Bulu mata lentik milik Ana mulai bergerak. Kelopak matanya terangkat sedikit demi sedikit. Hal pertama yang ia lihat adalah langit - langit berwarna putih.
Bola matanya bergeser, mendapati botol berisi air yang menetes sedikit demi sedikit sesuai yang sudah ditentukan. Air tersebut mengalir pada kabel bening yang turun mengarah pergelangan tangan Ana. Ya, sebuah jarum infus telah menembus kulitnya.
Tangan mungil Ana terulur untuk meraih pergelangan kakinya yang tertutup selimut rumah sakit. Rintihan terdengar dan membangunkan wanita paruh baya yang tertidur disampingnya.
"A-Ana..." lirih Fana melihat putrinya.
Ana mengerutkan keningnya. Kakinya terasa sakit yang luar biasa ketika digerakan. Untuk menggesernya saja ia butuh ekstra tenaga dan ekstra hati - hati.
"Kaki Ana sakit, ma" lirih Ana. Ia memejamkan matanya.
Sampai sebuah momen yang cukup langka terlihat. Sebutir air mata mengalir pada pipi Fana.
Wanita paruh baya yang terkenal galak dan kuat itu baru saja meneteskan air matanya.
ðŸŒ
"Maafin mama sayang..." lirih Fana, tangannya meraih puncak kepala gadis yang sekarang terduduk dikursi roda.
Ini bisa jadi kesalahannya. Seharusnya tangan kanannya dan bibir merahnya tidak mengambil aksi kala itu. Tapi semua sudah terjadi.
Seperti yang pepatah bilang, penyesalan datang paling terakhir.
"Besok setiap sabtu, kamu terapi ya. Pasti sembuh kok. Asal berusaha" Fana tersenyum pahit.
I
a tak dapat melihat satupun ekspresi yang terbentuk di wajah Ana sejak kemarin.
ðŸŒ
Tangan Ana mendorong kedua roda hitam disampingnya. Ia jalan mendahului Fana dengan kursi roda barunya. Ia tidak mempedulikan Nando yang baru saja datang dengan penuh keterkejutan akan keadaan Ana sekarang.
"A-Ana ?" heran Nando.
Fana memasang raut geram pada Nando. Karena cowok itulah Ana jadi pulang malam. Karena cowok itulah, Fana harus menegur Ana keras kemarin.
Sebuah tamparan melayang pada pipi Nando. "Jangan pernah deket - deket putri saya lagi !!" tegas Fana. Ia berjalan melewati Nando yang mematung tak mengetahui kesalahannya..
ðŸŒ
Vika menaruh kedua tangannya pada gagang kursi roda milik Ana. Fana sudah meminta tolong pada Vika untuk terus menjaga Ana selama kegiatan sekolah.
Pintu kelas terbuka lebar. Mereka berdua memasuki kelas, kondisi Ana sukses menarik seluruh pasang bola mata yang ada.
Suara bisikan terdengar jelas ditelinga Ana. Tapi ia tetap terdiam tanpa ekspresi.
"Aku sampe sini aja ya, Ana" pamit Vika. Mereka memang tidak sekelas, tapi mereka berdua terbilang sangat dekat.
"Iya..." Ana menganggukan kepalanya samar.
ðŸŒ
Seorang lelaki bernama Riko menyambar sketchbook Ana yang tengah ia gores dengan pensil 2B. Dengan senyum Riko mengangkat buku tersebut tinggi - tinggi.
"Ambil kalo bisa" cerca Riko. Ia terkekeh melihat Ana yang berusaha mengambil buku tersebut walau selalu gagal.
"Riko, kembaliin" pinta Ana tak berdaya.
Mendengar itu Riko menarik sudut bibirnya tipis. Ia mengayunkan tangannya, melempar sketchbook tersebut kearah lantai.
Ana meraih gagang rodanya. Memutar roda tersebut kearah buku yang tergeletak.
Tapi ia menarik tangannya kembali ketika seseorang memberhentikannya dengan paksa.
Membuat jari telunjuknya tersangkut roda dan meneteskan sedikit cairan merah pekat.
Ana memegang jarinya, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit.
