(POV - Alexander Brennan)
Saat aku melihat Cara berjalan dari gerbang rumah pack rasa lega menyelimutiku hingga kedua kakiku hampir goyah. Tapi ternyata perasaan itu hanya bertahan sebentar.
"Ada apa dengan Luna?"
"Apa itu semua darah?"
Suara bisikan orang-orang di sekitarku membuat kakiku berhenti di tempat. Seperti disiram air dingin seluruh tubuhku membeku saat Cara berjalan ke arah kami dengan pandangan kosong. Darah menutupi seluruh tubuhnya dari ujung rambutnya hingga ujung kakinya yang telanjang.
"Bau nya seperti bau darah werewolf..." Jake yang berdiri di sisiku bergumam. Kami mengenal bau ini, karena baru beberapa hari yang lalu kami berhadapan dengan werewolf dari pack Silver Moon. Aku berjalan beberapa langkah untuk menjauhi Jake dan yang lainnya.
Seseorang berlari mendekat ke arah Cara dan berbicara padanya, tapi Cara tetap berjalan ke arahku. Pandangan kosongnya membuat bulu halusku meremang, seperti tidak ada jiwa yang tersisa di dalam kedua mata birunya. Aku tidak perlu menebak untuk tahu apa yang terjadi, anggota pack ku melaporkan Cara yang menghilang segera setelah aku kembali dari pencarian Dante. Awalnya kupikir Ia meninggalkanku lagi... tapi ternyata lebih buruk dari itu.
Bau darah segar dan aroma pack Silver Moon yang kuat menguar di sekitar kami saat Ia mendekat. Cara terus berjalan melewati orang-orang yang berdiri di sekitarnya, ekspresi terkejut dan tidak percaya menghiasi sebagian besar wajah anggota packku.
Kubuka mulutku dengan susah payah saat Ia berada satu langkah di depanku, "Apa kau membunuh mereka?" tanyaku dengan suaraku tercekat.
"Ya." sama dengan pandangan matanya yang kosong, suaranya yang tinggi dan jernih terdengar asing bagiku. Ia berjalan melewatiku dan masuk ke dalam rumah pack. Berbagai pertanyaan dalam bisikan terdengar di sekitarku, dan semua pandangan anggota packku tertuju padaku.
"Luna... baru saja diserang oleh anggota dari pack Silver Moon." jelasku di depan pack. Suara terkesiap dan terkejut terdengar dari sekitarku. "Aku belum tahu apa yang terjadi, tapi Alpha Edward Adler memiliki masalah denganku. Mungkin Ia merencanakan penculikan Luna untuk membalas deklarasi perang yang kuumumkan beberapa hari yang lalu. Yang jelas karena itulah akhir-akhir ini aku tidak berada di tempat. Jake akan menjelaskan semuanya di pack meeting malam ini. Kuharap semuanya hadir." Kuedarkan pandanganku ke semua anggota pack yang berdiri di sekitarku. "Karena setelah ini kita benar-benar akan berperang."
***
Aku harus mem-briefing Jake tentang apa saja yang harus dijelaskan. Tentu saja aku tidak akan mengumumkan pada Packku bahwa Cara adalah Leykan, sekarang belum saatnya. Hanya aku dan Jake yang tahu apa Cara sebenarnya, dan aku telah membuatnya bersumpah untuk menutup mulutnya.
Hampir setengah jam kemudian aku selesai mempersiapkan pack meeting malam ini, kuserahkan semuanya pada Jake karena aku tidak bisa menghadirinya langsung. Ada hal lebih penting yang harus kulakukan secepatnya... sebelum semuanya terlambat. Kakiku melangkah dengan terburu-buru menuju lantai 2. Beberapa anggota pack berhenti untuk menyapaku tapi aku hanya dapat membalasnya dengan anggukan singkat.
Kamarku dan Cara berada di ujung lorong lantai 2, cukup jauh dari tangga utama karena aku ingin privasi. Kubuka pintu kamar kami dan mendapatinya kosong, tapi suara shower yang menyala terdengar dari kamar mandi. Kuangkat tanganku untuk mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali tapi Cara tidak menjawabku.
"Cara?" panggilku sambil membuka pintu. Uap air panas memenuhi kamar mandi seperti kabut yang pekat, aku tidak bisa melihat dengan jelas dimana Cara.
"Cara, aku akan masuk." suhu yang cukup panas membuatku mengernyit khawatir. "Kau tidak apa-apa?"
Siluet Cara berdiri menunduk di bawah pancuran shower, wajahnya tertutup rambut coklat panjangnya yang basah. Seluruh tubuhnya memerah karena berada di bawah pancuran air panas terlalu lama.
"Cara!" kutarik tubuhnya menjauh dari pancuran air panas lalu membungkusnya dengan handuk tebal yang sekarang lembab karena uap. Kumatikan showernya sebelum menyalakan saluran exhaust agar seluruh uap panas keluar dari kamar mandi.
