Chereads / CAROLINE / Chapter 19 - Chapter 19

Chapter 19 - Chapter 19

Dad mengantarku ke sekolah dan berjanji akan menjemputku jika Alex tidak bisa. Aku tidak tega membangunkan Alex pagi ini jadi aku memutuskan untuk menumpang mobil Dad sebelum Ia berangkat kerja.

Kuikat rambutku dengan rapi lalu berjalan menuju kelasku. Sekolahku adalah sekolah privat, jadi kami diharuskan mengenakan seragam. Rok berwarna abu-abu gelap dan kemeja putih, bahkan sepatu di sekolah ini seragam. Kurapikan dasi berbentuk pita, yang juga berwarna abu-abu, sambil berjalan ke kelas.

Hari ini kami hanya harus mengisi formulir pendaftaran perguruan tinggi, jadi aku tidak perlu mampir ke loker untuk mengambil buku. Beberapa orang yang datang di pack meeting beberapa hari yang lalu tersenyum canggung padaku saat kami berpapasan, aku bisa merasakan wajahku yang memerah mengingat apa yang kulakukan di acara itu.

"Caroline Brennan." Suara yang sangat kukenal memanggil namaku dari belakangku.

"Kemana saja kau? Aku menghubungimu dua hari terakhir ini tapi tidak ada balasan sama sekali." Eric menatapku dengan kedua matanya yang melotot.

Uh-oh. Aku belum mengecek handphoneku. "Jenna juga tidak menghubungiku." Gerutunya sambil berjalan di sebelahku.

"Sorry. Alex menyanderaku selama dua hari ini, aku belum mengecek handphoneku." Aku tidak berbohong padanya, Alex memang membuatku sedikit sibuk dua hari ini. Bahkan aku belum mengeluarkan handphoneku dari tasku sama sekali.

Eric menghela nafasnya lalu tersenyum nakal, "Aku tidak keberatan jika Alex membuatku sibuk dua hari penuh."

Aku juga, pikirku.

"Ewww." Balasku sambil mengerutkan hidungku. Suara tawa Eric menggema di lorong sekolah yang mulai sepi. Semua murid angkatan juniorku sudah masuk ke kelasnya masing-masing, senior bisa datang kapan saja karena kami hanya harus mengisi formulir pendaftaran kuliah. Hingga saat ini aku masih belum yakin akan mengambil jurusan apa, keluargaku merekomendasikan universitas yang sama dengan Alex dulu karena jaraknya hanya 1,5 jam dari kota ini.

Jenna sudah berada di dalam kelas saat aku dan Eric sampai, Ia hanya melempar senyum canggung padaku. Aku belum menghubunginya setelah kejadian di pack meeting, aku ingin memukul diriku sendiri jika mengingat apa yang kulakukan saat itu. Perasaan bersalah menghantuiku saat Jenna duduk di depanku, menatapku dengan pandangan antara ragu-ragu dan cemas.

"Kalian berdua benar-benar teman terburuk yang pernah kumiliki." Gumam Erik sambil menaruh tasnya di bangku sebelahku. Ia bergantian menatapku lalu ke arah Jenna lalu mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan kalian berdua? Kalian sedang bertengkar?"

"Tidak." Jawab kami bersamaan lalu berpandangan sambil tersenyum kecil.

"Okay, terserah... Aku harus menemui Mrs. Stuart di ruangannya sekarang. Sial."

Jenna memutar kedua bola matanya yang berwarna biru, "Apa lagi yang kaulakukan, Eric?"

Mrs. Stuart adalah guru konseling kami, Ia menangani murid-murid yang 'bermasalah'. Dan Eric adalah salah satu murid kesayangannya, tentu saja karena Ia cukup sering mengunjungi Mrs. Stuart.

"Beberapa hari yang lalu Ia memergokiku merokok sedikit di gudang belakang..."

Kali ini aku yang memutar bola mataku, "Aku tidak tahu apa kau bodoh atau kau memang ingin Mrs. Stuart memergokimu, Eric." Mrs. Stuart memang sering melakukan patroli di gudang belakang, bahkan sesekali hingga ke hutan Pepperwell yang berada di sebelah sekolah kami.

