"Na. Sama aku aja, dari pada jalan kaki" ajak seorang perempuan berambut lurus panjang itu.
Ana menghentikan langkahnya, otomatis perempuan bernama Vika itu ikut berhenti. "Besok aja ya... Aku mau sekalian ke taman" ucap Ana.
Bel pulang sudah berbunyi dari tadi. Tapi Ana lebih memilih pulang terlambat dari pada harus berebut jalan dan balapan pulang.
Kedua perempuan berseragam merah muda pada bagian atas, dengan bawahan abu - abu itu mengangkat kakinya dari lapangan sekolah. SMA 1, salah satu SMA ternama di Semarang. Ana memang terlahir di keluarga yang kaya, orang tuanya pun bisa membiayainya sekolah di SMA 1 walau seandainya Ana tidak mendapat beasiswa.
Tapi tidak bisa dipungkiri. Ana memang siswi cerdas, beasiswa datang sendiri pada Ana. Tugasnya tinggalah ia memilih, sekolah mana yang akan ia jadikan tempat singgahsananya.
"Ana" panggil lelaki berambut cokelat berkaos hitam itu. Ana menoleh kearah sumber suara, menampakan sosok Nando yang bersender di samping motornya lengkap dengan seragam yang masih menempel.
"Oh. Kamu nolak ajakan aku, karena udah punya jemputan nih ya..." Vika menyenggol lengan Ana sambil tersenyum lebar kearahnya.
"I-Itu, bukan..."
"Ya udah. Aku duluan ya!" pamit Vika, cewek itu langsung berlari meninggalkan Ana tanpa memberi kesempatan untuk Ana menjawab.
Melihat itu Ana menghela napasnya. "Lama amat pulangnya ?" suara berat itu mengagetkan Ana.
Ana mendapati Nando yang sudah tepat berada disampingnya. "Kak Nando ngapain disini ?" tanya Ana polos.
"Jemput kamu" jawabnya singkat. Cowok berambut cokelat itu memainkan kedua alisnya.
"Aku bisa pulang sendiri"
"Persis kayak Lisya, kalo dijemput pake alesan segala" Nando terkekeh. Ia menepuk pundak Ana dua kali.
"Udah ?, yok!" Nando meraih tangan Ana, menariknya ke arah motor. Ana yang tangannya dikunci hanya diam pasrah mengikuti.
"Nih" Nando memberikan pelindung kepala scoopie berwarna cokelat.
"Cepet naik!"
Motor Honda CB100 berwarna putih itu memutar kedua rodanya kencang setelah semua siap.
Disepanjang perjalanan hanya ada keheningan diiringi suara klakson jalanan Semarang yang cukup padat di jam pulang kerja seperti ini.
Ana bahkan hanya pasrah ketika mendapati motor yang dinaikinya ini, mengambil arah yang berbeda dengan arah kerumahnya.
"Aku boleh panggil kamu 'Sya' ?" suara berat itu lagi - lagi memecah keheningan. Suaranya cukup keras mengalahkan suara angin.
"Maksudnya ?" tanya Ana tak mengerti.
"Kalo aku panggil kamu 'Ana', yang ada mereka kira aku lagi panggil 'Anak' lagi" jawab Nando. Matanya beralih pada kaca spion motornya yang sudah menampilkan senyum tipis dari seorang gadis dibelakangnya ini.
Walau tipis tapi sukses membuat jantung Nando berdeguk kencang.