"Ihh lucu banget sih."
Kedua mata itu menatap gemas selembar foto seorang bayi yang tampak imut dengan jumpsuit berwarna merah muda. Beberapa bulan belakangan ini pria tersebut mempunyai kebiasaan baru yang diam - diam ia lakukan tanpa sepengetahuan siapapun termasuk sang isteri. Apalagi kalau bukan memandangi foto anak perempuan yang selama ini diabaikannya.
Pria yang merupakan pengacara terkenal ini sengaja membuka kembali album foto ini hampir di setiap kesempatan yang ada hanya untuk satu tujuan. Mengulang kembali masa - masa yang ia lewatkan dulu. Ya, meski hanya melalui foto.
Ia begitu menyesali perbuatannya yang telah mengabaikan anak itu hanya karena satu alasan yakni wajahnya mengingatkan pria itu akan kegagalan dan penghinaan yang ia terima. Dan saat ini ia mulai mencoba memperbaiki semuanya. Dimulai dari mencoba mengenal lebih banyak tentang anak yang bernama Vina Laviola Simbolon. Dengan demikian ia berharap ketika anak itu kembali ia bisa memperbaiki semuanya.
Melihat foto - foto ini ia menyadari satu hal yakni ia sudah bertingkah terlalu jauh sehingga ia melewatkan semua tumbuh kembang Vina. Ia tidak tahu pasti kapan Vina bisa merangkak. Kapan Vina bisa berdiri ? Kapan bisa berjalan ? Kapan giginya tumbuh pertama kali ? Apa kata yang diucapkannya pertama kali ? Siapa cinta pertamanya ? Apa warna kesukaannya ? Apa makanan favoritnya ? Hampir semua hal tentang Vina telah ia lewatkan.
"Yang ini juga lucu. Ini apa lagi."
Bak seseorang yang sedang kasmaran pria yang sudah berumur hampir setengah abad itu tidak berhenti menebar senyum. Sepertinya pria itu begitu bahagia menatap lembar demi lembar foto yang berisi foto - foto masa kecil seorang anak perempuan. Dadanya berdesir hangat setiap kali lembar demi lembar foto itu berganti.
"Cantik. Ya...Kau memang sudah cantik sejak kecil."
Pria itu terus bergumam sembari mengelus lembut foto tersebut. Siapapun orang yang mengenal Vina pasti akan setuju jika anak itu sudah cantik sejak kecil.
"Udah cantik, pintar lagi. Tapi sayang kau sedikit keras kepala."
Pria itu tertawa kecil mengingat wataknya yang sama persis dengan seseorang yang sedang ia pandangi fotonya sekarang.
"Kenapa baru sekarang aku sadar kalau Tuhan menganugerahkan seorang puteri yang luar biasa sepertimu ?"
Belakangan ini ia sering menyalahkan dirinya sendiri atas tingkahnya yang memang sudah kelewat batas. Kepergian Vina dari rumah akibat salah satu keegoisannya membuatnya perlahan membuka matanya.
"Coba aja kau laki - laki pasti..."
Pria itu tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Dadanya terasa sesak. Lagi - lagi karena alasan yang sama. Entah sampai kapan ia bisa bersahabat dengan kenyataan yang ada.
"Kenapa kalau dia laki - laki ?"
Brakk...
Benda yang berada di genggaman pria tersebut jatuh begitu saja mendengar suara itu. Bagai maling yang tertangkap basah pria itu bergerak salah tingkah dengan wajah pucat pasi.
"Eh, kamu udah pulang, Sayang ?"
Pria tersebut berusaha tersenyum ramah untuk menutupi kegugupan yang kini menyerangnya. Melihat tatapan tajam dari sang isteri membuatnya cemas. Takut kalau - kalau isterinya itu salah paham.
"Mau sampai kapan Abang menolak kenyataan kalau kita hanya punya anak perempuan ?"
Dan benar saja. Apa yang ia takutkan pun terjadi. Tatapan tajam dan kata - kata yang diucapkan dengan sinis ketika wanita itu melangkah ke arahnya membuatnya yakin bahwa saat ini isterinya itu sudah salah paham. Wanita itu berhenti tepat di depannya lalu menundukkan tubuhnya memungut album foto yang sudah tergeletak begitu saja lalu kembali berdiri.
Ketegangan semakin terasa ketika wanita itu kembali menatapnya. Tatapannya lebih mengerikan dari yang tadi. Tatapan marah yang bercampur dengan tatapan penuh luka. Melihat tatapan itu kemampuan bersilat lidah pria bernama Runggu itu hilang seketika. Entah kemana kemampuannya itu pergi. Rasanya kemampuannya sebagai seorang pengacara terkenal selama berpuluh - puluh tahun lamanya tidak berarti apa - apa di hadapan sang isteri.
"Abang ingat yang kukatakan dulu ?"
Runggu meremas celananya takut. Jantungnya berdetak kencang. Ia takut kalau kalimat itu kembali terucap dari mulut wanita yang begitu ia cintai.
"Abang boleh menikah lagi biar Abang punya penerus."
Deg...
