Fana mencengkram kuat lengan Ana. Wanita galak paruh baya itu menarik putrinya kedalam rumah dengan wajah yang membuat semua orang yang melihatnya bergedik ngeri.
"SEKARANG JAM BERAPA !!" tegas Fana pada putrinya yang satu ini. Matanya yang besar sukses membuat nyali Ana menciut.
"M-Maaf, ma" lirih Ana menundukan kepalanya.
"KAMU UDAH PULANG MALAM, PULANGNYA SAMA COWOK LAGI. DARI AWAL MAMA UDAH BILANG KE KAMU YA, ANA!!" Fana tidak dapat mengontrol emosinya. Ini adalah kemarahan terbesar yang pernah wanita itu luapkan kepada anaknya.
Benar. Ana memang salah. Tidak seharusnya ia pulang malam begini. Ia tidak bisa membantah perkataan ibu kandungnya. Sehabis pulang sekolah, lagi - lagi Nando menjemput.
Mengajak Ana mampir ke beberapa toko buku sebelum beranjak ke taman favourite Ana sampai larut malam begini. Waktu begitu cepat. Ana bahkan tidak sadar matahari sudah tenggelam.
"KAMU ITU BERSYUKUR ANA !! BERUNTUNG YA MAMA MASIH SAYANG SAMA KAMU." Fana sedikit mendelik kearah Ana.
Ana kembali menundukan kepalanya. Hatinya memang sudah biasa sakit. Tapi kali ini sakit yang begitu berbeda. Setetes air mata terjun bebas dari dagunya.
"Fana. Cukup..." Reno melerai pelan. Hatinya tersentuh melihat tetesan air mata Ana.
"Kamu bilang cukup mas ? Ana itu udah dikasih banyak kemudahan tapi dia nggak bersyukur !
Coba aja kalo dia tinggal sendiri diluar sana. Apa bisa ??"
Ana tahu ini memang salahnya. Tapi mengapa Fana begitu emosi kali ini ?.
Matanya semakin memanas, jantungnya berdetak kencang. Tangannya mengepal dengan sendirinya.
"Ma." bibir Ana mulai berucap walau gemetar.
"Harusnya mama yang bersyukur masih punya Ana !" Ana mengangkat kepalanya. Menatap wanita itu dengan mata sembap.
Fana yang mendengar tegasan dari Ana membulatkan matanya lebar - lebar. Tak disangka ucapan itu dapat membuat kedua bola matanya ikut memanas.
"Kalo Ana mati mama bisa apa ?" Fana yang tadinya menguasai medan pertempuran kini terbungkam mengikuti alur.
"A-Ana pernah sesekali tanya sama diri Ana sendiri. Kenapa mama bersikap beda sama Ana. Kenapa mama buatin Ana kamar dilantai dua, sendirian. Kenapa mama selalu ambil ponsel Ana setiap malem"
"Ana juga mau diperlakukan seperti kembaran Ana, ma ! Ana mau ngerasain kebebasan sedikit aja-"
"Kamu mau bebas kan ? Keluar !!"
Tangan Fana menunjuk kearah pintu dengan tegas. Sejujurnya matanya sudah dipenuhi air mata kini. Tapi emosinya sudah tak terkontrol. Ia bahkan tidak bisa mengambil alih tangannya yang lurus kearah pintu.
"Fana" tegur Reno mulai khawatir.
"Mas, denger sendiri kan, yang Ana pengen ? Dia pengen kebebasan. Cepet keluar"
Ana membulatkan matanya. Air mata sudah tak dapat dihitungnya. Yang ia rasa hanyalah sakit yang begitu mendalam.
Ia membalikan badannya cepat, kakinya terangkat dan bergerak secepat harimau. Telinganya membisu dari panggilan - panggilan yang ayahnya lontarkan. Ia berlari menembus udara malam yang begitu menusuk kulit.
ðŸŒ
Ana berjalan berbekal isak tangisnya yang tak kunjung pulih. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Langkahnya menelusuri jalanan sepi dimalam hari. Semua indranya mati dan berfokus kepada kejadian tadi.
Matanya mengintip dari balik telapak tangan, menampilkan tempat yang cukup asing baginya. Sepertinya ia salah mengambil jalur ketika berlari tadi.
Tak ada mobil, tak ada motor yang melintas. Tak ada lampu jalan yang menerangi. Tak ada bangunan yang menghiasi. Hanya ada tiang pembatas jalan dan beberapa kunang - kunang diseberangnya.
Rintikan air hujan mulai membasahi rambutnya yang berantakan. Ana memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya mulai menggigil. Angin sepoi - sepoi berpadu dengan rintikan hujan yang menusuk kulit.
Sampai suatu ketika matanya mendapati sebuah cahaya di hadapannya. Sekian cahaya tersebut semakin terang dan sukses membuat lengannya terangkat untuk menutupi matanya dari cahaya silau tersebut. Yang Ana lihat hanyalah cahaya yang menyorot. Mata sembapnya tidak dalam keadaan sehat kala itu.