Chereads / CAROLINE / Chapter 3 - Chapter 3

Chapter 3 - Chapter 3

Alex memarkirkan mobilnya di pinggiran jalan hutan, lalu keluar untuk membukakan pintuku. Mataku terpaku pada cabang jalan kecil menuju kedalam hutan yang diterangi oleh ratusan lampu LED kecil berwarna putih.

Nafasku tertahan di dadaku. Aku memandang pemandangan di sekitarku dengan mulut menganga. Apa ini yang sibuk dilakukannya sepanjang siang tadi?

Alex menjulurkan tangannya padaku lalu menuntunku menuju kedalam hutan. Kami berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam hingga ke bagian hutan yang jarang ditumbuhi pepohonan. Sebuah padang rumput membentang luas, di tengahnya terdapat batu besar yang dikelilingi oleh bunga lavender. Hidungku dapat mencium harum menyenangkan dari lavender. Pemandangan di depanku membuatku tertegun sekali lagi, aku tidak tahu bahwa di hutan ini ada tempat secantik ini. Suara jangkrik dan burung hantu terdengar samar-samar bersahutan di kejauhan membuat suasana tidak terlalu sepi.

Di balik batu besar tersebut tertata rapi sebuah meja dan sepasang kursi dengan taplak putih, diatasnya diletakkan sebotol wine, sebuah gelas berisi lilin dan sebuah vas dengan setangkai mawar merah. Aku kembali memandang Alex dengan tatapan tak percaya. Alex tersenyum melihat ekspresiku lalu mengajakku duduk.

"Alex, ini benar-benar berlebihan..." Kataku sambil tersenyum lebar, benar-benar terkesan.

"Untukmu, Cara-bear, tidak ada yang berlebihan." Untuk sepersekian detik aku melihat ekspresi aneh di wajah Alex sebelum ditutupi oleh senyuman tampannya.

Alex membantuku duduk lalu mengisi gelas wineku. "Aku tidak menyiapkan makanan, kupikir setelah dari sini kita bisa mampir ke restauran terdekat, bagaimana dengan pizza?"

"Yay! Pizza!" balasku sambil meminum sedikit wine—yang ternyata hanya jus anggur—di gelasku. "Thanks, Alex."

Kami mengobrol tentang banyak hal selama setengah jam. Alex membicarakan tentang pekerjaannya dan rencana untuk segera mengambil alih bisnis Dad setelah segala urusannya selesai.

"Cara—Caroline." Nadanya tiba-tiba berubah serius saat memanggil namaku.

"Huh?"

"Sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu."

"Apa?" tanyaku penasaran. Tidak biasanya Alex berbasa-basi seperti ini.

"Tentang kita. Ada sesuatu… yang kami rahasiakan selama ini." Alex terlihat mulai ragu. Apa maksudnya kami?

"Apa maksudmu?"

"Seharusnya Mum dan Dad yang memberi tahumu, tapi mungkin lebih baik jika aku yang memberitahumu." kata Alex sebelum meletakkan gelas jus anggurnya di atas meja.

"Aku tidak mengerti." Senyuman kecil di wajahku mulai memudar. Kepalaku mulai dipenuhi dengan rasa khawatir.

"Tapi kau harus berjanji jangan membenciku, apalagi Mum dan Dad. Dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Okay?" Tanyanya hati-hati.

"Ini tentang Mum kan? Apa ia sakit? Karena itu Mum tadi menangis?" Rasa takut dan panik mencengkeram dadaku.

"Apa? Bukan, bukan tentang Mum." Alex memandangku dengan sedikit kerutan di keningnya. "Berjanjilah Cara, apapun yang terjadi, bagaimana pun perasaanmu nanti, jangan melarikan diri dariku."

Aku mengangguk, berusaha mencerna apa yang dikatakan Alex. Ia menghembuskan nafasnya sebelum kembali terlihat ragu-ragu.

