Chereads / CAROLINE / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

Aku tersentak ketika Alex menyebut aku adalah miliknya. "Aku bukan barang." balasku dengan kening berkerut marah.

"Kau tahu bukan itu yang kumaksudkan." katanya lembut. "Kau adalah milikku, karena aku juga adalah milikmu. Seluruhnya… seutuhnya. Mate adalah pasangan sekali seumur hidup bagi werewolf."

Kata-katanya membuat perutku terasa seperti dikerubungi ratusan kupu-kupu.

"Karena itu aku memohon pada Mum dan Dad untuk mengadopsimu ketika kita bertemu di panti asuhan itu." Lanjutnya, "Aku tahu ini salah, kau juga sudah menganggapku sebagai kakakmu. Tapi aku tidak bisa menganggapmu sebagai adikku, Cara. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai adikku..." Alex mendekatiku lalu menangkupkan salah satu tangannya pada pipiku, kulitku terasa seperti disengat listrik yang menyenangkan. Saat aku membalas tatapan seriusnya, aku tahu... mulai detik ini aku tidak bisa menatap Alex sama seperti aku menatap seorang kakak lagi.

Whoa, pikirku terkejut, semudah itu? Dengan sedikit terhuyung aku duduk di pinggiran tempat tidurku.

"Aku tidak pernah memohon sebelumnya. Tapi jika kau menginginkannya aku akan melakukannya." Alex berlutut di depanku, kedua tangannya diletakkan di lututku. Aliran listrik yang menyenangkan menyengat setiap kami bersentuhan. "Aku tahu ini semua terlalu mengejutkan untukmu dan aku menjelaskannya dengan sangat buruk kemarin. Tapi, Cara, beri aku satu kesempatan lagi." Suara Alex terdengar sangat tulus hingga membuat hatiku terasa diremas-remas.

"Aku tidak tahu. Semua ini terlalu cepat bagiku." jawabku dengan jujur. Hanya dalam semalam kehidupanku berubah. Akhirnya aku tahu bahwa aku diadopsi, lalu ternyata werewolf itu nyata dan—dan aku adalah mate kakakku sendiri.  Mate, kata itu masih terasa asing bagiku. "Apa yang harus kulakukan?" Gumamku padanya.

"Bagaimana dengan memulainya dari awal?" tawarnya sambil menggenggam tangan kiriku dengan lembut.

"Apa ini? Kau merasakannya juga?" Tanyaku sambil menunjuk kedua tangannya.

Alex tertawa kecil. "Aku tidak tahu, tapi aku juga merasakannya. Kurasa itu karena aku sudah memberimu mark."

"Mark?"

"Kau ingat... saat aku menggigitmu? Aku menandaimu." Suaranya terdengar berhati-hati. Badanku menegang saat mengingatnya, aku yakin wajahku saat ini sudah pucat.

Alex menyadari perubahanku lalu meremas tanganku, "Cara, aku tidak akan pernah menyakitimu, tanda itu hanya ritual agar werewolf lain tidak mendekatimu. Agar mereka tahu kau adalah milikku. Malam itu aku tidak bisa menahan serigalaku untuk menandaimu sebagai matenya."

Aku berusaha mengabaikan kalimat terakhirnya. "Ada yang lain juga?" Bisikku sambil melepaskan genggaman tangan Alex. Ada yang lain.

"Beberapa. Hampir semua temanku adalah werewolf juga. Kau tahu Paul? Henry? Lee? Watson? Annelise? ...Jake?"

"Jake juga?" Jake adalah sahabat Alex sejak mereka lahir. Jake yang biasa menjahiliku, yang selalu merebut serealku, yang mencabut kepala barbieku, yang mendorongku dari ayunan, Jake yang menemaniku menonton Friday 13th. Jake yang itu, juga werewolf?

"Jake juga." Jawab Alex dengan lembut saat melihat ekspresi di wajahku. Oh. "Ada yang ingin kau lakukan hari ini?"

"Aku ingin tidur." balasku dengan cepat. Aku benar-benar membutuhkan tidur, dengan pikiran yang lebih jernih mungkin aku bisa menelan informasi hari ini.

Werewolf, pikirku. Mate, mark, Jake.

Dan Alex.

"Okay." Ia mengangguk lalu menatapku dengan ragu-ragu sebelum tersenyum padaku. Senyum yang sama yang membuat hatiku terasa diremas setiap kali aku melihatnya. Mate, kata itu kembali terulang di kepalaku.

Kutunggu hingga Alex menutup pintu kamarku sebelum menjatuhkan kepalaku ke bantal, pikiranku masih berputar-putar memproses apa yang baru saja kami bicarakan. Semua ini masih terasa seperti mimpi... hanya saja aku tahu aku tidak akan pernah bangun. Perlahan mataku terpejam dan otakku yang lelah mengantarku ke alam tidur.

