Chereads / CAROLINE / Chapter 9 - Chapter 9

Chapter 9 - Chapter 9

Aku kembali ke kamar setelah selesai lalu mengganti bajuku dengan piyama, kali ini di kamar mandi karena aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi.

Kuambil sikat gigiku di dekat wastafel, sekarang ada dua sikat gigi di kamar mandiku—satunya milik Alex. Aku masih merasa aneh dengan perubahan ini. Kugosok gigiku lalu membersihkan wajahku.

Suara Alex dan Jake yang berteriak terdengar bahkan dari kamarku di lantai dua, mereka berdua bisa sangat berisik saat bermain game. Kuputuskan untuk tidur lebih cepat, seharian menemani Jen mencari gaun dari toko ke toko berhasil menyerap seluruh sisa energiku hari ini. Kujatuhkan tubuhku di tempat tidur lalu menarik selimut, tanganku merayap untuk mematikan lampu. Beberapa menit kemudian mataku sudah terpejam.

Malamnya aku terbangun pukul 1 pagi karena tenggorokanku yang kering. Saat turun ke dapur suasana yang gelap membuat kakiku berkali-kali menabrak sesuatu. Lalu kulihat Alex dan Jake tidur di sofa, cahaya dari Tv yang belum dimatikan menjadi satu-satunya penerang di ruang tengah. Alex tidur dengan sebelah kakinya menggantung ke bawah, selimutnya membelit tubuhnya seperti ular membuatku tersenyum sendiri. Kulanjutkan langkahku menuju dapur untuk mengambil segelas air.

"Cara?" sebuah suara serak memanggil dari belakangku. Kubalikkan badanku setengah terkejut, Alex memandangku dengan mata menyipit, sekarang ia sudah setengah duduk.

"Sorry, apa aku terlalu berisik?" Bisikku padanya.

"Kau terbangun?" tanyanya masih dengan suara seraknya yang tiba-tiba membuat perutku serasa dipenuhi kupu-kupu.

"Aku hanya haus." balasku masih dengan berbisik lalu mengambil segelas air, tiba-tiba kudengar suara langkah berat di belakangku. Aku berhenti sejenak untuk melihat Alex dengan wajahnya yang setengah terpejam mengikutiku.

"Alex, apa yang kau lakukan? Kembali tidur saja." kataku padanya. Setengah tersenyum Alex menggaruk kepalanya, "Aku akan menemanimu. Sampai kau tidur." Jawabnya pendek.

"Kau hanya ingin tempat tidurku." gerutuku dengan kesal.

"Boleh juga." Katanya sambil tertawa kecil. Kami berjalan bersama kembali ke kamarku dan naik ke tempat tidurku.

Badan Alex yang besar hanya menyisakan sedikit tempat untukku, dan aku harus berusaha setengah mati agar kami tidak bersentuhan. Tiba-tiba Alex menarik selimutku untuknya sendiri.

"Alex!" desisku sambil menariknya kembali. Pandangan Alex tertuju pada hiasan bintang glow in the dark yang bersinar di atap kamarku. Bintang-bintang tersebut bersinar ketika lampu di kamarku dimatikan, aku ingat Alex lah yang memasangnya beberapa tahun yang lalu.

"Alex... Hari ini aku bertemu dengan Annelise." Kataku sambil mengalihkan pandanganku ke bintang-bintang juga.

"Yeah, ia memberi tahuku." Jawabnya.

"Jadi... Apa itu Alpha?" tanyaku padanya.

"Alpha... adalah pemimpin sebuah pack—atau kumpulan werewolf, dan Alpha diturunkan secara garis darah."

Aku kembali menoleh ke arahnya, "Dan kau adalah Alpha nya?"

"Yeah."

"Jadi Dad adalah Alpha juga?"

"Bukan. Paman Brent lah Alpha yang sebelumnya, karena ia tidak memiliki anak jadi aku garis keturunan terdekat setelahnya." Jelasnya padaku.

Paman Brent adalah kakak Dad. Jadi ia juga Alpha? Aku baru menyadari alasan mengapa semua orang terlihat sangat menghormatinya.

"Aku baru diangkat menjadi Alpha tahun lalu. Sebenarnya aku pindah ke luar kota untuk mengurusi transisi kepemimpinan pack juga." Tambahnya.

"Oh." Jawabku, aku tidak tahu harus berkata apa jadi kami terdiam beberapa lama.

"Cara?" Alex masih memandang bintang-bintang di atas kami yang mulai meredup.

"Hmmm?" gumamku sambil menoleh padanya.

"Boleh aku menciummu?" tanyanya sebelum menoleh ke arahku juga. Aku tercekat mendengar pertanyaannya. Alex membalik tubuhnya menghadapku, matanya yang berwarna coklat berkilat menatap mataku. Lalu ia mengangkat tubuhnya mendekatiku, tubuhnya bertumpu pada tangannya. Kepalanya mendekat kepadaku, dan dia menciumku. Kami berciuman beberapa saat sebelum akhirnya tanganku mendorong dadanya sedikit menjauh. Nafas kami saling berhembus dan jantungku saat ini berdebar setengah mati.

