Setelah setengah jam tiduran di kamar menunggu Alex menjemputku, handphoneku bergetar di sebelahku. Kulirik jam di mejaku yang menunjukkan pukul 6 sore.
"Alex?" Jawabku saat melihat namanya di layar handphone.
"Sudah siap, Tuan Putri?"
"Ew, kau terdengar menjijikan." Jawabku sambil tertawa yang dibalas dengan tawanya juga.
"Aku sampai 15 menit lagi. Jangan lupa bawa jaket." perintahnya.
"Baik, Yang Mulia." Balasku sambil tersenyum sendiri lalu memutuskan sambungannya.
Aku berdiri menuju kaca di sudut kamarku, memandang pantulanku. Kusisir rambut coklat sebahuku yang sedikit berantakan dengan kedua tanganku.
Jen mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang 'oke'. Mataku yang berwarna hijau kebiru-biruan memancarkan ketajamannya, Mum dan Dad selalu mengatakan warna mataku yang berbeda kudapat dari nenek buyut Mum.
Aku memang memiliki wajah yang sedikit berbeda dari Mum, Dad, dan Alex. Satu-satunya yang membuatku mirip adalah warna rambutku yang sama dengan Dad dan Alex.
Malam ini aku mengenakan kaos putih dengan logo band The Strokes, band favorit Alex yang sekarang menjadi band favoritku juga, dan celana legging hitam.
Aku tidak memakai make up sedikit pun karena ini hanya makan malam dengan Alex. Bukan kencan.
Kuraih jaket hitamku yang berada di atas tempat tidur lalu turun ke bawah. Dad, Mum, dan Alex sedang mengobrol di dapur walaupun aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan dengan jelas, kukerutkan keningku saat mereka berbisik-bisik keras.
"Alex?" Sapaku dari belakang. Alex membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum padaku.
Ia mengenakan setelan semi jas berwarna hitam dengan kemeja putih dan celana hitam, minus dasi. Rambutnya yang biasa berantakan kini disisir rapi ke belakang, mata coklatnya sedang memandangku dengan hangat.
Aku tahu kakakku memiliki daya pikat untuk membuat semua spesies wanita di dunia ini terpesona padanya. Kadang-kadang aku juga tidak kebal, walaupun aku membencinya juga.
Rasanya menjijikan sekaligus menyenangkan? Entahlah.
"Ada apa?" tanyanya, masih tersenyum dengan wajah tampannya yang menyebalkan. Kurasakan kedua pipiku sedikit memanas. Cara, dia itu kakakmu!
"Oh, jadi, um, sepertinya aku salah kostum?" Tanyaku sedikit mengernyit untuk menyembunyikan rasa maluku setelah memikirkan Alex.
"Tidak, kau terlihat sempurna. Mum, Dad, kami pergi sekarang." Alex mencium pipi Mum sambil berpamitan.
Mum mengusap hidungnya saat melihat kami berdua, ia terlihat seperti ingin… menangis?
"Mum? Kau baik-baik saja?" Tanyaku ragu-ragu.
"Sepertinya hanya flu. Selamat bersenang-senang, sayang." Jawab Mum. Dad melingkarkan tangannya di pinggang Mum lalu membisikkan sesuatu.
Kulemparkan senyumanku pada keduanya sebelum menyusul Alex menuju mobilnya.
Alex membukakan pintu untukku yang membuatku memandangnya dengan pandangan bertanya. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini.
Ia hanya membalasku dengan menaikkan salah satu sudut mulutnya ke atas. Jantungku kembali berdebar keras, entah kenapa aku merasa ini seperti kencan.
EW! Cara, dia itu kakakmu, bodoh! ulangku di dalam kepalaku.
"Apa yang sedang kau pikirkan sampai kepalamu berkerut seperti itu?" Tanya Alex setelah duduk di kursi kemudi, lalu ia mengambil sesuatu dari jok belakang mobilnya.
Dalam jarak sedekat ini bau aftershave dan parfumnya samar-samar tercium hidungku. Aku selalu menyukai bau parfumnya, Alex tidak pernah memakai parfum maskulin mahal yang justru berbau menyengat.
Bau parfum Alex membuatku teringat bau hutan dan pepohonan. Bau pinus dan sedikit mint.
"Happy Birthday Caroline Brennan." Alex menyodorkan sebuket bunga mawar merah darah dan sebuah kotak hitam beludru sambil tersenyum kecil.
Aku tertegun memandangnya, terlalu terkejut untuk berbicara. Kalau Alex bukan kakakku pasti saat ini—kuhentikan pikiranku cepat-cepat, sekarang aku memikirkan tentang jika Alex bukan kakakku? Aku jadi merasa jijik pada diriku sendiri.
Biasanya Alex hanya memberiku barang-barang kecil seperti parfum atau sepatu olahraga saat ulang tahunku.
Aku menatap buket bunga mawar yang baunya menyergap seluruh atmosfer mobil bergabung dengan bau parfum Alex yang entah selalu membuatku tenang.
"Alex, kau baru memberiku bunga kemarin." Aku tertawa gugup, gugup? ulangku lagi dalam kepalaku. Aku ingin memukul kepalaku sendiri.
"Kau tidak akan membukanya?" Alex masih menghadapku, ia melihatku dengan sedikit serius.