Kutarik Cara ke dalam pelukanku dan membawanya ke kamar kami. Setelah memakaikan kaosku dan salah satu celana katunku aku berlutut di depannya untuk melipat celanaku yang terlalu panjang di kakinya. Aku belum sempat membawa seluruh baju Cara dari rumah orang tua kami, satu hal lagi yang harus segera kulakukan.
"Apa kau lapar?" tanyaku sambil mendongak menatapnya. Pandangan Cara perlahan beralih padaku lalu Ia menggeleng kecil. Kuletakkan tanganku pada kedua lututnya, aku tidak yakin bagaimana harus memulainya. "Cara... aku menemukan Dante."
Masih terdiam, Cara hanya memandangku dengan kedua mata birunya yang kini terlihat redup. "Ia menceritakan semuanya padaku." tambahku dengan hati-hati. "Aku tahu kau membenciku saat ini... kau boleh membenciku selamanya, tapi Cara, aku tidak akan bisa bertahan lama jika kau meninggalkanku."
"Dimana Paman Dante?" suara serak Cara membuatku mendongak padanya lagi.
"Ia sedang mencari seseorang." balasku dengan cepat. "Apa kau tidak apa-apa?"
"Aku ingin berbicara padanya."
Sedikit rasa cemburu kembali tumbuh di dalam diriku, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. "Dante tidak memberitahuku kapan Ia akan kembali. Mungkin masih besok. Apa kau mau minum? Makan sesuatu?"
"Aku sudah memakan mereka semua."
"Apa?"
Cara memandangku dengan tatapan dingin. "Aku sudah memakan mereka semua. Para anggota Silver Moon."
Tenggorokanku terasa tercekat, "Cara..."
"Tidak ada yang tersisa selain darah, Alex." katanya dengan suara bergetar diikuti oleh air mata yang mulai menggenangi kedua matanya. Kuraih kedua tangannya yang terasa dingin dalam genggamanku. "Apa yang terjadi?"
Cara tertawa dingin saat mendengar pertanyaanku, "Kau ingin mendengar bagian terbaiknya, Alex?" sebelum aku sempat menjawabnya Ia melanjutkan, "11 orang, aku membunuh mereka semua hanya dalam satu kedipan mata. Sama seperti saat aku membunuh binatang-binatang di hutan itu." Setetes air mata turun dari sudut matanya, kuangkat tanganku untuk menyekanya tapi Cara menahanku dengan mencengkeram pergelangan tanganku.
"Aku bahkan tidak bisa menghentikannya." suara isakan yang tertahan keluar dari bibirnya membuat hatiku terasa seperti diremas. "Hanya darah yang tersisa dari mereka. Tidak ada—tidak ada—"
"Itu bukan salahmu, Cara. Mereka pantas mendapatkannya. "
"Semuanya adalah salahku!" pekiknya dengan putus asa. "Paman Dante benar, aku harus menjauh dari semuanya agar aku tidak melukai siapapun lagi."
"Tidak!" balasku dengan keras hingga membuat Cara terlonjak kecil. Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menenangkan diriku, "Maksudku, masih ada jalan lain selain menjauh. Aku tidak akan membiarkanmu hidup dalam pelarian lagi." Kuangkat salah satu tanganku untuk menangkup wajahnya, ibu jariku menyeka air mata yang kembali turun. "Aku berjanji, tidak akan ada yang akan menyakitimu lagi."
"Kau adalah orang pertama yang harus kujauhi, Alex."
Kalimat yang keluar dari bibirnya membuat nafasku tertahan dalam tenggorokanku. Aku tidak tahu apa Ia mengatakan itu untuk menyakitiku atau melindungiku. "Dan kau adalah satu-satunya yang kuinginkan dalam hidupku, Cara. Aku tidak membutuhkan yang lainnya selama kau berada di sisiku. Bahkan jika kau membenciku karena apa yang kakekku lakukan pada orangtuamu. Jika aku membutuhkan seluruh hidupku untuk menebusnya, aku akan melakukannya."
"Bagaimana jika aku tidak ingin melihat wajahmu lagi?" kedua matanya memandangku dengan penuh kesedihan. "Apa kau akan memaksaku melihat wajahmu yang mengingatkanku pada kakekmu?"
Kubuka bibirku tapi tidak ada suara yang keluar dariku. Kedua mataku mulai terasa panas saat memandang wajahnya, menyusuri setiap detail wajahnya. "Apapun yang terjadi, Cara, aku tidak akan pernah menginggalkanmu. Kemanapun kau berlari aku akan menemukanmu."
Air matanya turun semakin deras ke pipinya, satu ibu jariku tidak cukup untuk menyeka semuanya. Kucium pipinya yang basah lalu menyusurinya hingga ke kedua matanya yang terpejam. "Kau boleh berlari hingga ke ujung dunia, aku akan selalu menemukanmu." gumamku di antara aliran air mata dan isakannya.