"Sini biar aku bantuin" tegas riko. Bukannya mendorongnya kedepan, Riko malah mendorong kencang kursi roda itu kearah pintu kelas.
"Ketauan guru mampus kamu, Riko" gumam salah satu lelaki dari puluhan siswa yang bungkam melihat tingkah laku Riko.
Bukannya mereka tidak mau menegur Riko. Tapi mereka terlalu takut untuk mencampuri yang bukan urusan mereka. Apa lagi, antagonis kali ini adalah Riko. Lelaki paling nakal di SMA.
Mading kelas berwarna hijau itu selain di hiasi majalah lelucon dan teguran mahasiswa. Dibaliknya terdapat peraturan yang sudah Riko buat.
Bagi siapapun yang melanggar peraturan dari Riko. Maka mereka akan mendapat ganjarannya.
Riko terdengar senang menjahili Ana yang sedang dalam kondisi tidak baik itu.
Sampai bel istirahat pun terdengar lelaki itu masih menjahilinya sampai puas.
ðŸŒ
"R-Riko, kita bisa jadi teman kok" lirih Ana hati - hati. Riko yang membelakanginya, mengerutkan kening lalu menoleh kebelakang.
Mereka terdiam beberapa saat. Dengan wajah datar yang tak dapat ditebak, Riko menaruh salah satu kakinya di bibir kursi roda. Ia tersenyum tipis sebelum kakinya menendang kencang kursi roda itu hingga terpental kebelakang.
"Najis..." gumam Riko, ia kembali berkutat dengan obrolan teman - temannya yang sempat terhenti dan melongo melihat perlakuan Riko terhadap Ana.
ðŸŒ
"Hei !! Kamu ngapain !!" bentak Riko melihat gadis itu sibuk dengan mejanya.
Ia menarik lengan gadis tersebut, dan menepisnya jauh dari mejanya.
"A-Aku, cuma bersihin meja kamu." jelas Ana. Meja yang tadinya penuh coretan pulpen kini bersih mengkilap karena gadis itu. Seharusnya Riko berterimakasih pada gadis tersebut. Karena jika coretan itu sampai terlihat oleh guru. Riko bisa mendapat skors lama dari mereka.
Tapi entah mengapa bibirnya sangat susah untuk mengucapkan satu kata sakral baginya, 'terimakasih'.
"Kamu itu jangan pegang - pegang mejaku !!!" tegur Riko dengan mata melotot. Ia mencengkram lengan gadis itu.
"S-Sakit" Ana mencoba melepaskan cengkraman tangan Riko tapi tidak bisa. Kuku panjang Riko merambat pada lengan bajunya dan perlahan menusuk kulit putihnya. Merusak jaringan - jaringan kulit yang ada.
Lagi - lagi membuat Ana menggigit bibirnya seraya merintih kesakitan. Mendengar rintihan itu semakin membuat Riko gemas dan ingin lebih dari ini.
"Dasar cacat. Bodoh ! Udah kubilang jangan pernah sentuh barangku !!!" bentak Riko menguatkan cengkramannya.
Mendengar kata itu membuat bola mata Ana tergenang air. "S-Sakit Riko" lirih Ana kembali.
Ana memberontak untuk melepaskan tapi tak bisa. Sampai akhirnya kursi rodanya terguling. Membuatnya mencium lantai.
Riko membulatkan matanya, melihat gadis itu menangis diatas lantai. "T-Tolong, ka-kaki Ana sakit..." ucap Ana seraya terisak.
Ana memejamkan matanya, kakinya terjepit pada salah satu roda tersebut. Tangannya terulur untuk memegang kakinya yang terasa begitu perih. "Riko, tolong..." lirihnya kembali dengan air mata mengalir.
Riko melihat tangannya, apa yang baru saja ia perbuat ? Ia menyambar tas ranselnya lalu berlari keluar ruangan kelas yang sudah kosong karena bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.
"S-Sakit..." lirih Ana. Air matanya menderas. Keringat mengalir dari pelipisnya. Ia tidak bisa berdiri. Kakinya terjepit rasanya seakan ingin patah. Isak tangis Ana menjadi satu - satunya suara yang ada di ruang kelas kosong dan gelap itu.