"Okay." Tanganku membuka pita beludru berwarna merah yang mengikat kotaknya, dari dalam terselip diantara kain beludru hitam sebuah kalung emas dengan bandul batu emerald hijau. Wow.
"Wow... Alex..." Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, dengan Alex yang sedang memandangku sambil tersenyum, buket bunga mawar di pangkuanku yang menyebarkan aroma harum, dan kalung yang sekarang berada di tanganku.
Aku merasa ini semua terlalu berlebihan untukku.
"Kupikir batu emerald akan serasi dengan warna matamu." Katanya sambil mengangkat bahu lalu memasukkan kunci mobilnya.
"Bukannya ini agak berlebihan? Seharusnya kau memberikan semua ini untuk pacarmu, bukan adikmu." Kataku sambil bercanda.
Alex terdiam sesaat.
"Aku tidak punya." Katanya sambil menatapku dengan pandangan serius. Aku hanya bisa membalas tatapannya dengan keningku yang berkerut.
Bagaimana mungkin laki-laki seperti Alex tidak punya pacar? Tapi setelah kupikir-pikir lagi Alex tidak pernah mengenalkan pacarnya padaku, ia tidak pernah terlihat mempunyai pacar…
Oh. Tidak.
"Alex, um, apa kau... Dengar aku tidak akan mempermasalahkan seksualitas seseorang, tapi apa kau—"
"Cara! Aku normal!" Potong Alex sambil menekankan kata 'normal', dia melihatku dengan tatapan apa-kau-gila?
"Oh. Okay… Baguslah—maksudku aku hanya bertanya tadi." Aku masih melirik ke arah Alex dengan curiga. Seorang Alex diantara bermiliaran wanita di dunia ini, single? Rasanya tidak mungkin.
"Mau kupasangkan?" tanya Alex mengalihkan topik pembicaraan.
"Yep. Thanks." Kugelung rambut panjangku dengan tanganku lalu mengangkatnya sambil berbalik memunggungi Alex.
Kedua tangan Alex melingkari tubuhku, ia tidak menyentuhku sama sekali tapi itu cukup membuat jantungku berdebar setengah mati. Aku mulai khawatir Alex akan mendengar debar jantungku dari jarak sedekat ini.
Bau pinus dan mint semakin kuat menyelubungi indra penciumanku, membuat otakku sedikit berkabut.
Dengan susah payah kualihkan pikiranku ke hal lain selain Alex. Aku berusaha memikirkan Jen, atau Eric. Eric dan pacar-pacarnya.
Tapi ketika nafasnya yang hangat menggelitik leherku, semuanya sia-sia, hanya Alex yang memenuhi kepalaku saat ini. Dia itu kakakmu, Cara! Untuk yang kesekian kalinya kuulangi mantra itu berkali-kali di dalam kepalaku.
"Selesai." bisiknya. Kubalikkan tubuhku menghadapnya, sedikit bersyukur dengan pencahayaan mobil Alex yang remang-remang karena kalau tidak Alex akan melihat wajahku yang memerah saat ini.
"Cara..." Alex memandangku seperti akan mengatakan sesuatu. Aku membalas pandangannya dengan pandangan bertanya.
"Sempurna." Katanya tiba-tiba sambil mengalihkan pandangannya dariku lalu menyalakan mesin mobilnya. Kami berkendara dalam diam selama setengah jam ke arah menuju pinggiran kota.
Kunyalakan pemutar lagu yang berada di dalam mobil Alex, lagu All Too Well Taylor Swift menjadi yang pertama mengalun pelan.
"Taylor Swift? Kau serius?" Tanyaku sambil mengerutkan kening.
"Itu playlistmu." Jawab Alex pendek.
Lalu aku mengingat playlist yang kusimpan di mobil lama Alex beberapa bulan lalu, "Kau masih menyimpannya?" Tanyaku dengan nada heran.
"Taylor Swift lumayan juga." Jawab Alex, "Lagunya membuatku ingin menangis." Tambahnya dengan nada sarkasme. Aku meliriknya dengan kesal sebelum membuang muka.
"Lagunya selalu membuatku mengingatmu." tambahnya dengan nada yang lebih serius. Aku tidak bisa menahan senyumanku saat mendengar jawabannya.
Jalanan yang gelap dan hanya disinari bulan membuat keadaan di dalam mobil menjadi tambah gelap, dari tempat dudukku hanya terlihat siluet Alex dengan mata coklatnya yang bersinar karena pantulan sinar bulan.
"Aku tidak tahu di dekat hutan ada restauran…" gumamku, berusaha memancingnya mengatakan kemana ia akan membawaku.
Mobilnya melaju menuju Hutan Nasional Black Hill, salah satu hutan terluas di negara ini yang berbatasan langsung dengan kota kami—Seattle.
Alex hanya terdiam, kedua matanya fokus ke jalan di depannya.
"Jangan bilang kau membawaku ke hutan malam ini untuk membunuhku, Alex." Tambahku sambil tertawa kecil.
"Aku tidak akan pernah menyakitmu, Caroline." Jawab Alex dengan serius tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
Jantungku berdebar setelah Alex menyebut namaku dengan lengkap. Aku memilih diam di sisa perjalanan, menenangkan jantungku sambil memenuhi kepalaku dengan pikiran selain Alex.
Ada apa denganku hari ini?