Setelah mengukur toga kelulusan aku dan Jen memutuskan untuk pulang karena tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di sekolah. Eric sudah pulang lebih dulu sejak tadi bersama Julian. Kami berjalan menuju lokerku untuk mengambil beberapa barang dan tasku. Kubuka lokerku untuk mengosongkannya, isinya hanya beberapa buku yang tertinggal. Tiba-tiba sepasang kaki berhenti tepat di balik lokerku, kututup pintu lokerku dan memandang laki-laki berambut coklat chestnut di depanku.
"Ehhh, Cara aku duluan, ok? Dane sudah menungguku. Bye Cara! Bye Vincent!" Jen yang sebelumnya berdiri di sebelahku mulai berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya, aku menatapnya dengan curiga sebelum mengembalikan perhatianku pada sosok di depanku lagi.
"Hey." sapanya, matanya yang berwarna biru muda memandangku sambil tersenyum. Ia memiliki wajah yang cute, dengan lesung pipinya yang terlihat menonjol.
"Hai, kau ada di kelas Geometri juga kan?" Aku ingat pernah melihatnya sesekali di kelas geometri.
"Yeah, namaku Vincent Brooks." balasnya sambil mengulurkan tangannya, aku membalas uluran tangannya.
"Caroline Brennan." Balasku.
"Aku tahu." ia tertawa kecil, "Hey, Jenna bilang kau belum memiliki partner untuk pergi ke pesta Prom..." Ia berhenti sejenak untuk menunggu reaksiku. Aku benar-benar akan membunuh Jen, pikirku sambil terus berusaha menjaga senyuman di wajahku lalu mengangguk pada Vincent.
"Apa kau mau pergi bersamaku?" Tanyanya dengan agak malu, ia benar-benar terlihat cute.
"Yeah, tentu saja." Jawabku sambil tersenyum kecil, tidak ada salahnya pergi bersamanya. Lagipula ia terlihat seperti anak baik-baik. Kami mengobrol sebentar sambil berjalan menuju halaman parkir, lalu ia meminta nomor handphoneku. Saat aku melihat ke arah gerbang, mobil Alex sudah terparkir di luar sekolahku.
"Butuh tumpangan pulang?" tanyanya sambil memasukkan handphone ke saku.
"Kakakku sudah menjemputku." Kataku sambil menunjuk mobil Alex, ia mengikuti arah pandangku lalu mengangguk kecil.
"Kalau begitu sampai jumpa lagi, Cara." Vincent melambai padaku sebelum berjalan menuju tempat parkir mobilnya. Aku melanjutkan langkahku menuju mobil Alex lalu membuka pintu mobilnya. Alex tidak menoleh ke arahku, pandangannya fokus pada Vincent yang berjalan di kejauhan.
"Siapa dia?" tanyanya pendek.
"Vincent Brooks, temanku di kelas Geometri." Jawabku sebelum melempar tasku ke bangku belakang. Alex hanya terdiam lalu mulai mengemudikan mobilnya. Beberapa kali aku memulai pembicaraan tapi hanya dibalas satu kata oleh Alex hingga akhirnya aku menyerah, mungkin moodnya sedang buruk siang ini. Kami berkendara dalam diam hingga kusadari ini bukan bukan jalan menuju ke rumah.
"Alex? Kemana kita?" Tanyaku memandang Alex yang masih memandang lurus ke jalanan di depannya.
"Apartemenku." Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Oh..." Aku tidak tahu harus menjawab apa. Alex mengemudikan mobilnya ke dalam basement sebuah gedung apartemen. Lalu kami berjalan menuju lift, ia menekan level 3. Suasana hatinya yang buruk semakin terlihat, rahangnya mengeras sejak tadi seakan ia sedang menahan rasa marah.
Kami berjalan di lorong apartemennya, beberapa lukisan cat minyak digantung dengan rapi di dindingnya. Kurasa Alex tinggal di apartemen yang mahal karena tempat ini lebih terlihat seperti hotel daripada apartemen. Ia berhenti di pintu nomor 38, lalu mengeluarkan sebuah kartu dan menggeseknya di panel yang terpasang di sebelah pintu.
Whoa, pasti apartemen ini benar-benar mahal. "Katakan padaku kau menyewa bukan membeli tempat ini." gumamku sambil terpukau.
Alex membiarkan pintunya terbuka tanpa mengajakku masuk, bahkan menengokku pun tidak. Aku berdiri tertegun di depan pintunya, tiba-tiba merasa marah juga padanya. Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa dan dia memperlakukanku seperti ini? Apa yang salah dengannya? Apa ia sedang PMS?