"Apa, Alex?!"

Alex menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menjawabku. "Caroline, sebenarnya kau adalah mateku."

Aku berusaha memproses kata-kata Alex lalu memandangnya dengan pandangan kosong.

"Mate. Jodoh." Lanjut Alex pelan.

Aku masih memandangnya dengan bingung.

"Cara, kita bukan saudara kandung. Kau diadopsi saat umur empat tahun."

Semua yang dikatakan Alex berputar di kepalaku, rasanya seperti seseorang baru saja menyiram seember air dingin di atasku. Adopsi? "Jadi... Maksudmu Mum dan Dad bukan orangtuaku?" tanyaku dengan sangat bingung.

"Cara..." Alex berusaha menenangkanku saat suaraku mulai meninggi.

"Katakan dengan lebih jelas, Alex." Desisku.

"Mum dan Dad mengadopsimu dari panti asuhan, saat itu mereka juga mereka mengajakku. Setelah kita bertemu aku meminta orangtua kita untuk mengadopsimu." Alex menjelaskan kepadaku dengan perlahan.

Keheningan yang pekat menyelubungi kami selama beberapa menit. "Bagaimana bisa—Siapa orangtuaku?" Kedua mataku mulai memanas. Sekarang aku menyadari mengapa aku tidak mempunyai foto saat bayi di album keluarga kami.

"Aku—aku tidak tahu."

"Bagaimana bisa kau tidak tahu?!" tanyaku dengan suara bergetar, "Pasti ada data tentang orangtuaku di—"

"Cara." Alex menggenggam tanganku dengan kedua tangannya membuatku mendongak ke arahnya.

"A—apa?" sahutku, masih merasa sangat shock.

Alex terdiam selama satu menit penuh. "Siapapun orangtua biologismu, Mum dan Dad tetap keluargamu. Mereka mencintaimu sama seperti mereka mencintaiku. Kita bisa mencari tahu informasi orangtua biologismu nanti, aku berjanji. Saat ini ada hal lain yang aku ingin kau tahu. "Kedua mata coklatnya memandangku dengan penuh harap, sedangkan sebagian otakku sudah berhenti memproses informasi yang baru saja keluar dari mulutnya.

Alex menatapku lekat-lekat dengan alisnya yang berkerut serius, "Cara, aku adalah Werewolf."

Aku memandang Alex dengan perasaan antara ingin menangis dan tertawa. "Apa kau sedang mengerjaiku?" suaraku mulai meninggi karena rasa amarah yang kurasakan.

Alex menggeleng cepat. "Kau adalah mateku dan aku sudah mengetahuinya sejak kita bertemu pertama kali. Karena itu aku meminta Mum dan Dad mengadopsimu."

Amarahku yang hampir meledak membuatku benar-benar ingin memukulnya saat ini. Kutarik tanganku dari genggamannya, Alex hanya membalasku dengan pandangan yang sedikit sedikit terluka.

"Tunjukkan padaku." Aku hampir tertawa mendengar perkataanku sendiri karena hampir mempercayai apa yang barusan Alex katakan. Ia memandangku sebelum berdiri dari kursinya, "Hanya sebentar." gumamnya lalu ia berjalan menuju bayangan pohon Oak besar diseberang, beberapa saat kemudian terdengar suara seperti batang kayu yang dipatahkan dan geraman yang terdengar menyakitkan dari Alex. Tanganku mencengkeram kursiku dengan erat saat mendengar suara dengkingan halus dari balik pohon itu.

Lalu hening.

"Al—Alex?" panggilku sebelum berdiri dari kursiku sambil terus memandang pohon tempat Alex bersembunyi. "Alex jangan main-main denganku, aku benar-benar marah—"

Seekor serigala yang sangat besar, muncul dari balik pohon itu. Mungkin serigala itu berukuran tiga kali anjing Great Dane. Ukurannya yang tidak normal membuat mataku berkedip beberapa kali lalu kakiku mundur selangkah hingga kursiku terjatuh ke tanah. Bulunya yang berwarna coklat kehitaman mengkilat terkena pantulan sinar bulan.