Dejavu. Runggu diingatkan kembali ke masa - masa dua puluh tujuh tahun yang lampau. Meski ia sudah pernah mendengar kalimat itu tapi entah kenapa rasanya tetap sama. Sakit.
"Sayang..."
Runggu mencoba melangkah mengikis jarak diantara mereka. Namun setiap kali ia melangkah maju di saat yang sama pula isterinya melangkah mundur. Sehingga mau tak mau akhirnya ia berhenti dan diam di tempat.
"Sejak dulu aku gak pernah larang kan ? Jadi kenapa Abang gak lakuin aja ?"
Karena cinta, Sayang. Runggu begitu terluka kala isterinya itu mempertanyakan hal yang sama. Tidakkah isterinya ini tahu bahwa Runggu begitu mencintainya. Meski ia begitu menginginkan anak laki - laki tapi ia tidak mungkin meninggalkan wanita yang mati - Matian ia perjuangkan dulu.
"Apa perlu aku yang cari calon bini buat Abang ? Belum terlambat kok. Aku yakin Abang masih bisa punya anak. Tapi sebelum Abang menikah nanti, tolong ceraikan aku !"
Air mata wanita berdarah Jepang yang bernama Kazumi itu luruh seketika setelah sejak tadi hanya mengambang di pelupuk matanya.
"Tidak sayang ! Jangan pernah ngomong begitu lagi !
Runggu kacau melihat air mata itu mengalir. Sedari dulu air mata wanita itu selalu menjadi kelemahannya. Ia tak pernah sanggup melihat wanitanya terluka meski ia akui kerap kali ialah yang sering membuat wanita itu meneteskan air matanya.
Runggu kembali melangkah kali ini tidak peduli penolakan yang akan diterimanya. Beruntung wanita itu tidak lagi bergerak seperti tadi.
"Sayang, tolong dengerin aku dulu !"
Runggu menarik tubuh Kazumi lalu menjatuhkannya ke dalam dekapannya. Memeluk wanita itu erat seakan - akan tidak ingin dipisahkan untuk selama - lamanya. Kazumi yang diperlakukan demikian hanya bisa pasrah.
''Sampai kapan Bang ? Sampai kapan Abang menyalahkan takdir ? Sampai kapan Abang berhenti menyalahkan Vina atas semua yang terjadi ?" Seru Kazumi di sela - sela isakannya. Sementara Runggu hanya diam membisu dengan air mata yang entah sejak kapan telah mengalir membasahi pipinya.
"Sadar Bang ! Tidakkah Abang tahu kalau Abang selama ini sudah terlalu jauh menyalahkan Vina atas kesalahan yang sama sekali ia perbuat. Coba Abang ingat sudah berapa banyak luka yang Abang torehkan di hatinya ? Banyak. Sangat banyak sampai aku pun gak tahu luka mana yang harus disembuhkan terlebih dahulu."
Wanita berdarah Jepang yang bernama Kazumi berteriak frustasi di balik dada bidang suaminya. Seiring dengan teriakan itu tangannya bergerak lincah memukul - mukul pelan dada sang suami. Ia sudah terlalu lama menahan duka ini sendiri. Ibu mana yang tidak terluka melihat keberadaan puterinya ditolak oleh ayah kandungnya ? Hanya ia yang tahu seberapa terlukanya dirinya dan Vina atas semua penolakan yang anaknya itu terima.
Dengan suasana yang hampir sama, seorang pria tampan berjalan mondar mandir di dalam sebuah ruangan. Wajahnya kusut. Rambutnya acak - acakan. Kertas - kertas yang berserakan di lantai menjadi salah satu bukti bahwa pria itu baru saja melampiaskan amarahnya.
"Apa katanya tadi ? Aku tidak punya hak untuk mengatur hidupnya ?" Pria itu berteriak frustasi.
Baru beberapa jam yang lalu senyum merekah di wajahnya karena telah berhasil menggoda wanita incarannya tetapi sekarang wajah itu terlihat mengerikan. Tidak ada gurat - gurat senyum yang tersisa di parasnya yang setengah bule itu. Dan alasan dari perubahan drastis itu adalah orang yang sama yang tadinya membuat hatinya berbunga - bunga.
Bagaimana bisa mood seorang Dean bisa berubah sedrastis itu ? Itu semua berawal dari panggilan telepon yang ia terima beberapa waktu yang lalu. Entah apa yang dikatakan wanita itu sehingga berhasil membuat seorang Dean menjadi uring - uringan gak jelas seperti ini. Bahkan barang - barang yang ada di dalam ruang kerjanya menjadi sasaran kekesalannya.
"Sejak awal kamu itu milikku. Seterusnya juga begitu dan tidak akan pernah berubah. Tidak akan kubiarkan siapapun mengambil apa yang sudah menjadi milikku. Tidak pria yang kau anggap pacarmu itu dan tidak juga sisipit sialan itu." Pria itu membulatkan tekadnya. Entah apa dasarnya sehingga dengan entengnya ia mengklaim wanita tersebut menjadi miliknya. Biarlah hanya dia dan Tuhannya yang tahu.
***