"Terimakasih untuk nasehatnya, kalian benar-benar teman yang sangat baik." Kata Eric dengan nada sarkasme sebelum Ia keluar dari kelas sambil menggerutu, meninggalkan kami berdua dengan suasana yang kembali canggung.

"Hey." Sapa kami bersamaan lagi lalu sama-sama tersenyum.

"Dengar aku ingin... aku tahu apa yang kulakukan saat itu sangat kekanakan. Seharusnya aku tidak malampiaskannya padamu. Sorry, Jen." Kataku sambil tersenyum malu, "Seharusnya aku menghubungimu dari kemarin untuk minta maaf..."

"Cara, itu semua bukan salahmu. Aku tahu Alex tidak memberitahumu, dan Dane membuatku berjanji untuk tidak memberitahumu juga. Aku juga akan merasa marah jika menjadi dirimu."

"Tapi sikapku benar-benar—"

"Sikapmu benar-benar menyebalkan... seperti biasa." Balas Jenna sambil nyengir. Aku membalasnya dengan senyuman lebar.

"Jadi kita kembali seperti biasa?" tanyaku.

"Tentu saja, bodoh." Balas Jenna. Kami masih mengobrol hingga Eric kembali satu jam kemudian, lalu kami bertiga mengumpulkan formulir yang sudah diisi ke guru pembimbing kelas. Eric dan Jenna masih mengobrol tentang prom hingga satu jam selanjutnya, membuatku sakit kepala setelah mendengarkan Jenna membahas tentang sepatunya selama hampir setengah jam.

"Hey, aku mau ke kamar mandi sebentar." kataku pada keduanya sambil berdiri dari tempatku.

"Kau ingin kutemani?" tanya Jenna sambil mendongak. Aku menggeleng padanya.

"Kau ingin kutemani?" tanya Eric, mengkopi pertanyaan Jenna. Aku tertawa kecil sambil menggeleng lagi. Jika salah satu dari mereka menemaniku, maka aku harus mendengarkan soal ocehan Prom mereka lebih lama lagi.

Aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi yang terletak paling jauh dari kelasku, berharap setelah aku kembali Eric dan Jenna sudah selesai membicarakan Prom. Bagian belakang sekolah kami berbatasan langsung dengan hutan Pepperwell, walaupun ada pagar pembatasnya tapi tertentu sudah rusak di beberapa bagian. Beberapa anak yang ingin merokok atau membolos biasanya melakukannya sambil bersembunyi di hutan Pepperwell.

Udara pagi yang segar dan aroma pepohonan menyambutku saat aku keluar dari lorong gedung induk. Tidak ada satu orang pun di halaman belakang pagi ini, padahal biasanya beberapa anak yang membolos berkumpul di bawah pohon Oak. Aku berjalan menuju kamar mandi pelan-pelan, menikmati suara pepohonan yang bergesek karena angin dari kejauhan.

Kucuci tanganku lalu membasuh wajahku sedikit saat berada di kamar mandi. Saat memandang cermin di depanku kedua mataku terpaku pada pantulanku, beberapa tetes air masih membasahi wajahku. Kedua mataku yang berwarna hijau-kebiruan saat ini warnanya lebih cenderung berwarna biru, kukerutkan keningku sambil terus menatapnya. Mungkin karena efek lampu kamar mandi ini?

Tapi semakin lama melihatnya, warna mataku berubah lagi hingga hampir benar-benar kebiruan seluruhnya. Jantungku berdebar keras saat kusadari warnanya perlahan berubah lagi.

Kali ini biru bersemu violet.

Kupejamkan mataku erat-erat lalu menghitung hingga sepuluh di dalam kepalaku sebelum membukanya lagi. Tapi warna mataku belum kembali seperti awal, warnanya masih berwarna biru dengan sedikit semu violet.

Apa yang diucapkan Alex beberapa hari yang lalu terngiang di kepalaku, kedua mataku juga berwarna violet saat kejadian mengerikan itu. Kakiku melangkah mundur hingga beberapa meter dari cermin lalu kupejamkan lagi kedua mataku erat-erat.

Saat kubuka kedua mataku untuk yang kedua kalinya, aku tidak berada di kamar mandi sekolahku lagi.

