Motor CB100 itu berhenti disebelah deretan motor dipinggir jalan. Nando turun dari motornya dan melepas helm full facenya.
"Yuk" Nando berjalan mendahului. Ana hanya mengikutinya dan berusaha untuk menahan pertanyaannya yang bertubi - tubi.
Mereka masuk ke salah satu bangunan bertuliskan Gramedia. Terulas senyum di bibir Ana.
"Aku tau, kamu suka buku kan" tebak Nando. Tak mendapat jawaban apapun dari lawan bicaranya yang asik berkeliling.
Ana menebarkan penglihatannya, mengambil salah satu buku yang menarik perhatiannya lalu membaca blurb.
ðŸŒ
Ana menghabiskan waktunya untuk memilih buku di gramedia hampir 2 jam. Tapi buku yang ia bawa hanya 2 buku. Metanya memang begitu terpukau melihat ratusan judul terpampang saat itu.
Tapi 2 buah buku sudah cukup merepotkan dalam kurung dibelikan. Ya, Ana tidak membawa cukup uang untuk membeli buku pada saat itu.
Mata Ana terpaku pada seorang gadis dengan baju santai berdiri di depan gerbang rumahnya dengan wajah ketakutan.
"Kamu, kenapa disini ? Ada perlu ?" tanya Ana.
"M-Maaf, kak. Kemaren aku nggak sengaja numpahin teh ke bajunya kak Oval. Belum sempet minta maaf, dia udah pergi" jelasnya.
Oval beruktat dengan notebook nya di kantin. Telinganya tersumpal earphone wireless berwarna putih. Tangannya yang gesit itu menekan cepat keyboard. Sampai suatu ketika air kekuningan membasahi seragam atasnya.
Dengan wajah datar, Oval menoleh. Mendapati gadis yang tersungkur di lantai kantin dengan pakaian yang sama basah.
"M-Maaf, kak" ucap gadis itu ketakutan melihat wajah laki - laki ini yang tidak ada ekspresi sama sekali. Entah lelaki itu akan marah atau tidak. Ia tidak bisa menebak. Oval menutup notebook. Ia berdiri membuat deritan kursi keras. "Untung kamu cewek !!" bentak Oval, sukses membuat cewek itu meringis takut.
"Sebagai gantinya, aku udah beliin seragam yang baru kok. Aku takut dia marah" imbuhnya tangannya memberikan seragam biru yang tertata rapi.
Ana tersenyum melihat itu, "Maafin kak Oval ya. Dia emang gitu orangnya" Ana menerima seragam itu.
"Ya udah aku permisi dulu ya kak" ucap gadis itu terburu - buru.
Ana terpatung melihat punggung gadis itu yang mulai menjauh. Ia menghela napasnya.
ðŸŒ
Seseorang mengetuk pintunya. Tapi wajar, Oval tidak mendengar apa - apa. Telinganya masih tersumpal headset JBL nya yang sudah ia kenakan sejak beberapa tahun lalu.
Sampai suatu ketika sebuah seragam berwarna biru dilempar keatas mejanya. Membuat ia mau tidak mau melepas JBL di telinga.
"Punya siapa ?" tanya Oval polos, menatap datar seorang Ana.
"Adik kelas. Katanya sebagai permintaan maaf karena tumpahin teh di seragam kakak" jelas Ana, ia mengambil duduk di bibir kasur.
"Liya ?"
Oval meraih seragam tersebut. Melemparkannya ke tempat sampah lalu memasang kembali benda berwarna hitam yang membuat tulis semua pemakainya itu.
Ana mengerutkan keningnya. Ia menepuk pundak Oval keras. Menatapnya dengan mata setengah mendelik. "Ih. Baju ini itu mahal, kak !" tegur Ana.
"Yang ngasih cewek," jawabnya masih dengan tatapan datar seperti di awal.
Ana menghela napasnya kesal, entah mengapa ia punya kakak yang dinginnya melebihi es batu.
"Emang kenapa kalo dari perempuan ?!" Ana mengambil seragam tersebut. Membuka lipatannya. "Liat, ini masih baru. Bukan bekas kok"
"Dia itu kemaren cuma modus" bantah Oval.
"Dari dulu kakak bilang semua cewek itu modus. Terus cewek mana yang nggak modus ?"
"Kamu, Ani, Mama"
Ana mendesah berat. Ia meraih gagang lemari berwarnakan cokelat tersebut. Lalu memasukan seragam biru itu kedalamnya.
"Pokoknya harus diterima !"
Oval mengedikan bahu lalu kembali memasang benda hitam itu kembali. Mata hitamnya kembali berkutat pada layar monitor.
ðŸŒ
"Ani!. Dipanggil - panggil dari tadi. Ngapain sih ?" tanya Ana sedikit kesal dengan kembarannya.
Ani menoleh sempurna dengan senyum mengembang. "Na, sini deh" panggil Ani mengibas - kibaskan tangannya. Kedua kembaran itu memang sudah sepakat untuk meng-tiadakan kata kakak ataupun adik diantaranya. Karena menurut mereka, kembaran itu terlahir secara bersamaan.
Lagi pula perbedaan diantara mereka juga hanya beberapa menit. Tidak akan ada masalah untuk meng-tiadakan kata 'kakak-adik'.
Ana sempat menolak tapi Ani termasuk golongan keras kepala dikeluarga ini. Jadi mau tidak mau, Ana mengiakan permintaannya.
"Ganteng nggak ?" Cewek berlesung pipi sebelah itu menunjukan gambar pada ponselnya.
"Ya ampun. Kamu pacaran ?" Ana merebut ponsel tersebut. "Mau, makanya mau minta restu kamu" Ani menyengir.
Ana mengembalikan ponsel yang tadi ia rebut. "Ih, kamu ada - ada aja" ucap Ana jijik.
"Plis... Na. Kamu sendiri kenapa enggak pacaran ?" tanya Ina dengan cemberut yang disengajanya.
"Ana nggak suka pacaran." ucap Ana pelan, "tapi mama aja yang terus berpikiran, Ana suka pacaran dan mudah terpengaruh" imbuh Ana curhat.
"Kaciiaann" cerca Ani, ia menunjuk pipi Ana yang bersemu merah.
"Ah udah. Makan yuk !" Ana melempar bantal disampingnya ke arah kembarannya dengan senyum kesalnya.