"Annelise terkejut ketika tahu bahwa kau me-mark ku. Adikmu sendiri." Bisikku pada Alex yang masih bertumpu di sebelahku. Matanya yang berubah menjadi coklat gelap masih terpaku pada bibirku.

"Dan kau keberatan?" tanyanya, matanya beralih padaku.

"Kurasa… Tidak?" jawabku.

"Aku juga tidak." Jawabnya pendek, lalu Alex menciumku lagi.

***

Alarm yang berbunyi membangunkanku dari tidurku yang nyenyak. Kubuka kedua mataku dan cahaya matahari pagi yang bersinar terang membuat mataku buta sesaat. Kukerjapkan kedua mataku sambil membiasakannya dengan cahaya matahari lalu menoleh pada Alex yang berada di sebelahku. Hela nafasnya yang berat menandakan ia masih tertidur lelap. Salah satu tangannya berada di atas perutku yang tertutup selimut, setengah memelukku. Cih, sekarang siapa yang seperti gurita? Pikirku sambil mengangkat tangannya. Tapi sebelum aku bisa keluar dari selimutku tangannya kembali terulur dan menarikku ke dalam pelukannya lebih erat.

"Alex." erangku sambil berusaha mendorong tubuhnya menjauh.

"Hmm..." gumamnya dengan suara berat. Kupejamkan mataku sejenak, kurasa aku memiliki kelemahan baru; suara serak dan berat Alex saat bangun tidur adalah salah satu hal paling seksi yang pernah kudengar. Selain suara bacon yang digoreng saat sarapan tentu saja.

"Aku tidak bisa bernafa—sh" Pekikku. Dalam waktu sepersekian detik Alex mendorong tubuhnya menjauh lalu duduk di atas tempat tidurku sambil memandangku dengan matanya yang menyipit. "Sorry..." gumamnya dengan suara serak lalu menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman mengantuk. Kugigit bibirku dengan sedikit frustasi karena jantungku yang berdebar tidak karuan, Alex sangat berbahaya di pagi hari. Kuambil bantalku lalu melemparkannya dengan keras ke wajahnya.

"Kau benar-benar butuh tempat tidur sendiri." Kataku padanya, tapi Alex sudah kembali bergelung sambil memeluk bantalku.

"Alex aku harus bersiap-siap ke sekolah, keluar dari kamarku." Gerutuku.

"H—hm." Alex membenamkan wajahnya di bantalku lalu memeluknya semakin erat.

"Mum!" Aku mulai berteriak memanggil Mum.

"Okay, okay!" Masih dengan mata setengah terpejam Alex keluar dari kamarku, ia menabrak pintu kamarku lalu memakinya sebelum menghilang dari balik pintu. Sambil tertawa kecil aku masuk ke dalam kamar mandi lalu melakukan rutinitas pagiku.

Mum sedang memasak pancake ketika aku masuk ke dapur, Alex dan Jake duduk di meja makan sambil menghabiskan makanannya, aku mengambil tempat di tengah keduanya.

"Dimana Dad?" Tanyaku pada Alex yang duduk di sebelahku.

"Pergi ke rumah Paman Brent," Alex memasukkan sepotong besar pancake ke mulutnya, "Mewreka akan mwemancing." Tambahnya dengan mulut yang penuh.

"Alex, jangan mengobrol sambil mengunyah." Mum menegur Alex dengan wajah cemberutnya. Alex bersusah payah menelan pancake di dalam mulutnya.

"Aku hanya menjawab pertanyaanya." Jawab Alex membela dirinya. Aku hanya membalas Alex dengan memutar kedua mataku, Mum adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Alex takut—hanya Mum.

"Jadi tuan putri yang akhirnya pergi ke Prom, mau kuantar ke sekolah?" Jake tertawa mendengar leluconnya sendiri.

"Aw, Jake, diamlah." Balasku dengan kesal. Aku menaruh satu potong pancake di piringku lalu menuangkan sedikit saus maple, mataku terpaku pada makanan di piring Alex, bacon, pancake, telur, dalam jumlah yang banyak. Jake juga sama.

"Kalian makan seperti babi." Gumamku dengan suara pelan.

"Werewolf butuh nutrisi yang lebih banyak." Alex membela dirinya, "Kami akan mengantarmu ke sekolah." Tambahnya.

"Kami? Maksudmu kau dan Jake?" tanyaku, "Aku bisa berangkat sendiri." Aku tidak bisa membayangkan berada satu mobil dengan mereka berdua.

"Kami akan mengantarmu, Cara. Jake dan aku akan pergi ke apartemen baruku, jadi kita satu jalur, kan." Balasnya sambil mengigit potongan bacon terakhir.

"Errr... Lebih baik aku berangkat sendiri."

"Aku akan pindah ke apartemen baru hari ini, mungkin besok aku tidak bisa mengantarmu lagi."

"Oh..." Tiba-tiba sebagian diriku merasa kecewa mendengarnya, "Kau sudah akan pindah?" Sebisa mungkin kusembunyikan nada kecewa dari suaraku.

"Yeah... Jadi hari ini aku akan mengantarmu, okay?"

"Oh, Okay." dengan senyuman tipis kulanjutkan sarapanku.