Chereads / Pariban Aishite Imasu / Chapter 25 - #25

Chapter 25 - #25

Senyum pria itu mengembang. Matanya berbinar hanya karena membaca pesan singkat yang masuk di salah satu aplikasi ponselnya.

Barang sudah mendarat di TKP dengan selamat Pak.

Begitu kira - kira isi pesan yang baru saja ia terima dari seseorang yang ia mintai tolong untuk menghantarkan barang titipannya kepada seseorang yang berada di dalam gedung berlantai empat itu. Sebuah gedung yang dijadikan tempat untuk anak - anak tingkat sekolah dasar menuntut ilmu. Termasuk putera semata wayangnya yang ia beri nama Randy Constantine.

''Let the games begin, Darling!'' Pria itu menyeringai di balik senyumnya lalu mengirimkan sebuah pesan yang berisi ucapan terimakasih kepada seseorang di sana. 

"Sejak awal kau adalah milikku dan selamanya akan begitu. Tidak akan kubiarkan siapapun merebutnya dariku!" Matanya menyorot tajam ke arah gedung tersebut. Kedua telapak tangannya mengepal seiring dengan semangatnya yang membara. Tekadnya sudah bulat dan tak akan dibiarkannya goyah sedikitpun. Meski perjuangannya tidak akan mudah ia berjanji tidak akan pernah mundur. Walaupun pada kenyataannya nanti mungkin saja ia tidak bisa menepati janjinya tersebut.

Apa yang dilakukannya hari ini tidak terlepas dari kejadian dua hari lalu. Sebuah kejadian yang menyadarkan dirinya bahwa ia begitu takut kehilangan gadis tersebut. Hatinya berkata bahwa ia harus waspada dan segera bertindak cepat jika tidak ingin menyesal di kemudian hari.

Jangan tanyakan sejak kapan gadis itu berhasil mengisi hatinya karena ia tidak akan memberikan jawaban apapun. Setidaknya untuk saat ini dan beberapa waktu ke depan.

Awalnya ia begitu senang saat gadis itu menghubunginya dua hari yang lalu. Namun, rasa senang itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rasa senang itu tergantikan dengan rasa kesal dan cemas. Binar matanya yang tadinya begitu cerah hanya karena kata 'halo' yang terucap dari mulut gadis itu seketika berubah redup mendengar tujuan dari gadis itu menghubunginya.

Hatinya memanas mendengar gadis itu akan pergi bersama seorang pria ke salah satu event di daerah Kemayoran Jakarta. Rasa kesalnya bertambah saat putera semata wayangnya itu juga ngotot ingin ikut. Dan pada akhirnya ia pun mengijinkan walaupun sesungguhnya dengan hati yang tidak ikhlas.

Membayangkan ketiganya berjalan berdampingan bak keluarga kecil yang bahagia sudah cukup membuat dadanya terasa sesak. Ditambah lagi kemungkinan modus - modus yang bisa saja dilancarkan oleh pria bermata sipit itu sepanjang kebersamaan mereka hari itu menambah kekesalan di hatinya.

Sebagai seorang pria, ia yakin betul kalau pria bermata sipit itu sesungguhnya tengah melancarkan aksinya untuk mendekati gadis itu. Beberapa kali bertemu di event yang diadakan pihak sekolah membuatnya tak sengaja melihat interaksi antara gadis itu dan pria tersebut. Dan ia bisa memastikan bahwa pria itu tertarik pada gadis berdarah campuran itu. Ya, meski ia akui gadis itu tidak menunjukkan hal yang sama. Tapi tidak ada salahnya bukan untuk waspada?

Pria beranak satu itu begitu khawatir jika benih - benih cinta tumbuh seiring kebersamaan keduanya yang begitu intens. Apalagi keduanya bekerja di bawah atap yang sama. Bisa saja kan perasaan itu tumbuh tanpa bisa dicegah? Bukankah pepatah jawa yang mengatakan bahwa witing tresno jalaran soko kulino itu juga mendukung argumen ayah dari anak laki - laki bertubuh tambun itu.

Kecemasannya itu berujung tindakan implusif yang ia lakukan. Ia sampai meninggalkan pekerjaannya mengurus pembukaan salah satu cabang restorannya di daerah Surabaya dan terbang hari itu juga ke Jakarta. Satu hal yang ia inginkan saat itu adalah memastikan bahwa ketakutannya itu tidak menjadi kenyataan.

Setibanya di bandara Soekarno Hatta, pria yang memiliki nama lengkap Dean Constantine itu tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan ke rumah kontrakan gadis itu. Ia tidak ingin membuang - buang waktu dengan pulang ke rumah terlebih dahulu. Lagi pula tampilannya kini masih layak untuk sekedar bertamu ke rumah seorang gadis. Kemeja merah bata yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam yang digunakan saat bekerja tadi masih membuatnya terlihat menawan meski sudah tidak serapi saat ia mengenakannya pagi tadi. Jadi untuk apa ia pulang ke rumah?

Sementara itu seorang wanita cantik yang baru beberapa bulan bergabung di SD Mutiara masih setia termenung di balik meja guru kelas 1C. Kedua manik miliknya masih fokus menatap paper bag yang berada di atas meja tanpa berniat untuk menikmati isinya.

Entah sudah berapa menit ia habiskan untuk merenungkan alasan dari pria menyebalkan itu memberikan bekal makan siang seperti ini. Namun, ia belum juga menemukan jawaban yang masuk akal kecuali satu hal yaitu sogokan untuk permintaan maaf. Hal itu mungkin saja terjadi mengingat betapa keterlaluannya sikap pria itu sore itu. Mengingatnya saja membuat Vina kembali naik darah.

