Senja sudah berlalu. Malam akan segera datang. Saatnya untuk menyiapkan makan malam. Meski hanya tinggal berdua dan jauh dari orangtua, Aku dan Asni tidak terbiasa makan di luar. Selain untuk menghemat pengeluaran, kebersihan makanan yang dimasak sendiri lebih terjamin. Jadilah setiap hari kami bergantian menyiapkan makanan. Ya, walaupun terkadang kami juga harus membeli makanan di luar. Terutama di saat - saat rasa malas melanda atau pekerjaan yang sedang menumpuk.
"Mau makan apa kita malam ini?" tanyaku sembari membuka kulkas untuk mengecek bahan makanan yang tersedia.
"Di kulkas ada apa aja?" sahut Asni sambil melirik sebentar ke arah kulkas lalu kembali melangkah menuju westafel. Sepertinya dia mau mencuci piring bekas sarapan yang tidak sempat dicuci pagi tadi.
"Daging ayam, ikan mujahir, telor, ikan teri Medan, sawi..." aku mulai mengabsen satu persatu bahan makanan yang tersedia di kulkas.
"Mujahir aja." Jawab Asni cepat sebelum aku selesai mengabsen bahan apa saja yang tersedia di kulkas.
"Mujahir digoreng kering kayaknya enak." aku mengangguk setuju. Mujahir goreng ditambah sambal dan tumis kangkung sepertinya perpaduan yang pas menurutku tapi entah dengan Asni. Karena yang memakan masakan ini kami berdua aku harus meminta pendapatnya bukan?
"Sayurnya apa, As?"
"Oh iya, ada kangkung kan di kulkas?"
Aku tersenyum lalu mengangguk. Asni dan aku memang mempunyai selera yang hampir sama jadi tidak usah heran jika dia juga menginginkan hal yang sama denganku.
"Ya udah itu aja. Ikan mujahir goreng sama tumis kangkung aja. Kayaknya cocok."
"Oke."
Aku pun mulai mengeluarkan ikan mujahir dari dalam kulkas, menyerahkannya kepada Asni untuk diolah. Setelah itu aku mengeluarkan kangkung dan beberapa bumbu yang sekiranya akan kami butuhkan untuk memasak menu makan malam kali ini.
"Eh iya, nasi masih ada gak, As?"
"Ada. Siang kan lo gak makan di rumah. Jadi masih ada lah."
"Eh iya. Gue lupa." Aku tersenyum kecil.
Kalian pasti tahu kenapa aku tidak makan di rumah siang tadi. Itu semua karena Mr Dean yang terhormat itu. Entah apa yang ada di benaknya sehingga ia mengira aku akan luluh hanya dengan seporsi makan siang. Ya, walupun kuakui makanan yang ia kirimkan cukup lezat tapi kembali lagi masa iya aku segampangan itu. Disogok dikit langsung luluh. Jadilah akhirnya aku memberikan uang seratus ribu untuk uang ganti rugi makanan yang katanya ia masak sendiri itu. Ya, meskipun ia pada awalnya menolak uang yang kuberikan dengan dalih ikhlas mengirimkan makanan itu untukku.
Bukannya aku tidak bersyukur dan tidak menghargai usahanya. Hanya saja aku tidak segampang itu berubah pikiran. Sudah kubilang kan sifat keras kepala Daddy menurun padaku?
"Vin, gue boleh nanya gak?"
Aku yang saat itu sudah mulai sibuk mengupas bawang merah sontak menoleh. Menatap Asni yang sudah terlihat sibuk dengan jeruk nipis di tangannya. Sepertinya jeruk nipis itu akan ia gunakan untuk menghilangkan bau amis pada ikan mujahir tersebut.
"Tumben? Biasanya juga langsung nyerocos aja tuh bibir." jawabku dengan mata memicing.
"Kecuali ada sesuatu yang serius yang pengen lo tanyain ke gue." sambungku yang dibalas senyuman tipis olehnya.
Bertahun - tahun mengenal Asni membuatku mengetahui kebiasaannya. Dia akan meminta izin terlebih dahulu jika menurutnya sesuatu yang akan ia bicarakan itu adalah hal - hal yang cukup serius dan sensitif.
"Lo emang sahabat gue yang paling ngertiin gue deh Vin. Lo tau aja kalau gue mau ngomong serius sama lo." Asni tersenyum lebar sembari mengacungkan jempolnya ke atas.
"Ya ialah As. Secara gue kenal lo itu gak sehari dua hari."
