Nafasku yang memburu mengimbangi debaran keras jantungku. Aku belum menghentikan kakiku sama sekali walaupun rasa sakit menggigit hampir setiap jengkal tubuhku. Pikiranku terus kembali pada VIncent yang masih terjepit di mobilnya dan SUV itu. Siapa yang menabrak kami? Siapa yang mengejarku? Aku tahu saat ini ada yang mengikutiku tidak jauh di belakangku, aku bisa merasakannya.
"Caroline!" Suara teriakan yang marah menggema di sekitar hutan. Kuhentikan kakiku sejenak, mencoba mencari sumber suara itu lalu berlari lagi. Jantungku berdebar semakin cepat, memompa adrenalin ke seluruh tubuhku.
"Caroline! Aku akan menemukanmu!" teriakan itu kembali, kali ini terdengar lebih dekat. Sekarang aku berlari dengan seluruh sisa tenaga yang kumiliki, aku bahkan tidak mempedulikan rasa sakit di tubuhku lagi.
"Caroline! Apa aku harus membunuh pria di mobil itu lebih dulu?" teriakan itu membuat kakiku yang berlari melambat. "Atau aku harus membunuh Alex?"
Kali ini kakiku benar-benar berhenti, membeku di tempat. Kubalikkan tubuhku perlahan, rasa panik yang sebelumnya kurasakan menghilang begitu saja.
"Caroline!" suara itu berteriak lagi, kali ini semakin dekat. Aku bisa mendengarnya berlari mendekat ke arahku, aku bahkan hampir bisa mendengar debaran jantungnya dari jauh, seakan-akan seluruh indraku bertambah tajam.
"Oh, halo, Caroline." Dan disanalah Ia berdiri, tiga puluh meter di depanku, Edward Adler. Ia hanya mengenakan kemeja berwarna putih dan celana panjang hitam. Ia bahkan tidak memakai sepatu. "Kau terlihat berantakan." Suaranya menggema di sekitar hutan. Lalu Ia berjalan ke arahku dengan perlahan sambil tersenyum. Sekarang aku bisa mendengar debaran jantungnya dengan jelas, aku bahkan bisa melihat nadinya yang berdenyut di lehernya. Hal yang sebelumnya luput dari perhatianku. "Aku heran bagaimana mahkluk sepertimu bisa luput diantara kami... apalagi sampai memiliki mate seorang Alpha." Senyum di wajahnya berubah menjadi seringaian.
"Ada apa? Apa kau kecewa aku tidak memilihmu sebagai mateku?" pertanyaanku keluar begitu saja dari mulutku, suaraku yang tenang membuat senyumannya sedikit memudar. Entah dari mana keberanianku muncul saat ini.
"Tidak ada yang menginginkan leykan sebagai mate." Suaranya kini berubah menjadi dingin walaupun Ia masih tersenyum. "Dan leykan seharusnya sudah punah."
"Well, aku masih hidup." Kurasakan salah satu sudut mulutku tertarik ke atas. Dalam satu kedipan mata Ia sudah berada di depanku, kedua mata birunya berkilat marah. Lalu detik berikutnya tubuhku dibanting ke tanah, salah satu tangannya mencengkeram kedua tanganku di atas kepalaku, sedangkan tangannya yang lain melingkari leherku. Tubuhnya yang panas menempel padaku, membuatku sedikit mual. Aku menatap kedua mata birunya yang berada beberapa senti di depan wajahku, aku bisa mendengar debaran jantungnya yang cukup keras dalam jarak sedekat ini.
"Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Alex saat Ia tahu mate kecilnya mati." Gumamnya di telingaku, tangannya melingkari leherku semakin erat menghambat oksigen yang masuk ke paru-paruku. Aku tersenyum padanya, kali ini benar-benar tersenyum. "Kau tidak akan bisa membunuhku sendirian, Mr. Adler." suaraku terdengar lebih tinggi beberapa oktaf dari sebelumnya.
Ia menggertakan rahangnya dengan keras saat menyadari perubahanku, kedua matanya menatapku dengan marah. "Aku akan membunuhmu dengan perlahan, leykan. Sangat perlahan hingga kau memohon padaku untuk mengakhiri hidupmu."
"Kau? Kupikir kau membutuhkan beberapa teman Alphamu untuk membunuhku?"
