Setengah jam telah berlalu. Vina yang masih berada di dalam kamar mulai bergerak gelisah. Berjalan mondar - mandir untuk mengurangi rasa tidak nyaman menunggu dalam ketidak pastian. Ia tak tahu apa yang terjadi setelah ia masuk ke dalam kamar sementara Asni membukakan pintu untuk seseorang yang mengetuk dengan tak sabaran di luar sana.
Melalui pendengaran yang sudah ia usahakan setajam mungkin ia hanya berhasil mendengar kata 'kok Bapak?' itu pun hanya terdengar samar - samar. Setelahnya ia hanya mendengar suara pintu berdecit pertanda pintu kembali ditutup.
Tadinya ia berpikir dalam hitungan menit Asni pasti akan datang menemuinya di dalam kamar. Melayangkan tatapan menyelidik padanya lalu menyerangnya dengan berbagai pertanyaan untuk menuntaskan segala rasa penasaran yang menggerogotinya. Seperti yang biasa dilakukan sahabatnya itu setiap kali ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Namun, ternyata dugaannya meleset jauh. Hingga beberapa menit berlalu, Asni tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Tidak hanya itu. Dara cantik berdarah Batak itu bahkan sama sekali tidak mendengar suara dari luar kamar yang menunjukkan bahwa Asni sudah kembali ke dalam rumah dan melanjutkan aktivitasnya.
"Asni kemana sih? Kok gak nongol juga?" Vina menggerutu kesal sembari menatap pintu kamar yang tak kunjung terbuka.
Rasa penasaran membuatnya tidak dapat duduk tenang. Hati kecilnya memaksa dirinya untuk segera keluar dari kamar. Hal itu jugalah yang mendorongnya untuk melangkahkan kakinya menuju pintu kamar. Akan tetapi hingga beberapa saat berlalu gadis itu hanya berdiri di depan pintu tanpa melakukan apapun. Ada rasa ragu yang tiba - tiba menyelusup ke dalam hatinya sesaat tangannya mulai terulur menggenggam handel pintu.
"Buka? Enggak? Buka? Enggak?" Berulangkali Vina hanya memaju mundurkan tangannya di depan gagang pintu.
"Gimana kalau orang itu ada di luar?" Tangannya yang sudah terulur dan hampir menggenggam handel pintu kembali ia tarik kala pertanyaan itu melintas di otaknya. Membuatnya kembali meragu.
"Ah bodo amatlah. Buka dikit aja gak bakal ketahuan kan ya?" Gadis itu berperang dengan dirinya sendiri. Satu sisi ia mantap membuka pintu tersebut tanpa peduli apa yang akan ia temui di luar kamar tersebut. Namun, di sisi lain ada dorongan dalam dirinya untuk menolak melakukan hal tersebut.
"Ya, buka dikit aja gak papa." Dengan ragu ia menyentuh gagang pintu kemudian menekannya perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik. Dengan perlahan ia membuka pintu tersebut. Setelah terbuka sedikit ia menjulurkan kepalanya untuk mengintip keluar. Memastikan situasi di luar kamar.
"Aman." Vina tersenyum lega karena ia tidak menemukan orang itu di depan kamar.
"Sepi banget. Di mana Asni?" Suasana rumah yang begitu sepi membuatnya kembali bertanya - tanya. Dan untuk menuntaskan rasa penasarannya, Vina mengayunkan langkahnya keluar dari kamar menuju dapur dan kamar mandi untuk mencari keberadaan Asni.
"Kemana sih itu anak? Di dapur gak ada. Di kamar mandi juga gak ada." Bibirnya terus menggerutu seiring dengan langkah kakinya yang terus bergerak ke arah ruang tamu.
"Eh?" Vina yang baru saja tiba di ruang tamu dan hendak keluar rumah untuk mencari Asni terpaksa berhenti kala manik miliknya menangkap sesuatu yang mengusik pandangannya.
"Kok ada buket di sini? Perasaan tadi gak ada deh. Punya siapa ya?"
Vina menundukkan badannya, mengambil buket yang berisi bunga tersebut lalu kembali berdiri.
"Bunga cantik gini kok digeletakin gitu aja sih? Gak tau apa ini bunga mahal?"
Vina sangat menyayangkan tindakan orang yang telah dengan gampangnya meletakkan buket yang berisi bunga tulip berwarna putih itu begitu saja di atas karpet. Sebagai salah satu penggemar bunga yang berasal dari negara kincir angin itu membuatnya mengetahui bahwa harga bunga tersebut tidaklah murah.
Dengan hati - hati Vina membawa buket bunga tulip berwarna putih itu ke dalam dekapannya. Mendekap bunga tersebut sebentar lalu membawanya ke hidungnya. Memastikan secara langsung seperti apa sebenarnya aroma khas bunga yang berasal dari negara kincir angin tersebut untuk menuntaskan rasa penasaran yang selama ini dipendamnya.
Setelah merasa puas, gadis itu berniat meletakkan bunga itu kembali ke atas karpet. Namun, kertas berwarna merah muda yang terselip di sela - sela tangkai bunga tersebut yang tak sengaja ditangkap manik miliknya mengusik dirinya. Menarik minatnya untuk mengambil dan sedikit mengintip isinya untuk memuaskan rasa penasarannya. Dengan hati - hati ia menarik kertas tersebut agar tidak rusak.
"Intip dikit boleh kan ya?" Vina tersenyum geli dengan tingkahnya.
Untuk : Bu guru cantik ( Vina )
Keningnya berlipat membaca kalimat yang tertera di kertas tersebut. Ia tak pernah menyangka jika buket tersebut ditujukan untuknya.