"Eh, tapi tunggu! Jangan bilang lo mau pinjam duit? Kalau iya sorry to say ya As, kali ini gue gak bisa bantu. Lo tau sendiri kan gaji gue gak seberapa. Secara gue cuman guru pengganti gak kayak lo yang guru tetap dan senior."
Sejauh yang ku ketahui, masalah terberat yang saat ini dihadapi Asni adalah masalah uang. Beberapa hari yang lalu Asni mengeluhkan tentang kondisi keuangannya yang menipis karena baru saja membayarkan uang kuliah adiknya dan membayar uang SPP adiknya yang masih duduk di kelas 9.
Salah satu sisi positif yang dimiliki Asni yang membuatku kagum padanya adalah tingkat kepeduliannya terhadap keluarganya. Setiap bulan ia harus rela menyisihkan sebagian gajinya untuk dikirimkan kepada orangtuanya di kampung. Menjadi anak sulung dari tiga bersaudara membuatnya harus mengemban tanggung jawab membantu meringankan beban kedua orangtuanya.
Penghasilan ayahnya sebagai seorang guru dan ibunya yang berjualan sayur keliling tidak cukup untuk membiayai satu adiknya yang kuliah di jurusan hukum, sedangkan yang satunya lagi duduk di kelas 9. Dan sebagai anak yang bertanggung jawab dan satu - satunya anak yang sudah memiliki penghasilan, jadilah Asni yang membantu mencukupi kebutuhan adik - adiknya.
"Yeee, siapa juga yang mau pinjam duit sama lo? Secara lo sekarang kan kere." sahut Asni dengan bibir mencebik.
Alih - alih tersinggung, aku hanya bisa tertawa kecil menanggapi ucapan Asni. Apa yang ia katakan memang benar. Gajiku dari tugasku sebagai guru pengganti sementara di SD Mutiara memang tidak banyak. Meski demikian aku masih bisa bertahan hidup dari uang yang jumlahnya bahkan tidak ada separuhnya dari gaji yang kuterima saat menjadi dokter anak di salah satu rumah sakit swasta di Medan. Beruntung aku masih punya uang tabungan yang kuperoleh dari pekerjaanku sebelumnya. Dengan demikian aku tidak terlalu mengalami kesulitan dalam hal keuangan.
"Terus lo mau nanya apa kalau begitu?"
Untuk beberapa saat Asni hanya diam saja. Pandangannya terlihat fokus ke baskom yang berisi ikan sedangkan tangannya sibuk menaburkan garam pada ikan mujahir tersebut. Barulah setelah pekerjaannya selesai ia lalu Asni mulai menarik kursi lalu duduk di depanku.
"Vin, lo udah berapa lama sih di Tangerang?" ujar Asni terlihat begitu serius.
Aku cukup yakin pertanyaan tersebut bukan pertanyaan biasa. Meski terlihat sederhana tapi aku yakin ada maksud tersembunyi dari pertanyaannya itu.
"Kenapa? Lo udah bosan nampung gue di sini?" sahutku sengaja menunjukkan raut tersinggung untuk menggodanya.
Dan benar saja. Asni langsung menyahut dengan nada tak santai.
"Mulut kok asal bunyi!"
"Santai aja kali gak usah ngegas!" balasku sambil berdiri untuk mengambil beberapa bahan tambahan dari dalam kulkas.
"Lagian lo ngomong gak pakai dipikir. Gue kan cuman nanya!" balas Asni masih saja tak terima aku menjahilinya.
"Ya elah baru dipancing dikit udah ngegas. Woles neng! Gue sengaja godain lo dan ya seperti biasa Lo terpancing." Dapat kulihat dari ekor mataku Asni berdecak kesal.
"Dua bulan lebih kayaknya ada." ujarku sembari meletakkan bahan yang baru saja aku ambil dari dalam kulkas. Meletakkannya di atas meja lalu kembali duduk. Kali ini aku menatap Asni yang sudah beranjak berdiri menghampiri kompor dengan tatapan menerawang ke depan. Bayangan hari pertama aku menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta melintas di benakku. Waktu itu hujan begitu lebat. Asni yang saat itu datang menjemputku di bandara menggunakan sepeda motornya terpaksa pulang tanpa memboncengku seperti rencana awal karena akhirnya aku naik taksi. Ya, tentunya dengan Asni sebagai penunjuk jalan.
Aku masih ingat gerutuan Asni saat itu. "Gue basah kuyup, lo enak - enakan duduk manis di dalam taksi."
"Vin, sory nih ya. Lo ngerasa aneh gak sih?" tanya Asni tanpa melihat ke arahku. Wanita itu sudah sibuk menyiapkan wajan dan juga minyak goreng.
