Cairan berwarna merah pekat mengalir dari lengan Ana. Perempuan itu terduduk di ranjang klinik berwarna hijau tua.
Wanita dengan pakaian serba putih itu melipat lengan baju Ana yang panjang.
Ia menempelkan kapas yang salah satu sisinya berwarna cokelat pekat. Membuat suara rintihan kecil terdengar di telinganya.
Setelah luka tersebut tertutup dengan kapas, wanita berpakaian putih itu meninggalkannya berdua dengan Fana.
"Kamu kok bisa begini sih, sayang ?" heran Fana. Ia memeluk putrinya yang masih memasang raut datar.
"Yuk, pulang"
ðŸŒ
"Ana. Gimana kalo besok pagi kita jalan - jalan ke taman ?" cerewet Ani dengan senyum merekah mencoba membuat saudara kembarnya tersenyum setipis apapun.
"Ana" panggil Ani dengan senyum luntur karena tak mendapat jawaban apapun dari lawan bicaranya.
"Eh, Ana. Aku punya kabar bagus. Cowok yang kemarin aku kasih liat. Dia nembak aku loh !" heboh Ani kembali masih tanpa jawaban dari lawan bicarannya.
Entah mengapa semakin berjalannya waktu, semakin Ana jarang membuka mulutnya sedikitpun.
"Ya udah, kalo gitu makan siang dulu aja ya, Na" ketus Ani mulai jengah.
ðŸŒ
"Mau apa kamu kesini ?" ketus Fana.
"T-Tante, saya cuma temennya Ana kok" jelas Nando hati - hati.
"Kamu itu merasa bersalah nggak sih. Bawa Ana sampe malem kaya kemaren"
Fana melirik sinis pada lelaki itu dari balik jeruji besi gerbang rumahnya.
"M-Maaf soal itu..." sesal Nando.
Fana menghela napas pelan. "Lebih baik kamu pulang atau saya suruh satpam" tegas Fana. Nando menundukan kepalanya, ia memutar tubuhnya dan mengangkat kakinya dari rumah mewah yang satu ini. "Makasih" pesan Nando sukses mengukir kerutan di kening Fana.
Sebenarnya apa yang baru saja terjadi ? Mengapa Ana menggunakan kursi roda kala itu ?
ðŸŒ
Ana menggenggam erat dua besi disampingnya. Ia berjalan mengikuti lintasan yang ada dengan susah payah. Keringat mengalir dari pelipisnya.
"Kamu pasti bisa, Ana" gumam Oval pelan. Hari ini Oval lah yang menemani Ana terapi. Fana sedang ada pekerjaan sekarang.
Ana merintih ketika kakinya terasa perih. Membuat Oval mengerutkan keningnya tak tega. Gerahamnya juga menguat.
Setelah beberapa saat berhenti, Ana pun kembali melanjutkan jalannya. Langkahnya begitu pelan. Gadis yang biasanya jalan sana - sini melihat deretan bunga ditaman kini susah payah untuk mengangkat kaki kecilnya.
Pergelangan tangan Ana terlepas. Ia hampir saja tergelincir saat itu juga. "B-Biarin Ana usaha sendiri, kak" lirih Ana, air matanya mengalir tanpa seizin nya.
"Tapi..." cemas Oval. Ia menarik napas dalam - dalam lalu membuangnya pelan dari mulut. "Ya, aku percaya" simpul Oval tersenyum.
Dengan keringat di pelipisnya Ana mengangkat kembali kakinya dengan sangat hati - hati. Entah apa lagi kesalahannya. Ia tergelincir dan menjatuhkan dirinya sendiri diatas kerikil kecil dijalur tersebut.
Oval langsung bergegas memegang lengan Ana. "A-Ana," cemas Oval.
"Ana yakin, ini udah takdir Ana untuk nggak bisa jalan lagi, Ana yakin, kak !" Kesal Ana dengan dirinya sendiri.
"J-Jangan ngomong kayak gitu" tegur Oval membulatkan matanya.
"Ana udah berusaha, tapi nggak akan bisa kak !!"
Suara Ana naik satu oktaf. Air bening itu semakin deras.
Oval dibuat bungkam dengan kondisi adiknya yang begitu mengenaskan. Ia bahkan tak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya.
Ia begitu tak menyangka adiknya harus merasakan sakit seperti ini.
"Sabar, Ana..." bisik Oval pada telinga Ana. Ia memeluk erat adiknya.