"Jadi, ada masalah penting apa yang perlu kita bicarakan sampai harus keluar kelas, Miss Vina?" Dean mencecarku tak sabaran begitu kami berada di luar kelas.
Aku menoleh. Menatap pria itu sekilas lalu mengedarkan pandanganku mencari tempat yang cocok untuk berbicara.
"Sabar Pak! Ngobrolnya di sana aja ya, Pak?"
Dean melirik tempat yang kutunjuk lalu mengangguk. Tanpa berbicara, ia lalu mengikuti langkahku menuju kursi besi panjang yang ada di ujung lorong kelas.
"Jadi, bolehkah sekarang Miss Vina mulai menjelaskan sekarang ? Rasanya saya bisa mati penasaran kalau harus menunggu lagi." Dean berseloroh sembari mendaratkan tubuhnya di kursi besi itu.
Aku memutar bola mataku jengah. Rasanya pria itu cukup berlebihan. Setelah menghela nafas panjang aku menatap pria bermata biru terang itu sejenak sebelum mengalihkan pandanganku pada saku blezer yang kukenakan. Memasukkan tanganku ke dalamnya dan mulai menjelajah. Mencari sesuatu di sana. Aku menghela nafas lega saat menemukan apa yang kucari. Membawanya ke luar dari saku blezer itu lalu menyerahkannya pada pria itu.
"Apa ini?"
Untuk sesaat Dean membiarkan tanganku menggantung di udara. Matanya menyipit menatapku dan benda itu bergantian.
"Diterima dulu Pak ! Kalau mau silahkan langsung dibuka saja Pak biar gak mati penasaran!"
Meski terlihat ragu, ia akhirnya menerima benda yang merupakan sebuah amplop berwarna putih polos itu tapi tidak membukanya.
"Oh iya, bagaimana makan siangnya ? Kamu suka? Itu saya masak sendiri lho." Pria itu bercerita dengan senyum yang begitu lebar. Membuatku terpaku dibuatnya. Manik hitam legam milikku beradu dengan mata biru cerah yang menampilkan binar bahagia itu dengan lekat. Mencari jawaban atas pertanyaan yang kini melintas di kepalaku.
Apa benar pria itu yang menyiapkan sendiri makanan yang ia kirimkan tadi?
Rasanya sedikit tidak mungkin. Mengingat pria itu memiliki restoran dengan chef yang pastinya sudah terpercaya. Tentu hal mudah baginya untuk meminta chef di restorannya untuk membuatkan makanan seperti ini. Lagi pula untuk apa ia harus repot - repot membuatnya sendiri jika masih bisa mengandalkan orang lain?
Namun, sebesar apapun aku menolak percaya tapi tidak bisa merubah apapun. Mungkin apa yang dikatakan oleh Dean memang benar adanya mengingat tidak kutemukan setitikpun kebohongan di matanya.
Ada setitik rasa yang menyelusup masuk ke dalam relung hatiku mengetahui hal itu. Rasa yang tak bisa kugambarkan dengan kata - kata karena baru kali ini aku merasakannya. Seumur hidupku baru kali ini ada seorang pria yang mau repot - repot membuatkan makanan untukku. Bahkan ayah kandungku saja tidak pernah melakukan itu untukku. Jangankan memasak untukku, membelikan makanan khusus untukku saja tidak pernah. Bolehkah aku merasa spesial sekarang?
Tidak...Tidak...
Aku tidak bisa merasa spesial secepat ini! Bisa saja ia melakukan hal itu untuk menebus kesalahan yang ia lakukan sebelumnya. Ya... Pasti itu alasannya.
"Terima kasih banyak atas makan siangnya Pak."
Apapun alasannya melakukan hal itu, sebagai orang yang sudah menerima sesuatu dari orang lain sudah selayaknya aku mengucapkan terima kasih. Pria itu tersenyum lebar. Sepertinya dia begitu senang mendengar apa yang ku sampaikan barusan. Namun, senyum itu mendadak luntur kala kalimat berikutnya meluncur bebas dari bibirku.
"Tapi lain kali gak usah repot - repot ngirimin saya makan siang lagi karena saya sudah nyiapin bekal sendiri dari rumah."
"Eh, saya gak repot kok Miss. Tenang aja! Untuk Miss Vina saya rela kok harus repot juga." sela Dean cepat.
"Maaf Pak, tolong jangan menyela! Saya belum selesai bicara!" aku menggeram tertahan karena tidak mungkin bukan jika aku meninggikan suaraku saat ini. Meski aku begitu ingin melakukannya pun, hal itu tetap tidak dapat kulakukan mengingat tempat kami berada saat ini sama sekali tidak mendukung untuk melakukan hal itu.
Begitu kentara terlihat Dean terkejut. Keningnya mengernyit. Matanya menyipit. Menatapku tak percaya. Mungkin beragam pertanyaan kini datang menghampiri otaknya.
"Di dalam amplop itu ada uang seratus ribu. Silahkan Bapak lihat!"
Mendengar hal itu Dean langsung mengalihkan pandangannya ke sebuah amplop yang sedari tadi ia pegang lalu dengan sedikit tergesa jemari pria itu membukanya.