Binatang itu berjalan pelan kearahku dengan kedua matanya yang terus terpaku padaku, sesaat aku tidak bisa bernafas karena panik.

"Oh Tuhan." Gumamku dengan tubuh membeku. Lalu satu detik kemudian otakku mulai berjalan dengan normal, dengan tangan gemetar aku berusaha meraih apapun yang berada diatas meja dan melemparkannya pada binatang itu—gelas Wine, vas bunga, botol jus anggur, kursi hingga tidak ada yang tersisa di atas meja.

Serigala itu hanya berhenti sejenak setiap kali aku melempar barang. Setelah beberapa saat binatang itu kembali berjalan ke arahku, kali ini lebih pelan dari sebelumnya.

"Al—Alex? Alex!" Air mataku sudah mengalir deras memikirkan apa yang terjadi dengan Alex. Serigala itu semakin mendekat, sekarang jaraknya hanya 10 meter dariku. Cakarnya yang besar menapaki rerumputan dengan pasti, memperpendek jarak kami.

"Berhenti! Stop!" Sekarang aku menangis tersedu-sedu, mati karena diterkam serigala di tengah hutan bukanlah cara mati yang menyenangkan. Diluar dugaanku serigala itu mengikuti perintahku dan berhenti, lalu mendengking pelan.

"Kau membunuhnya." Gumamku dengan air mata yang masih mengalir, badanku bergetar karena tangisan dan rasa takutku. Kedua mata coklat keemasannya memandangku dengan fokus sebelum akhirnya serigala tersebut berbalik, lalu berlari menuju tempat pertama ia datang. Kudekap kedua kakiku yang lemas sambil menangis histeris. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Alex, serigala itu pasti sudah menyerangnya.

Tiba-tiba sebuah siluet muncul dari balik pohon.

"Cara?" suara serak Alex membuatku terdiam, kuhapus air mataku dengan punggung tanganku. Alex berdiri beberapa meter dariku. Penampilannya yang tadi rapi sekarang berantakan, ia hanya mengenakan celana kain hitamnya tanpa alas kaki, rambut coklatnya juga terlihat sangat acak-acakan.

"Alex!" aku berdiri dari tempatku lalu berlari ke arahnya. Air mataku mengalir lagi, kali ini lebih deras. "Alex... serigala... kau menghilang..." kata-kataku mengalir dengan tidak jelas. Aku menabrak tubuhnya lalu memeluknya erat-erat. Tubuhnya terasa sangat panas di dalam pelukanku.

"Cara... itu aku." Suara Alex masih terdengar serak, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Perlahan kulepas pelukanku lalu menatap kedua mata coklatnya... mata yang sama dengan serigala itu. Wajahku memucat saat menyadarinya, sekarang langkahku menjauhi Alex yang masih belum bergerak dari tempatnya. "Kau... adalah serigala itu..." Ulangku pelan.

Gila. Kakakku sudah gila. Atau aku yang sudah gila?

Alex mengangguk lalu berjalan mendekatiku. Ekspresi asing di wajahnya membuat bulu halus di tengkukku meremang. Pria di depanku memang Alex, tapi ia juga terlihat seperti orang asing saat ini karena pandangan liar di kedua matanya. Aku menatapnya dengan pandangan bingung dan takut. Kedua tangannya menangkup pipiku lalu memiringkan kepalaku sedikit ke kanan.

"Cara, maafkan aku..." gumamnya dengan geraman. Lalu yang terjadi selanjutnya aku hanya bisa mengingatnya dengan samar. Kedua gigi taring Alex memanjang, ia menjilat cekungan diantara leher dan pundakku lalu menggigitnya.

Setelah itu pandanganku berubah menjadi gelap.