"Aneh kenapa?" Aku meliriknya sebentar lalu kembali fokus pada kangkung yang mulai aku siangi.
"Lo kan udah dua bulan lebih ya kabur dari rumah?" Aku mengangguk. Mengiyakan perkataan Asni tanpa tahu kemana arah pembicaraan Asni kali ini.
"Bokap lo kan pengacara kondang. Jaringannya luas. Kenalannya di mana - mana. Masa iya sih udah dua bulan, bokap lo gak tau lo kabur kemana? Secara kan dia bisa lapor polisi atau..." Asni terlihat menggantungkan kalimatnya. Mungkin ia merasa tidak enak padaku.
Aku tersenyum kecut. Dua puluh lima tahun lebih hidup di keluarga Runggu Simbolon membuatku mengenal betul siapa Daddy. Mana mungkin ia mau mengorbankan nama baiknya hanya untuk mencari anak yang kehadirannya sama sekali tidak pernah ia harapkan. Berurusan dengan pihak berwajib sama artinya membuka celah orang luar mengetahui kondisi keluarganya yang jauh dari kata baik - baik saja.
"Gue gak seberharga itu As. Mana mungkin Daddy mau lapor polisi untuk nyari gue? Secara dia lebih mentingin nama baiknya sebagai pengacara kondang daripada gue. Apa kata dunia kalau tau anak dari pengacara kondang Runggu Simbolon kabur dari rumah? Yang ada nih ya, bokap gue bisa jadi headline news di surat kabar." ujarku berusaha terlihat santai menyembunyikan gemuruh di dalam dadaku.
"Lagian nih ya As, gue yakin Daddy pasti sujud syukur saat tau gue kabur dari rumah. Secara dia gak perlu lagi merasa kesal tiap lihat wajah gue."
"Gak mungkinlah Vin. Mana ada orangtua yang senang anaknya kabur dari rumah? Gimanapun lo itu anak kandungnya sendiri Vin, jadi gak mungkinlah Daddy lo itu kayak yang lo ucapin barusan. Gue yakin sekarang dia lagi pusing banget nyariin lo."
Aku tersenyum kecut. "Lo itu kayak gak tau Daddy aja sih As? Emang pernah lo denger Daddy nyariin gue pas gue pulang telat? Gue gak pulang berhari - hari aja dia gak pernah nanya gue kemana?"
"Gue itu bukan kak Elsa si anak emas Daddy yang telat dikit langsung dicariin As." Aku mulai bangkit berdiri membawa bahan - bahan yang telah selesai aku siapkan ke westafel untuk dicuci.
"Ngenes amat sih nasib lo ya, Vin?" aku berdecak kesal. Meski apa yang dikatakan oleh Asni adalah kebenaran tapi entah kenapa aku tetap kesal mendengarnya.
"Atau mungkin nyokap lo udah ngasih tau Daddy lo kali, Vin? Makanya lo gak dicariin lagi."
"Iya juga sih As. Tapi kayaknya gak mungkin deh. Secara Mom pasti paham kalau Daddy tau gue di mana pasti Daddy langsung bawa gue pulang saat itu juga. Daddy kan niat banget mau jodohin gue sama tuh orang."
"Permisi paket!"
Obrolanku dan Asni terputus karena seruan di balik pintu.
"As, lo pesan barang?"
"Gak. Lo kali?"
"Yee.. ditanya malah balik tanya. Ngapain gue nanya lo kalau gue sendiri pesan?"
"Udah cuekin aja! Paling juga tetangga sebelah kali. Kalau gak paket nyasar."
"Permisi paket!"
"Eh, tunggu deh As! Kayaknya gue kenal suara ini." Aku menajamkan telingaku ketika seseorang di balik pintu itu kembali berseru dengan begitu nyaring.
"Mau apa lagi sih itu orang?"
"Siapa Vin? Lo kenal?"
"As, gue mau ke kamar dulu. Lo tolong bukain pintu! Kalau itu orang nyariin gue, tolong bilangin ke dia kalau gue gak ada di rumah. Terserah lo mau ngasih alasan apa."
"Eh, ada apaan sih? Siapa orang itu? Kok lo harus ngumpet segala?"
"Udah gak usah banyak tanya nanti gue jelasin! Sekarang lo bukain dulu itu pintu, gue mau kabur. Bye!"
Tanpa menunggu jawaban Asni, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk bersembunyi. Rasanya aku masih begitu enggan untuk sekedar melihat wajah orang di balik pintu itu. Kata - katanya yang tajam dan terkesan mengancam tadi siang masih terngiang di telingaku.
***