Malam itu kami duduk berempat mengelilingi meja makan, Mum memasak steak ikan salmon dan asparagus. Sementara kami bertiga makan, Mum mengoceh tanpa henti seperti biasanya. Paling tidak celotehannya tidak membuat makan malam ini menjadi canggung.
"Jadi kapan pesta Prom mu, Cara?" Tanya Mum tiba-tiba membuatku hampir tersedak salmon yang sedang kutelan. Prom adalah topik yang paling kuhindari akhir-akhir ini.
"Dua minggu lagi." Jawabku.
"Apa sudah ada yang mengajakmu?" tanya Mum lagi.
"Ehh…" Kurasakan Alex menghentikan kegiatan makannya di sampingku. Mum memandang kami sambil tersenyum menunggu jawabanku. "Ada beberapa, tapi kurasa aku akan pergi dengan Eric." gumamku cepat.
"Eric? Eric yang itu?" bisik Alex di sampingku, ucapannya terdengar sedikit menyebalkan. Aku mengangguk padanya sambil menyikutnya.
Setelah menghabiskan puding Mum mengusir kami sedangkan Dad membantunya mencuci piring. Alex mengajakku menuju kamarnya, ia membuka pintu kamarnya lalu menyalakan lampunya. Kamar Alex saat ini sudah hampir kosong karena sebagian perabotan sudah dipindah ke apartemennya yang baru, jadi aku hanya berdiri dengan canggung di depan pintu kamarnya.
Ia membuka jendela kamarnya lalu mengeluarkan setengah badannya ke balkon kecil sebelum berbalik ke arahku, "Kau ikut atau tidak?"
Sejak kecil aku dan Alex memiliki markas rahasia yang sangat tidak keren, yaitu atap rumah kami. Kami memanjat dari balkon kamar Alex lalu duduk di puncak atap, dengan hati-hati tentu saja karena kalau Mum tahu ia akan menyemprot kami habis-habisan. Biasanya kami keluar saat bintang terlihat jelas untuk memandangi langit sambil mengobrol tentang banyak hal. Tapi sejak aku masuk SMA kami tidak pernah melakukannya lagi, kupikir karena kami sudah terlalu tua untuk memanjat atap rumah.
Seperti kembali ke masa kecil kami, aku mengikuti Alex memanjat dari belakangnya. Kami berdua bersandar di atap rumah menatap kerlipan bintang yang terlihat jelas di langit. Rumah kami terletak di pinggiran kota dan berada cukup dekat dari hutan jadi jauh dari hiruk pikuk dan polusi cahaya, karena itu bintang terlihat jelas dari tempat ini.
Kubiarkan rambutku terhampar di sekitar kepalaku sedangkan Alex melipat kedua tangannya di balik kepalanya. Lalu tiba-tiba ia melepaskan jaket hitamnya dan menyerahkannya padaku, ia hanya mengenakan kaos hitamnya dengan celana jeans.
"Malam ini sangat dingin." Katanya pendek.Tanpa memprotes, kuambil jaket dari tangannya lalu mengenakannya. Padahal sejak dulu aku sering meminjam jaket Alex tapi baru sekarang aku benar-benar menyadari bau peppermint dan pinus serta hangat dari tubuh Alex yang masih tertinggal di jaketnya.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya memecah keheningan.
"Sampai berapa lama ini terjadi?"
"Tiga hari? Seminggu? Dua minggu? Aku tidak tahu. Itu tergantung." Sahutnya sambil menoleh padaku.
"Tergantung?"
"Setiap pasangan berbeda."
"Alex? Apa—apa aku akan berubah menjadi sepertimu? Setelah kau menggigitku?" tanyaku pelan.
"Hmm? Tidak. Tentu saja tidak, Cara." Wajahnya yang serius menatapku.
"Kupikir... ini menular. Seperti zombie, atau rabies." tambahku setelah beberapa saat. Tiba-tiba ia menatapku dengan wajah cemberutnya.
"Aku bukan anjing, Cara." balasnya lalu tiba-tiba ia tertawa. "Jangan pernah menyebut kami mirip seperti anjing di depan werewolf lain. Itu topik yang sensitif bagi kami, apalagi Jake."
