Kepalaku terasa sakit—sangat sangat sakit. Rasanya seperti ada drum besar yang dipukul dengan sangat keras di dalam kepalaku, dentumannya bergetar di otakku. Tanganku memijat keningku perlahan sementara mataku masih tertutup rapat.
Tiba-tiba rasa mual menjalari perutku, perlahan kubuka mataku membiarkan cahaya terang membuat mataku terbiasa. Sinar matahari mengintip dari sela tirai jendela di kamarku dan jam di dinding menujukkan pukul sepuluh pagi. Desahan berat keluar dari bibirku saat aku menyadari sudah terlalu siang untuk pergi ke sekolah.
"Lagipula tidak ada gunanya lagi pergi ke sekolah selain untuk mengurusi Prom bodoh." Gumamku sambil turun dari tempat tidur. Kupaksa kedua kakiku berjalan ke kamar mandi walaupun seluruh badanku terasa sakit, rasa mual masih bergelung di perutku dan kali ini lebih parah dari sebelumnya. Apa yang kumakan kemarin?
Aku berusaha mengingat apa yang masuk ke perutku kemarin sambil mencoba untuk memuntahkan isi perutku ke toilet. Tapi tidak ada yang keluar dari perutku, hanya ada rasa mual yang memuakkan. Kubasuh wajahku sambil melihat pantulanku di cermin, rambutku terlihat kusut dan wajahku, well, tidak ada yang salah dengan wajahku hanya saja... ada sesuatu yang janggal dari wajahku.
Seperti ada kilauan yang memancar dari wajahku, tidak ada sedikitpun tanda-tanda sakit atau pucat yang terlihat dari wajahku. Aku pun mengerutkan kening ketika melihat baju yang kukenakan, kaos dan legging? Bahkan aku masih memakai jaket. Kemana piyamaku? Lalu sudut mataku menangkap sesuatu di pangkal leherku dari pantulan cermin, kudekatkan wajahku ke cermin lalu memeriksanya. Tattoo? Sepasang titik kecil berwarna hitam dengan memar kemerahan yang menyelubungi sebagian leherku.
Wajahku membeku ketika menyadari sebuah kalung yang menggantung di leherku. Bandul hijau emerald itu berkerlip saat tertimpa sinar lampu kamar mandi. Bersamaan dengan itu ingatanku mengalir deras dalam kepalaku. Nafasku tercekat di dalam tenggorokanku, kurasakan beberapa tetes keringat dingin mengalir di punggungku. Kedua tanganku meremas pinggiran wastafel erat-erat sambil berusaha menyeimbangkan tubuhku yang sedikit goyah.
"Cara..." Sebuah suara yang sangat kukenal memanggilku dari balik pintu kamar mandi.
Alex.
Badanku terlonjak saat mendengar suaranya lagi, perlahan kukunci pintu kamar mandi lalu mundur menjauhi pintu tersebut hingga punggungku membentur tembok di belakangku. Jantungku berdebar dengan sangat keras, seakan tubuhku juga memiliki ingatan tentang semalam. Kusandarkan punggungku rapat-rapat pada dinding yang berseberangan dari pintu kamar mandi.
"Cara, buka pintunya." Sekarang suara Alex bernada mendesak. Kututup mulutku dengan kedua tanganku untuk menahan isakan yang hampir keluar.
"Aku bisa mendobrak pintu ini dengan mudah..." katanya dengan pelan.
"Cara..." Alex memperingatkanku untuk yang terakhir kalinya sebelum sebuah suara benturan keras membuka pintu kamar mandiku dengan mudah diiringi oleh pekikan keras yang keluar dari mulutku. Dan disanalah ia berdiri, Alex memandangku yang sekarang merosot duduk di lantai kamar mandi yang dingin berusaha memeluk diriku sendiri. Alex mendekat perlahan sambil mengangkat kedua tangannya, "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu takut."
"Jangan—jangan mendekat." Aku sedikit tersedak oleh air mata sudah mengalir sejak tadi. Bayangan seekor serigala coklat itu berkelebat di dalam kepalaku.
Alex membeku di tempatnya saat mendengar getaran di dalam suaraku, wajahnya mengeras sesaat sebelum ia berbalik meninggalkanku sendirian, menghilang dari balik pintu kamarku. Dia bukan Alex, dia bukan kakakku. Dia adalah... Monster. Aku menatap pintu kamarku dengan sedikit panik, berharap ia tidak kembali lagi. Beberapa menit kemudian Mum masuk ke kamarku dengan wajah cemas, kedua matanya memerah seperti habis menangis.
"Oh, Cara sayang..." Mum berjalan ke arahku lalu memelukku, seketika gemetarku berhenti. Walaupun ia bukan Ibu kandungku tapi Mum selalu memiliki efek menenangkan. "Cara, maafkan aku sayang." Mum mengelus rambutku lalu mencium keningku.