***

Sinar matahari sore yang berwarna kemerahan menyusup di antara pepohonan di sekelilingku, kesunyian yang memekakkan telinga hanya sesekali diselingi oleh suara gemerisik pohon di hutan ini.

Setelah mengerjapkan mata beberapa kali aku menatap ke sekitarku lalu mundur beberapa langkah dari tempatku dengan panik. Bukan hutan ini atau bagaimana aku bisa berada di sini yang membuatku ngeri, tapi sisa bangkai-bangkai binatang di sekelilingku. Beberapa bangkai kelinci, burung, dan tupai berceceran di depanku. Bau anyir darah menguar di udara bercampur dengan bau segar pepohonan.

Kuangkat kedua tanganku menatap ujung kuku-kuku jari tanganku yang berubah menjadi kehitaman, seperti di mimpiku. Dengan panik kuusap jari-jariku ke seragamku yang kini sudah kusut dan dipenuhi beberapa percikan darah.

"Mu—mungkin ini hanya mimpi." Gumamku dengan suara bergetar pada diriku sendiri. Tapi noda kehitaman di kukuku tidak kunjung menghilang juga, rasa panik dan takut membuatku sedikit gemetar.

Kulirik bangkai-bangkai binatang itu lagi, daun-daun pinus yang mengering berceceran di sekitar bangkai. Darah masih sedikit mengalir dari perut salah satu kelinci dan rusa kecil.

Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa sampai di sini?

Kubalikkan badanku lalu setengah berlari, mencari jalan keluar dari hutan ini. Mungkin aku hanya melamun seperti kemarin dan tidak sadar berjalan ke dalam hutan Pepperwell. Kupaksa kakiku yang sedikit lemas untuk bergerak sambil berusaha mendengarkan suara-suara di sekitarku, mencari suara manusia atau kendaran, atau sesuatu. Apapun.

Tapi tidak ada suara manusia atau kendaraan... atau bahkan binatang. Hanya ada suara angin lembut yang membuat pepohonan di sekitarku bergerak dan keheningan.

Kakiku beberapa kali tersandung batu dan akar pepohonan membuat langkahku goyah, aku tidak sempat memperhatikan ke mana arah yang sedang kutuju. Beberapa bangkai binatang terlihat lagi, kali ini burung hantu dan tupai. Mereka memiliki luka yang sama dengan binatang yang lainnya, darah keluar dari mata, mulut, dan hidung binatang-binatang itu. Tenggorokanku terasa tercekat saat berjalan melewati bangkai-bangkai itu.

Apapun yang terjadi padaku saat ini, aku harus mencari jawabannya. Dan hal pertama yang harus kulakukan sekarang adalah mencari jalan keluar dari hutan ini. Aku berlari selama hampir setengah jam hingga nafasku terputus-putus lalu berhenti di sebelah pohon pinus besar, kusandarkan bahuku di batang pohon sambil mengatur nafasku.

Langit perlahan berubah menjadi lebih gelap, mungkin sebentar lagi matahari akan terbenam. Udara di sekitarku juga berubah semakin dingin. Beberapa kancing teratas kemeja seragamku sudah menghilang, bersama dengan dasiku.

Kupejamkan mataku untuk melawan rasa takut yang kembali menyusupiku. Aku membayangkan Alex saat terakhir aku melihatnya pagi ini, wajah damainya yang tertidur di bantalku. Bahkan saat tidur pun Ia terlihat sempurna. Saat ini Ia pasti sedang mencariku.

Kubuka lagi kedua mataku memandang keheningan hutan ini, sesaat aku merasa kesepian. Rasanya aneh berada di tempat seperti ini sendirian, tidak ada suara, tidak ada binatang, hanya ada pepohonan hijau di sepanjang mata memandang. Tiba-tiba badanku terasa sangat lelah, seakan-akan semua hal yang kulakukan beberapa jam terakhir baru terasa lelahnya sekarang. Aku hanya ingin tidur. Aku hanya pulang dan kembali pada Alex.

Kulanjutkan langkahku, kali ini tidak secepat sebelumnya. Kudekap kerah kemejaku dengan salah satu tanganku, tiga kancing teratas kemejaku menghilang jadi aku harus menariknya dengan tanganku agar kemejaku tidak terbuka semakin lebar.