Beberapa saat kemudian Alex menyadari bahwa aku masih berdiri di depan pintu apartemennya, ia menatapku dengan matanya yang dingin, "Masuk dan tutup pintunya." suaranya yang memerintah membuatku menggertakkan gigiku untuk menahan amarah.
"Kurasa sebaiknya aku pulang." Suaraku yang terdengar marah menggagalkan rencanaku untuk pura-pura tidak peduli. Lalu aku membalikkan badanku dan berjalan kembali menuju lift. Sebelum aku sampai di lift sebuah tangan menarik lenganku, Alex berdiri di depanku menatapku dengan matanya yang berwarna coklat sementara ia berusaha mengendalikan rasa marahnya, "Maafkan aku." gumamnya sambil menggertakkan giginya.
"Ada apa denganmu?!" seruku sambil melepaskan tangannya dari lenganku. "Kalau kau sedang ada masalah, jangan melampiaskannya padaku!"
"Aku tidak suka temanmu." Alex menatapku dengan hati-hati.
Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk memahami apa yang baru saja ia ucapkan. "Vincent? Kau… cemburu?" tanyaku dengan terkejut. Alex menghindari tatapan bertanyaku.
"Kita bicara di dalam saja, Cara." Katanya sambil mendorong punggungku dengan lembut. Apartemen Alex didominasi oleh warna abu-abu dan putih, perabotannya yang minimalis tapi mewah mengisi dapur dan ruang tengahnya yang menjadi satu di ruangan luas. Alex duduk di sofa berwarna hitam lalu menepuk tempat di sebelahnya, memintaku duduk. Mataku menangkap beberapa bingkai foto di atas rak buku, fotoku dan Alex saat aku baru masuk SMA, saat kami saat masih kecil, foto kami bersama Mum dan Dad ditata rapi. Beberapa boks berisi barang-barang Alex yang belum dibereskan ditumpuk di sudut ruangan.
"Ada apa?" tanyaku sambil tetap berdiri, kulipat kedua tanganku di dada.
"Cara, aku tidak bermaksud marah padamu." Alex memandangku selama beberapa saat lamanya sebelum menlanjutkan, "Sebagai seorang Alpha sangat susah bagiku untuk mengendalikan perasaanku. Terutama serigalaku, ia bisa menjadi sangat posesif."
"Vincent adalah partner Promku, Alex."
Tubuhnya menegang saat mendengar balasanku, "Kalau begitu jangan pergi ke Prom."
Aku memandangnya dengan tidak percaya, "Kau tidak berhak melarangku, Alex." Desisku padanya. Dalam ruangan apartemennya yang terang, aku menyadari kedua mata Alex berubah menjadi lebih keemasan dari sebelumnya.
Alex menggertakkan rahangnya, berusaha menahan amarahnya. "Kau tidak akan ikut Prom." Suaranya terdengar datar kontras dengan ekspresi di wajahnya saat ini. Tidak ada nada meminta yang terdengar dari ucapannya.
"Terlambat. Seharusnya dari awal kau memintaku tidak ikut. Lagipula Vincent bukan siapa-siapa, kau tidak perlu khawatir." jawabku berusaha menjadi yang lebih rasional dari Alex. "Aku hanya pergi ke Prom bersamanya, bukan menikah!"
Saat bibirnya terbuka lagi suaranya berubah lebih rendah dan mengancam, "Kalau kau tidak membatalkannya, aku sendiri yang akan membuat Vincent membatalkannya."
Kalimatnya yang terakhir membuatku terhenyak sesaat. "Aku tidak akan memaafkanmu jika kau melakukannya." gumamku sambil membalikkan badanku meninggalkannya.
"Cara, diam di tempatmu!"
Langkahku terhenti di depan pintu apartemennya, lalu perlahan aku menoleh padanya. "Aku bukan anggota packmu. Jangan pernah memerintahku, brengsek."
Alex berdiri dari sofanya dengan sangat cepat, kedua matanya berkilat marah saat menatapku. "Apa yang baru saja kau katakan?" tanyanya dengan suara rendah. Aku tahu aku baru saja melukai harga dirinya sebagai Alpha. Tapi apa yang kukatakan tidak salah. Aku bukan anggota packnya, perintahnya tidak berarti bagiku.
"Aku benci Alex yang seperti ini." gumamku sambil membuka pintu apartemennya. Yang jelas kali ini ia membiarkanku pergi, Alex bahkan tidak menyusulku.