Kedua mataku terpaku pada Alex yang sedang tertawa, suara tawanya yang rendah dan sedikit serak membuat jantungku melonjak kencang di dalam dadaku. Bisa-bisa aku kena serangan jantung kalau seperti ini terus, pikirku sambil berusaha menenangkan debaran jantungku. Tawa Alex berhenti saat melihat ekspresi di wajahku.
"Ada apa?" Tanyanya setengah berbisik, seakan ia menyadari setiap perubahan perasaanku—atau mungkin wajahku saja yang terlalu mudah untuk dibaca.
"Tidak ada apa-apa." Balasku sebelum kembali mendongak ke langit di atas kami. "Hari ini bintangnya sangat cantik, ya kan? Rasanya sudah sangat lama aku tidak naik kesini, aku hampir lupa dengan pemandangan ini." gumamku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan pemandanganku saat ini." jawabannya membuatku kembali menoleh ke arahnya. Alex menatapku dengan penuh... Aku tidak yakin, yang jelas tatapannya membuat nafasku tertahan.
Hal selanjutnya yang kusadari adalah wajah Alex yang semakin mendekat, ia memandang wajahku sejenak sebelum kedua matanya beralih dan terpaku pada bibirku. Sebuah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya membayangi wajahnya. Dari jarak sedekat ini aku dapat melihat setiap detail wajah tampannya dengan jelas. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang mirip Dad, tulang pipinya yang cukup tinggi untuk ukuran pria. Tapi pandanganku tertahan di bagian favoritku—bintik keemasan yang menghiasi kedua mata coklatnya serta bulu mata tebalnya. Rasanya tidak adil Alex memiliki bulu mata lebih tebal dariku—
"Caroline." bisiknya memanggilku, membuat seluruh pikiran di otakku terhenti saat itu juga. Hanya itu peringatan yang kudapat sebelum Alex memejamkan kedua matanya… dan menciumku.
Ledakan listrik yang menyenangkan menjalar dari bibirku membuat kedua mataku terpejam erat. Tangan Alex bertumpu pada atap di sebelahku sedangkan tangan satunya menangkup wajahku, delapan belas tahun aku hidup dan baru kali ini aku merasakan ciuman... yang sebenarnya. Bibirnya yang hangat dan lembut bergerak membangunkan syaraf di setiap sudut bibirku yang tidak pernah kusadari ada sebelumnya.
Alex memutus ciumannya setelah... entahlah, aku tidak bisa mengingat berapa lama.
"Wow." Adalah kata pertama yang diucapkannya, kedua tangannya kini menangkup pipiku sedangkan sikunya bertumpu pada atap. "Aku—seharusnya aku melakukannya dari dulu." gumamnya kesal pada dirinya sendiri, nafas Alex yang hangat menderu di wajahku. Aku terlalu terpana untuk membalas ucapannya, otakku bahkan belum benar-benar berfungsi kembali. Alex memandangi wajahku lekat-lekat, mungkin berusaha membaca ekspresiku saat ini lalu sebuah senyuman perlahan muncul di wajah tampannya.
"Wow." ulangnya dengan lembut sebelum menciumku lagi, dan kali ini ia menggunakan lidahnya juga.
Kali ini aku setuju dengan Alex.
Wow.
***
Mataku yang berat terbuka sedikit lalu menutup lagi saat cahaya yang terang menyerang. Tempat tidurku yang hangat dan nyaman membuatku ingin kembali tidur, aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku tidur senyenyak ini. Tanganku memeluk guling di sebelahku lebih erat, telapak tanganku secara otomatis menjalar ke sebuah dada bidang… tunggu dulu, gulingku tidak memiliki dada bidang.
Lalu tiba tiba badanku membeku, kedua mataku seketika terbuka.
"Pagi, Cara." Suara Alex yang serak karena bangun tidur membuat mataku semakin terbuka lebar. Dengan otomatis kedua tanganku mendorong Alex menjauh. Aku masih bisa merasakan hangat tubuhnya di telapak tanganku—Whoa! Aku salah, tubuhnya jauh terasa lebih hangat dari manusia normal.
Masih dengan wajah mengantuk keningnya berkerut ke arahku sedangkan salah satu tangannya bertumpu pada kepalanya. Bahkan saat bangun tidur pun ia terlihat sempurna. Alex mengusap wajahnya dengan kedua tangannya lalu menyandarkan punggungnya di atas tempat tumpukan bantalku, sebagian tubuhnya masih terbelit selimutku.
"Alex... Apa yang kau lakukan di tempat tidurku?"