Vina yang sore itu baru saja memejamkan matanya untuk beristirahat sebentar menghilangkan penat di tubuhnya terpaksa kembali bangun disaat seseorang mengetuk pintu rumahnya. Andai saat itu Asni tidak sedang berada di kamar mandi untuk membuang hajat, Vina pasti memilih membiarkan sahabatnya itu yang membukakan pintu. Sementara dirinya lebih baik ikut bergabung bersama Randy yang sudah lebih dahulu pergi berselancar ke alam mimpi.

Alangkah kagetnya dirinya menemukan pria itu di balik pintu. Pria yang sama sekali tidak ada dalam bayangannya akan bertamu hari ini. Masih hangat di dalam ingatannya kalau pagi tadi pria itu mengatakan kepada Randy bahwa ia belum bisa pulang dari Surabaya hingga beberapa hari ke depan. Lalu sekarang tiba - tiba pria itu muncul di depan rumah begitu saja. Jadi hal yang wajar jika Vina merasa sedikit syok.

"Saya bukan hantu."

Kalimat itu merupakan kalimat pertama yang keluar dari mulut Dean saat itu dengan tampang datar dan tatapan matanya yang menusuk. Membuat Vina yang masih berusaha mencerna apa yang dilihatnya ternganga dibuatnya.

"Saya gak disuruh masuk nih? Tamu kok dianggurin! Dasar gak sopan."

Mulut yang belum sempat mengatup itu semakin terbuka lebar mendengar kalimat bernada sinis dari pria itu. Vina tak percaya jika pria di depannya ini mampu mengucapkan kalimat - kalimat seperti itu.

Dean yang ia kenal selama ini bukanlah pria yang kasar. Pria itu adalah tipikal pria yang hangat dan perhatian. Ya, walaupun sedikit genit menurutnya. Melihat Dean dalam versi ini membuat Vina sedikit bertanya - tanya apakah pria di depannya ini adalah Dean yang sama seperti yang ia kenal selama ini? Kalau iya, lalu apa gerangan yang membuat pria itu bisa berubah drastis seperti ini dalam hitungan hari? Ataukah mungkin sosok seperti inilah sosok Dean sebenarnya? Memikirkan hal itu membuat kepala Vina berdenyut nyeri.

"Kok Bapak ada di sini?"

Bukan Vina namanya jika tak membalas perbuatan pria itu. Bukannya mempersilahkan pria itu masuk, Vina justru menatap pria itu dengan tatapan yang sama. Sinis.

Seakan ingin menabuh genderang perang pria itu justru membuang muka dan membiarkan pertanyaan Vina berlalu tanpa jawaban. Melihat hal itu Vina semakin murka. Ingin rasanya ia mencakar wajah mulus itu dengan kedua tangannya. Melampiaskan rasa kesal yang melanda.

"Eh, ada tamu rupanya. Kok gak disuruh masuk, Vin?"

Beruntung saat itu Asni datang sebelum Vina merealisasikan niatnya melukis wajah mulus pria itu dengan cakaran kuku - kuku cantiknya. 

"Hai Miss Asni, apa kabar?"

Vina mengerjapkan matanya berulangkali. Tangannya menggosok - gosok kedua telinganya. Ia tak percaya orang ini adalah orang yang sama dengan yang berbicara dengannya sebelumnya. Pria itu tersenyum lebar menyapa Asni dengan ramah. Sedangkan dengannya pria itu berlaku sebaliknya.

Mengetahui bahwa keberadaannya sama sekali tidak dibutuhkan di situ, Vina memutuskan untuk meninggalkan kedua orang itu. Tanpa kata ia menatap sengit ayah muridnya itu lalu berbalik badan meninggalkan Dean dan Asni yang saling melemparkan pandangan.

"Ihh, Bapak! Itu anaknya baru tidur. Jangan digangguin apa! Kasihan!"

Vina yang baru saja keluar dari kamar untuk mengecek ponselnya yang tadi berbunyi saat mulai melangkah meninggalkan kedua orang itu di depan pintu, semakin kesal melihat Dean. Bagaimana tidak? Dengan tanpa merasa bersalah pria itu menghujami Randy dengan ciuman. Membuat bocah gembul itu menggeliat tak nyaman karena tidurnya terganggu.

"Cerewet!"

"Hah?"

Bukan hanya Vina yang menatap pria itu tak percaya tapi juga Asni yang datang dari dapur membawa segelas kopi.

"Anak - anak saya, kenapa situ yang repot? Mau saya cium, mau saya peluk atau apapun yang saya lakukan, situ gak punya hak untuk larang - larang! Situ cuman guru anak saya bukan ibunya, jadi jangan bertindak seolah-olah kau adalah orang yang melahirkannya!"

Oh astaga.

Kedua mata Vina dan Asni membeliak tak percaya. Dan untuk kesekian kalinya mulut keduanya menganga karena syok. Ada rasa yang tidak biasa yang ia rasakan mendengar rentetan kalimat yang terucap dari bibir pria itu.

Andai Vina tidak memiliki pengendalian diri yang bagus mungkin pria itu pulang tinggal nama. Hal itu tidak terlepas dari kehidupannya yang terbiasa diperlakukan seperti itu sejak kecil.

Tanpa sepatah kalimat balasan Vina menatap pria itu sebentar lalu kembali masuk ke dalam kamar dan tak keluar sama sekali hingga pria itu pergi dari rumahnya. Membiarkan Asni mengurus tamu tak tau diuntung itu seorang diri. Meski terbiasa diperlakukan seperti itu bukan berarti ia kebal dari rasa sakit. Jadi untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkannya lebih baik ia menarik diri.

***