Dalam kesunyian, samar aku mendengar suara gemerisik yang asing. Bukan terdengar seperti gemerisik pohon yang tertiup angin, rasanya terdengar seperti gemerisik daun kering yang terinjak. Kuhentikan langkahku lalu menatap sekitarku.

"Sial, aku tidak mengira akan sejauh ini."

Dengan cepat kubalikkan badanku ke sumber suara di belakangku. Tapi yang kulihat adalah orang yang paling tidak kuduga akan kutemui di tempat ini.

"Vi—Vincent?"

Vincent Brooks berdiri cukup jauh dariku, dibalik semak tanaman liar. Ia masih mengenakan seragamnya sama sepertiku, hanya saja terlihat jauh lebih rapi dariku. Saat aku berjalan ke arahnya, Ia mengangkat tangannya untuk melarangku. "Jangan mendekat. Ia akan mencium bauku darimu."

"Apa yang kau lakukan—"

"Sudah berapa kali ini terjadi?" potongnya dengan nada suara yang jauh berbeda dari biasanya. Tidak ada nada ramah atau senyuman di wajahnya. Vincent terlihat sangat berbeda dibanding dengan saat Ia mengajakku ke Prom beberapa hari lalu. Pertanyaannya membuatku berpikir bahwa Ia bukan manusia juga.

"Siapa... kau sebenarnya?"

"Berapa kali?" desaknya tanpa menjawab pertanyaanku. "Aku tidak punya waktu banyak. Mereka hampir sampai."

Siapa yang hampir sampai? pikirku kebingungan.

Vincent memandangku dengan kerutan frustrasi di dahinya. "Caroline, aku dapat menolongmu. Jadi jawab pertanyaanku, berapa kali ini hal ini terjadi padamu?"

Entah karena nada suaranya atau karena rasa legaku setelah melihatnya, aku menjawab pertanyaannya. "Ini yang kedua kalinya."

Vincent memejamkan matanya dengan marah, "Ahhh... kenapa harus sekarang." gerutunya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku lagi. Aku yakin Ia bukan anggota pack Alex.

"Aku akan memberitahumu jika kau datang ke Prom bersamaku, kita bisa bicara dengan lebih leluasa disana." balasnya dengan serius.

Aku menatapnya selama beberapa saat sebelum menggeleng. "Aku tidak bisa."

"Jangan beritahu Alex."

"Ia pasti tahu." Aku tidak ingin membayangkan masalah apa yang akan ditimbulkan oleh Alex karena kecemburuannya.

"Alex akan keluar kota selama beberapa hari saat Prom. Selama kau tidak memberitahu siapapun sebelumnya, Ia tidak akan membatalkan urusannya."

Bagaimana Ia bisa tahu? Belum sempat aku bertanya, Vincent sudah membalikkan badannya dan berjalan menjauh dengan cepat. Aku menatap punggungnya hingga menghilang di balik pepohonan dengan tidak percaya.

"Vincent?! Jangan tinggalkan aku disini!"

"Seseorang akan menjemputmu sebentar lagi!" balasnya dengan teriakan yang sudah terdengar jauh. Ia berlari sangat cepat, pikirku, apa Vincent juga werewolf?

Kusandarkan punggungku ke salah satu pohon lalu memejamkan kedua mataku dengan lelah. Aku sudah berlari dan berjalan sangat lama hingga seluruh tubuhku terasa sakit, hari juga semakin gelap. Kukira hutan Pepperwell tidak sebesar ini.

Aku ingin pulang... adalah pikiran terakhirku sebelum tertidur karena rasa lelahku.

***

Suara sesuatu yang berderap membuatku tersentak dari tidurku. Dalam kebingungan kedua mataku menatap ke hutan di sekitarku yang sudah gelap. Beberapa saat kemudian aku menyadari suara yang kudengar adalah suara sesuatu yang berlari. Apapun yang datang ke arahku saat ini sudah pasti bukan manusia, pikirku sambil berdiri.

Apa itu Alex?

