bukankah itu kabar bagus?"
Jake mengalihkan pandangannya dariku, "Ia berencana mencabut peraturan tentang pemusnahan bangsa Leykan di rapat para Alpha besok. Saat ini mungkin Alex sedang mencari dukungan dari Alpha-Alpha pack lainnya."
Aku tidak tahu apa yang harus kurasakan saat mendengarnya. Sedikit berharap? Tentu saja, jika peraturan itu dicabut maka aku dan Vincent tidak perlu lari lagi. Tapi entah kenapa rasa pesimisku jauh lebih besar dari rasa berharapku. Sebagai seorang Leykan aku tahu kekuatanku sangat berbahaya, dan yang lebih parahnya lagi aku tidak bisa mengendalikannya sepenuhnya saat ini. "Seberapa besar kemungkinan peraturan itu dicabut?" tanyaku dengan suara rendah.
"Cara, kau harus menanyakannya langsung pada Alex." jawabnya sambil menghela nafas.
"Kau tahu Alex tidak akan menceritakannya padaku." gumamku dengan sedih. "Kumohon, Jake."
Ia kembali menghela nafasnya, "Kurasa... mencabut peraturan itu akan sangat sulit. Kakek Alex adalah salah satu pencetus peraturan itu, dan semua Alpha sudah menyepakatinya. Leykan... Leykan bukan bangsa yang bisa hidup berdampingan dengan werewolf."
Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering, "Lalu apa yang terjadi setelah permintaan Alex ditolak?"
"Cara..."
"Katakan padaku, Jake." desakku. "Kumohon."
"Alex belum memberitahuku rencana selanjutnya. Tapi... kurasa Ia akan memulai perang."
Keningku berkerut bingung, "Apa?"
Jake terlihat enggan melanjutkan pembicaraan kami, ekspresi di wajahnya terlihat bersalah sekaligus cemas. "Perang antar pack. Ia bermaksud memancing perang untuk mengalihkan perhatian darimu."
"Dari...ku?" kemudian kusadari apa maksud perkataannya, dengan sedikit ngeri kupandang wajah bersalahnya lalu menarik lengan jaketnya, "Jake, siapa saja yang sudah tahu tentang identitasku?"
"Alpha Silver Moon sudah tahu ada Leykan di teritori kita. Tapi Ia belum tahu tentangmu."
Silver Moon? Nama itu terdengar sedikit familiar. "Bagaimana Ia bisa tahu?"
Jake mengangkat bahunya, "Werewolf dari Silver Moon terkenal karena kemampuan berburu mereka. Tapi Alpha mereka memiliki kemampuan mendeteksi Leykan yang Ia dapatkan dari—" tiba-tiba Jake menghentikan ucapannya.
"Dari apa?" desakku.
"Dari... meminum darah Leykan."
Perutku terasa mual saat mendengarnya. Kulepaskan tanganku dari lengan jaket Jake lalu bersandar pada tembok di belakangku.
"Cara, kau tidak perlu khawatir. Selama kau tidak bertemu dengan Alpha Adler secara langsung, Ia tidak akan tahu tentang identitasmu dan Alex tidak akan pernah membiarkannya."
Adler? Lagi-lagi nama itu terdengar familiar. "Lalu jika Alex berniat memancing perang antar pack, bagaimana Ia akan melakukannya?"
"Sejak lama Alex adalah rival Alpha Silver Moon, karena teritori kita yang cukup luas berbatasan langsung dengan teritori pack Silver Moon. Jika salah satu Alpha tumbang makan teritorinya otomatis akan menjadi milik Alpha yang berbatasan paling dekat. Karena itu Edward Adler dari dulu sangat tertarik pada wilayah kita, Ia sedang menunggu saat yang tepat untuk—"
Aku tidak mendengarkan penjelasan Jake yang selanjutnya. Seluruh pikiranku berhenti saat mendengar nama itu.
Edward Adler.
Ingatanku kembali ke beberapa minggu yang lalu saat aku mengunjungi apartemen Alex. Kedua lututku tiba-tiba terasa lemas.
"Cara? Ada apa? Kau terlihat pucat." tanya Jake tiba-tiba.
Kutatap wajah bingung Jake dengan pandangan kosong. Aku sudah pernah bertemu dengan Edward Adler di lobby apartemen Alex... Artinya saat ini Alpha Silver Moon sudah tahu tentang identitasku.