Edward Adler membuka mulutnya untuk membalas ucapanku tapi dipotong oleh suara lolongan keras dari kejauhan, suara itu membuat jantungku yang sebelumnya normal kembali berdebar lebih keras. Aku dapat mencium bau baru yang sangat familiar bagiku.
Adler mendongak ke sekitar kami berusaha mendengar suara seseorang yang sedang berlari ke arah kami. Tiba-tiba pandangannya ke balik bahunya hingga aku bisa melihat juga. Alex berdiri beberapa puluh meter di belakang kami, Ia hanya mengenakan celana jeans kotor, tapi yang membuat darahku hampir membeku adalah matanya. Kedua matanya yang biasanya berwarna coklat kini berubah menjadi keemasan dengan intinya yang berwarna hitam pekat. Kedua matanya tidak terlihat seperti manusia lagi. Pandangannya terfokus pada tangan Adler yang melingkari leherku. Dengan penampilanku yang berantakan, tubuhku yang terjepit diantara Adler, dan darah di wajahku, Ia pasti mengira Edward Adler baru saja menyiksaku.
Alex berjalan mendekati kami, tapi kedua matanya memandang Adler dengan pandangan membunuh. Dalam sekejap cengkeraman Adler padaku menghilang, Alex menariknya menjauh dariku lalu membantingnya ke tanah. Keduanya bergulat, saling memukul, aku bisa melihat bulu-bulu mulai tumbuh di kulit Adler. Ia akan berubah ke wujud serigalanya. Tapi Alex juga menyadarinya, Ia melepaskan pukulan yang keras ke rahangnya beberapa kali hingga aku bisa mendengar suara retakan. Darah menciprati dada Alex, lalu Adler berhenti bergerak di tempatnya. Alex masih memukulinya hingga wajah Adler hampir tidak bisa dikenali karena darah yang menutupi sebagian wajahnya.
"Alex." Panggilku masih dengan suara tinggi yang aneh. Aku berdiri dua meter di belakangnya. Seperti baru saja bangun tiba-tiba, Ia tersentak saat mendengar suaraku. Alex berdiri masih dengan kedua tangannya yang terkepal, darah menetes dari buku-buku jarinya, lalu Ia membalikkan badannya perlahan. Dan untuk pertama kalinya Ia menatap mataku. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, hanya kedua mata keemasannya yang menatap ke dalamku. Ada perasaan familiar yang menyusupiku saat melihat matanya dan wajah tanpa ekspresinya saat ini. Dimana aku pernah melihatnya?
Tiba-tiba ingatan asing membanjiri kepalaku seperti potongan film yang terputus-putus.
'Aku menemukanmu, gadis kecil.'
Suara jeritan Ibuku terngiang di dalam kepalaku. Ingatan malam itu kembali mengalir dengan jelas di dalam kepalaku, sepotong demi sepotong. Kurasakan kakiku yang melangkah sendiri ke belakang. Kedua tanganku mendengkeram kepalaku kuat-kuat, berusaha mengalihkan ingatanku. Kupejamkan kedua mataku sambil terus melangkah ke belakang. Aku melihat darah mengalir dari sela-sela lantai pintu kamarku. Lalu suara jeritan itu berhenti.
'Aku menemukanmu, gadis kecil.'
"Diam!"
Aku melihat seorang wanita yang terkulai di lantai, tidak bergerak. Kedua matanya yang melebar menatap lurus dengan pandangan kosong. Beberapa orang pria berdiri di sekitarnya. Dan darah... darah ada dimana-mana.
'Aku menemukanmu, gadis kecil.'
Saat aku membuka kedua mataku lagi, aku sudah kembali ke hutan. Sekarang aku mengingat dimana aku pernah melihatnya. Kedua mata keemasan itu sama dengan mata werewolf yang membunuh kedua orangtuaku malam itu. Tanganku menyentuh pipiku yang terasa basah, air mata mengalir dari kedua sudut mataku. Tapi saat melihat tanganku lagi, bukan air mata yang menempel di punggung tanganku tapi darah.
Aku mendongak menatap Alex dengan perasaan benci yang kurasakan pada pembunuh orangtuaku hingga membuat seluruh tubuhku bergetar. "Aku akan membunuhmu." bisikku.
Hal terakhir yang kuingat sebelum aku jatuh ke tanah adalah Alex berubah ke wujud serigalanya lalu berlari menerjangku. Dan untuk pertama kalinya aku berharap aku tidak akan pernah terbangun lagi, kuharap kegelapan ini akan menelanku untuk selamanya.