Dalam hitungan detik aku bisa melihat dari celah batang pohon sekelebat bayangan besar yang mendekat, aku bisa melihat lebih jelas saat Ia berada lebih dekat. Seekor serigala besar. Hampir sebesar serigala Alex yang kulihat dulu, kedua telinganya berwarna hitam sedangkan bulunya berwarna coklat terang.

Seorang werewolf, tapi bukan Alex.

Ia melesat dengan cepat ke arahku, lalu berhenti 10 meter dari tempatku berdiri. Serigala besar itu menyeringai ke arahku, menampakkan sederet giginya yang besar dan terlihat tajam. Kudorong tubuhku menempel batang pohon di belakangku hingga kurasakan permukaan kayunya yang menusuk punggungku melalui kemejaku.

Aku teringat cerita Alex tentang Rogue, werewolf liar yang tidak memiliki pack. Bagaimana jika Ia membunuhku?

Kami berpandangan selama beberapa saat hingga akhirnya serigala itu menggeram keras lalu berbalik lagi dan berlari menjauh. Seluruh energiku rasanya menghilang saat rasa lega membanjiriku, tubuhku merosot hingga terduduk di tanah. Kuatur nafasku hingga gemetar tubuhku sedikit berkurang. Lalu aku mendengar suara yang sangat kukenal memanggil namaku.

"Cara? Kau tidak apa-apa?"

"J—Jake!" aku berusaha berdiri lalu memandang sekitarku untuk mencarinya, suaranya terdengar cukup dekat. "Jake? Dimana kau?"

"Disini." Hanya kepala Jake yang menyembul dari balik pohon, seluruh badannya tertutup pohon. Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Aku berjalan dengan cepat ke arahnya sambil mengangkat tanganku untuk memeluknya.

"Whoa! Stop, Cara, jangan mendekat." Jake terlihat sedikit panik. Aku berhenti 3 meter dari pohon tempatnya bersembunyi lalu mengerutkan keningku.

"Apa?"

"Aku tidak membawa baju. Tadi kami terlalu terburu-buru." Gumamnya sambil menatap ke arah langit dengan sedikit malu.

Tidak membawa baju? Aku terdiam sejenak, terhenyak oleh kata-katanya. Lalu semuanya menjadi lebih masuk akal. Serigala yang kulihat barusan bukanlah Rogue. Ia adalah Jake.

"Hey, Cara, kau bisa mundur sedikit?" suara Jake membuatku kembali menatapnya.

"Kenapa?"

"Kurasa Alex tidak akan menyukainya jika Ia melihat kau berada sedekat ini denganku..." tambahnya dengan sedikit canggung.

"Alex ada di sini?" tanyaku sambil mundur beberapa langkah hingga aku kembali di sebelah pohon yang kugunakan untuk istirahat sebelumnya.

"Aku baru saja memberitahunya lokasimu."

"Memberitahunya? Kau bahkan tidak membawa pakaian... apalagi handphone."

Jake terlihat sedikit bingung dengan kalimatku, "Werewolf bisa saling berhubungan tanpa ponsel, Cara. Kami mempunyai sesuatu yang lebih canggih dari handphone. Namanya Pack link."

Kali ini giliranku yang memandangnya dengan bingung.

"Alex benar-benar tidak menceritakan apa-apa padamu ya?" gerutunya.

"Belum seluruhnya." Balasku.

"Pack link adalah cara kami berhubungan. Kami bisa saling berhubungan di dalam kepala kami, seperti telepati. Tapi hanya Alpha yang memiliki akses link ke seluruh anggota Pack. Jadi kami hanya bisa menghubungi Alpha tapi tidak bisa menghubungi anggota lainnya."

Aku mengerutkan hidungku, "Jadi Alex bisa masuk ke dalam kepala kalian?" tanyaku dengan ngeri.

"Teknisnya begitu. Tapi kami melakukannya hanya pada saat-saat penting, yang membutuhkan koordinasi penuh seperti ini contohnya."

Perasaanku tidak enak setelah mendengar informasi Jake, "Aku kira hanya kau dan Alex yang mencariku saat ini." Gumamku dengan suara sangat pelan. Jake mendengus mendengarku.

"Alex memberlakukan siaga satu sejak Jenna melaporkan kau menghilang lima jam yang lalu."