Maaf. Maaf. Maaf. Maaf
Vina menggeleng - geleng membaca kata maaf yang ditulis berulang - ulang. Meski tanpa melihat nama pengirimnya pun, Vina cukup tahu siapa yang memberikan bunga itu.
Untuk sesaat ia merasa terenyuh dengan usaha pria tersebut untuk mendapatkan maaf darinya. Padahal tanpa melakukan hal seperti ini pun Vina sudah memaafkannya. Ia hanya butuh waktu untuk memastikan apa yang sebenarnya hatinya inginkan.
Benarkah ia menginginkan Randy jauh darinya? Atau justru sebaliknya. Tetap teguh seperti yang diikrarkannya dengan sesumbar di hadapan Asni beberapa waktu yang lalu. Di mana ia akan tetap menyayangi dan memperlakukan Randy bak anak kandungnya sendiri tak peduli dengan segala resiko yang akan ia hadapi. Termasuk kemungkinan kejadian beberapa hari yang lalu terulang lagi.
Please jangan marah lagi ya Bu guru, Mami.🙂
Entah kenapa cengiran khas pria itu terlintas begitu saja di benaknya. Membuatnya mendengus kesal.
"Apaan coba Bu guru Mami? Dasar orang aneh."
Vina menggerutu kecil tapi tidak menghilangkan gurat senyum yang muncul begitu saja di wajahnya.
Saya ngaku salah deh. Jadi tolong dimaafin ya!
Dari: Coker ( Dean Constantin alias Papinya Randy)
"Idih... Narsis banget sih ini orang. Coker...Coker... Coker dari segi mananya coba?" Vina menggerutu kesal sembari mengembalikan kertas tersebut ke posisi semula. Dan dengan langkah ringan ia membawa buket bunga tersebut ke dalam kamar. Menciumnya sebentar lalu meletakkannya di atas nakas.
Waktu terus bergulir. Lebih satu jam lamanya Vina menunggu Asni. Menghabiskan waktu dengan menyiapkan makan malam dan juga membersihkan diri. Bahkan ia sudah sempat bertelepon ria dengan sang kekasih untuk mengisi waktu. Namun, orang yang ditunggu - tunggu tak juga menunjukkan batang hidungnya. Hal itu membuat Vina semakin mencemaskan sahabatnya itu.Takut sesuatu yang buruk menimpa sahabatnya itu. Meski terkadang sahabatnya itu juga membuatnya kesal tapi bagaimanapun juga Asni adalah sahabat terbaiknya. Begitu banyak suka duka yang sudah mereka lalui bersama. Terutama selama dua bulan ini.
"Ini anak kemana sih sebenarnya?" Untuk kesekian kalinya Vina menggerutu hari ini. Ia yakin jika terus - terusan seperti ini, ia bisa terkena serangan hipertensi.
"Kenapa sih pergi gak bilang - bilang? Ponsel juga pake acara gak dibawa lagi. Padahal biasanya boker aja bawa hp."
Andai Asni tidak meninggalkan ponselnya di rumah, Vina mungkin tidak perlu cemas. Ia cukup menelpon sahabatnya itu untuk mengetahui keberadaannya.
"Mpok!!!" Vina yang baru membuka pintu berseru begitu nyaring. Memanggil wanita yang tinggal di samping kontrakan Asni itu. Mengetahui dirinya dipanggil, wanita yang tengah sibuk menyapu halaman itu menghentikan aktivitasnya lalu mendongak menatap Vina.
"Ya?"
"Lihat Asni gak?"
Wanita itu tak langsung menjawab. Kerutan di keningnya menunjukkan bahwa ia sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Bukannya tadi pergi ya? Emangnya dia gak ngomong kalau mau pergi?"
Vina menggelengkan kepalanya.
"Kira - kira Mpok tau gak dia pergi kemana?"
"Hm... Mpok sih kurang tau pasti tapi..."
"Tapi apa Mpok?" Cecar Vina terlihat tak sabaran karena wanita berdarah Betawi itu tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
"Kalau gak salah nih ya, tadi Asni pergi naik mobil sama cowok."
"Cowok?" Vina mencoba meyakinkan.
"Iya cowok. Eh, cowoknya cakep deh Kak. Kayak orang bule gitu." Jiwa rumpi wanita itu mulai menggelora. Membuat Vina hanya bisa tersenyum kecut. Mendengar kata bule meluncur dari mulut tetangganya itu membuat Vina berpikir jika Asni pergi dengan orang itu. Tapi kemana dan untuk apa?
"Bule?" Lagi, Vina mencoba memastikan jika dugaannya memang benar.
"Iya. Itu si Mas-nya bule bukan sih? Mpok lihat tadi sekilas wajahnya kayak orang bule gitu. Kalau gak salah matanya juga biru. Itu tandanya si Mas tadi beneran bule kan?" Vina tersenyum kecil melihat cara wanita itu berasumsi.
"Oh iya, itu pacarnya si Asni, ya?"
"Hah?"
Vina hanya bisa melongo mendengar kalimat yang diucapkan wanita tersebut. Bagaimana bisa wanita itu menarik kesimpulan bahwa orang itu adalah kekasih Asni hanya karena pergi bersama. Itu pun baru kali ini terjadi.
Belum hilang syok yang ditimbulkan dari pernyataan wanita itu, kini Vina kembali dibuat melongo dengan pernyataan selanjutnya yang dilontarkan wanita tersebut.
"Pinter juga ya dia cari cowok. Udah cakep tajir lagi."
Vina hanya bisa tersenyum kecut menanggapi hal tersebut. Entah kenapa ada perasaan tak terima saat wanita tersebut mengira jika orang itu adalah kekasih Asni.
***