"Mum... apa kau, kau juga mons—"
"Bukan sayang, aku juga manusia. Dan jangan pernah menyebut Alex monster, atau Dad." Kata Mum lembut. Otakku masih memproses kata-kata Mum, lalu aku menyadari bahwa Dad...
"Dad—" aku berhenti sejenak sebelum melanjutkannya, "Dad juga?" bisikku tak percaya. Ayahku juga bisa berubah menjadi serigala?
"Banyak yang harus kami jelaskan. Tapi lebih baik jika Alex yang menjelaskannya padamu. Dia adalah matemu." Mum masih membelai rambutku.
"Tapi... dia bukan manusia Mum.. aku—aku tidak bisa." Jawabku terbata dengan air mata yang masih mengalir.
"Cara, beri dia kesempatan untuk menjelaskan. Alex tidak akan pernah menyakitimu."
"Alex... Dia menggigitku. Ya Tuhan, dia menggigitku." Bisikku kembali bergetar. Tiba-tiba tubuh Mum membeku. "Aku akan berbicara pada Alex." Mum mencium puncak kepalaku lalu membantuku berdiri. Ia meninggalkanku untuk turun ke bawah. Setelah merasa lebih tenang kuganti bajuku dengan celana pendek dan kaos abu-abu longgar. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara sesuatu yang pecah diikuti suara teriakan marah Mum, rasa penasaran menuntun kakiku menuju tangga dimana aku bisa mendengar percakapan mereka—Mum, Dad, dan Alex.
"Aku tidak bisa menahannya!" Alex mendesis marah.
"Kau. Tidak. Berhak. Menyakiti. Putriku. Alex." Mum terdengar sangat marah.
"Alex tidak bermaksud me-mark Cara, sayang" Suara Dad berusaha menenangkan.
"Tapi dia menyakiti putriku! Dan... Kau Alex! Kau bahkan tidak memberi penjelasan dengan benar padanya! Cara ketakutan setengah mati!"
Seseorang menggebrak keras meja, aku yakin itu Alex.
"Cara sedang mendengarkan kita." gumam Alex pendek. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, bergabung dengan mereka atau kembali ke kamarku. Tapi aku sudah terlanjur tertangkap basah.
Alex muncul dari ruang makan dan berjalan ke arahku, "Cara... Kita harus bicara." katanya sementara berusaha berdiri sejauh mungkin dariku.
Selama beberapa saat aku hanya memandangnya, wajahnya masih sama seperti Alex yang kukenal—kakakku, bukan monster yang semalam. Aku mengangguk lalu melangkah kembali ke kamarku, Alex mengikutiku dari belakang lalu menutup pintu kamarku perlahan.
"Cara... Aku tidak tahu harus memulainya darimana..." Mulainya dengan ragu, suatu hal yang langka karena biasanya Alex selalu percaya diri. Ia bersandar pada pintu yang tertutup. Rambutnya berantakan seperti biasa tapi sepasang lingkaran hitam terlihat jelas membayangi kantong matanya, ia terlihat lelah. Beberapa saat kemudian ia menyusupkan kedua tangannya di antara rambutnya dengan sedikit frustasi. Apa pun yang dilakukan oleh Alex, ia selalu terlihat... tampan. Kuabaikan jantungku yang berdebar keras sambil berusaha mengalihkan pikiranku.
"Apa—Apa Mum dan Dad hanya berakting selama ini? Karena... karena aku adalah 'mate'mu?" Tanyaku pelan, membayangkannya saja sudah membuat hatiku sakit.
"Apa? Tidak, Cara! Mereka benar-benar menyayangimu. Mereka sudah menganggapmu sebagai putri mereka sejak kau datang ke rumah ini. Apa kau tidak mendengar yang Mum katakan tadi?"
Aku mengangguk. Aku benar-benar menyayangi Mum dan Dad, dan aku tidak bisa membayangkan jika mereka hanya berpura-pura menyayangiku.
"Jadi apa itu mate?" Aku masih belum sepenuhnya mengerti.
"Mate... Soulmate. Setiap werewolf memiliki pasangan jiwanya, bisa manusia atau sesama werewolf. Mate sudah ditakdirkan sejak mereka lahir, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Seperti puzzle, tidak ada yang bisa melengkapinya selain matenya." jawabnya sambil mengusap belakang lehernya.
"Dan kau adalah mateku, Caroline." Jantungku berdebar keras saat Alex menyebut namaku, aku menyukainya saat ia menyebut nama lengkapku.
"Alex... aku adalah adikmu." Kataku dengan pelan. "Apa kau gila?"
"Kau masih tidak mengerti, Cara? Apa kau tidak menyadarinya selama ini ketika aku mengancam setiap laki-laki yang ingin mendekatimu? Saat aku memukul Joseph karena ia hampir menciummu? Kau adalah milikku, Cara."