"Siaga satu?"

"Patroli besar-besaran. Ia mengerahkan seluruh anggota pack untuk mencarimu... Cara, bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" suara Jake berubah heran saat mengucapkan pertanyaannya.

"Aku... Aku tersesat."

Jake mengerutkan kedua alisnya, "Sampai sejauh ini? Jenna bilang kau masih berada di sekolah pagi ini."

Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Jake karena aku sendiri juga tidak tahu bagaimana aku bisa sampai disini.

"Ah, jadi..." Aku tidak melanjutkan kalimatku ketika pandangan Jake beralih pada sesuatu di belakangku, atau seseorang. Bahkan sebelum aku berbalik untuk melihat aku sudah tahu siapa yang berada di belakangku, jantungku berdebar ketika bau mint dan pinus mulai tercium.

Kubalikkan badanku menatap Alex yang sedang berdiri tiga langkah di depanku. Ia hanya mengenakan celana piyamanya tadi pagi. Tidak ada ekspresi sedikitpun di wajahnya, Ia hanya menatapku lalu akhirnya berpaling ke arah Jake.

"Kau bisa kembali." Suara Alex terdengar aneh dan lebih dalam daripada suara biasanya

"Alex—"

"Sekarang." Potong Alex sebelum Jake melanjutkan kalimatnya, suaranya kali ini terdengar dingin.

"Baik, Alpha." Balas Jake dengan nada formal lalu beberapa detik kemudian aku mendengar suara patahan keras yang mengerikan dan sedikit erangan, serigala Jake muncul dari pohon lalu melesat dengan anggun meninggalkan kami berdua sendirian.

Perhatianku kembali lagi ke Alex, kedua matanya yang berwarna coklat keemasan menatapku. Aku hampir bisa merasakan kekuatan aneh yang memancar darinya, yang memberinya karisma sangat besar hingga hampir membuatku menundukkan kepalaku untuk menghindari tatapannya. Hampir.

"Alex..." aku melangkah sedikit ke arahnya karena tidak tahu harus berbuat apa. Sikapnya saat ini membuatku sedikit gugup.

"Caroline." Suaranya yang dalam membuat jantungku berdebar lebih cepat. Kedua matanya masih memandangku tanpa berkedip, "Mate."

Dalam dua langkah yang sangat cepat Alex sudah berada di depanku, sebelum aku menyadari apa yang sedang terjadi Ia mendorongku ke pohon terdekat. Tubuhnya mengurungku hingga aku bisa merasakan rasa hangat yang memancar dari kulitnya, padahal kami hampir tidak bersentuhan.

"Mate." Ulangnya lagi. Nafasnya yang sangat hangat berhembus di leherku.

"Alex, apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan nada yang kuusahakan tenang.

Ia menarik tanganku yang mendekap kemejaku lalu menggenggamnya, lalu kepalanya bergerak di sekitar leherku tanpa menyentuhnya seperti sedang mencari bau sesuatu. Jari tangannya menarik ujung kerah kemejaku hingga terbuka lebar, walaupun aku mengenakan tank top di bawah seragamku tapi tetap saja Ia membuatku terasa sangat terbuka.

"Alex!" aku berusaha menutup kemejaku dengan tanganku yang sedang tidak digenggam olehnya tapi Ia menghalanginya. "Apa yang kau laku—"

Alex mencium tanda bekas gigitannya yang berada di pangkal leherku. Mulutku terkatup rapat saat itu juga, menahan suara yang ingin keluar dari mulutku. Alex membuka bibirnya sedikit lalu menyapukan lidahnya ke sekitar pangkal leherku membuat lututku lemas seketika.

"Mate. Milikku." Gumamnya sebelum menggigitku persis di tempat yang sebelumnya. Tapi aku tidak merasakan rasa sakit seperti saat pertama kali Ia menggigitku, yang ada hanya perasaan hangat di perutku dan aliran listrik yang menyenangkan menjalar ke seluruh tubuhku. Dengan wajahnya yang terbenam di leherku aku hanya bisa menatap rambut coklatnya.

Itu adalah hal terakhir yang kuingat sebelum kehilangan kesadaran.