***

Rasa panas dan nyeri yang berpusat pada leherku membuatku terbangun dari tidur siangku. Kusentuh leherku dengan tanganku untuk meraba sumber rasa panas itu.

"Ow… ouch!" erangku ketika rasa sakitnya malah semakin menjadi.

Di luar matahari hampir tenggelam, sinarnya yang berwarna jingga masuk ke dalam kamarku melalui jendelaku yang sedikit terbuka. Kucoba untuk bangun lalu berjalan keluar kamar lalu menuruni tangga.

"Mum?" panggilku dengan serak.

Mum muncul beberapa saat kemudian wajahnya terlihat cemas. "Cara? Ada apa? Kau terluka?" Tanyanya sambil mendekatiku dan memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Leherku... Rasanya panas sekali." Jawabku sambil kembali mengerang kesakitan.

Mum melepas tanganku yang memegangi leherku lalu menghembuskan nafasnya yang sejuk ke leherku..

"Felix?" Mum berteriak memanggil Dad, beberapa saat kemudian Dad muncul dari arah dapur.

"Panggil Alex. Cara membutuhkannya" Mum berkata pada Dad.

"Apa yang terjadi?" tanya Dad yang kujawab dengan erangan.

��Felix, panggil Alex!"

Dad buru-buru berjalan menuju telepon terdekat, kalau aku sedang tidak mengerang kesakitan pasti sekarang aku akan tertawa karena Dad kena semprot.

"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan Alex. Seharusnya ia menunggu beberapa hari, bukan bersikap seperti anjing liar." Gumam Mum dengan marah sambil menuntunku menuju ruang keluarga lalu mendudukanku di sofa. "Aku akan mengambilkanmu air dingin, Cara." Kata Mum sambil berjalan menuju dapur.

Kujatuhkan kepalaku di sofa dan bergelung seperti kucing sambil berusaha menahan erangan kesakitanku. Rasanya tenggorokanku seperti terbakar dan meleleh sekaligus. Beberapa saat kemudian Mum kembali membawa segelas air putih dengan Dad yang mengekor di belakangnya.

"Cara, kau harus minum..." kata Mum sambil membantuku minum, kuteguk sedikit tapi hal itu tidak mengurangi rasa panas di leherku sama sekali.

"Ow... Ouch! Ow!" erangku.

Dad berlutut di sebelahku tangannya mengusap rambutku yang entah kenapa membuatku lebih tenang. Aku tidak tahu berapa lama Dad mengusap kepalaku, yang jelas dengan rasa sakit seperti ini waktu terasa sangat lama.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka pintu depan dengan setengah membanting, aku tidak perlu mendongak untuk tahu siapa yang hampir mendobrak pintu rumah kami. Alex. Dengan langkah panjang Ia mendekatiku di sofa, kedua matanya yang berwarna coklat membesar dan memancarkan rasa khawatir.

"Sudah berapa lama rasa panasnya terasa?" tanyanya sambil berlutut di samping Dad. Dad berdiri lalu berjalan ke sebelah Mum untuk memberikan ruang pada Alex. Tangan Alex yang besar mengangkat kepalaku, lalu hampir seketika rasa sakit di leherku berkurang.

"Beberapa saat. Lama." jawabku tak karuan.

"Seharusnya aku tetap tinggal di sini. Maafkan aku." Katanya sambil mengusap keringat di dahiku lalu memelukku dengan erat. Dan seperti biasa dadaku mulai berdebar keras saat bersentuhan dengan Alex.

"Ada apa denganku?" bisikku di telinga Alex. "Ini karena marknya, aku harus tetap berada di dekatmu sampai kita terbiasa." Jawabnya sambil masih memelukku, aku dapat mencium harum pinus yang sangat familiar darinya. Kupejamkan kedua mataku untuk berkonsentrasi pada hangatnya pelukan Alex dan mengalihkan rasa sakitku.

Sekarang rasa sakit dan panas di leherku benar-benar menghilang, ketika aku membuka mata lagi Mum dan Dad memandang kami berdua dalam diam. Kubalas pandangan mereka dengan canggung karena Alex masih memelukku dengan erat. Mum yang menyadari ekspresi canggungku mengalihkan pandangannya dan mendorong Dad untuk meninggalkan ruang keluarga.

"Jadi aku harus terjebak denganmu untuk beberapa saat, huh?" tanyaku pada Alex dengan suara serak.

"Kau terjebak denganku selamanya, lebih tepatnya." sahutnya, dari suaranya aku hampir bisa merasakannya tersenyum. Detak jantungnya terasa jelas di tanganku, dan harus kuakui bukan hanya dadanya yang berdebar keras saat ini. Alex melepaskan pelukannya dariku setelah beberapa saat membuatku hampir protes.

"Kau sudah makan?" tanyanya padaku, aku hanya membalasnya dengan menggeleng.