"Ini uang apa, Miss Vina?"
Untuk kesekian kalinya dalam beberapa menit terakhir Dean terlihat mengernyitkan keningnya. Kemudian mata biru terang itu menyorot manik hitam milikku dengan begitu menuntut.
"Uang buat bayar makanan yang Bapak kirimkan tadi." jawabku enteng. Namun, tidak dengan pria itu. Ia menatapku tak percaya. Mulutnya terbuka siap untuk berbicara tapi kembali tertutup kala aku memutuskan untuk melanjutkan kalimat yang masih tertahan di tenggorakanku sebelumnya.
"Saya rasa uang itu lebih dari cukup tapi kalau uang itu masih kurang, Bapak bisa bilang ke saya kurangnya berapa. Saya akan segera tambahkan Pak."
"Vin..." Dean berujar lirih.
Embel - embel Miss di depan namaku yang harus digunakan untuk memanggilku ketika berada di dalam lingkup pekerjaan hilang entah kemana. Sepertinya Dean lupa atau memang sengaja melupakan jika kami saat ini berada di lingkup yang mengharuskan menggunakan panggilan formal. Tatapan matanya begitu sendu. Namun, aku tak peduli. Amarahku masih menguasai diriku sehingga rasa kasihan yang timbul sesaat yang lalu dapat kuredam agar tidak kembali muncul.
"Setelah ini tolong jangan kirim makanan ke saya lagi ya, Pak!"
"Dengerin saya dulu, Vina!" Dean menggeram. Tangannya terulur siap menyentuh tanganku yang langsung kutarik dan kusembunyikan di dalam saku blezer. Sebelum pria itu nekat dan melakukan hal - hal yang menimbulkan tanda tanya oleh orang - orang yang ada di sekitar kami, lebih baik menghindar bukan?
"Saya gak sanggup harus bayar lebih setiap hari Pak. Saya hanya guru baru di sini, gaji saya tidak cukup banyak untuk bisa makan enak dari restoran terkenal setiap hari. Jadi mohon agar Bapak maklum!"
"Tapi saya gak pernah minta bayaran apapun, Vin? Saya ikhlas." sahut Dean dengan suara yang tak kalah lirih dari sebelumnya. Kupikir amarah pria itu akan meledak mengingat apa yang kulakukan ini memang sedikit keterlaluan. Akan tetapi aku salah. Tak sedikitpun pria itu meninggikan suaranya. Yang ada hanya tatapan sendu dan wajah frustasinya. Membuatku merasa bersalah walau hanya sebentar karena setelahnya kalimat yang ia ucapkan beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku.
"Maaf Pak, saya rasa tidak ada lagi yang ingin saya bicarakan dengan Bapak. Terima kasih untuk waktunya."
Tanpa menunggu jawaban darinya aku pun bangkit berdiri. Namun, di saat kakiku hendak melangkah pria itu mengatakan sesuatu yang mau tak mau membuatku mengurungkan niatku.
"Kamu masih marah sama saya soal kemarin?" Dean berdiri dan mulai menipiskan jarak denganku. Membuatku mau tak mau melangkah mundur. Meski saat ini lorong ini dalam keadaan sepi tapi ada CCTV yang memantau semua yang kami lakukan. Dan aku tidak ingin membuat masalah yang membuatku bisa mendapatkan teguran dari kepala sekolah.
"Marah?" Dengan mata memicing aku menatap pria itu.
"Saya tau kamu pasti marah sama saya kan? Kata - kata saya kemarin memang keterlaluan. Saya gak bermaksud menyinggung kamu. Hanya saja saya terlalu kalut saat itu. Jadi...."
"Tenang aja Pak! Tidak ada alasan untuk saya boleh marah sama Bapak. Apa yang Bapak ucapkan kemarin memang sedikit menyinggung saya tapi tenang aja saya udah maafin Bapak kok. Lagian gak ada juga gunanya saya marah. Toh apa yang Bapak ucapkan memang benar. Saya hanya gurunya Randy bukan?"
Bohong besar. Untuk hari ini aku berhasil menjadi pembohong. Mana mungkin aku bisa memaafkan pria ini segampang itu ? Meski apa yang dikatakannya semuanya benar tapi entah kenapa aku merasa terluka saat diingatkan kembali akan statusku.
"Justru saya yang harusnya minta maaf sama Bapak karena sudah lancang membiarkan Randy menganggap saya ibunya. Saya juga udah lancang meminta Randy memanggil saya Mami. Tapi tenang aja setelah ini saya akan coba memberikan pengertian kepada anak itu supaya bisa kembali seperti semula."
Terasa perih di hatiku saat mengucapkan hal tersebut. Bibirku bahkan bergetar saat mengucapkannya.
"Mulai saat ini saya juga akan mulai menjaga jarak dengan anak Bapak di luar konteks sekolah supaya Bapak gak terganggu. Pokoknya Bapak tenang aja, sebentar lagi semuanya akan kembali seperti sebelumnya."
Apakah bisa aku menjaga jarak dari Randy? Merenggut kebahagiaan anak itu disaat ia bisa merasakan kasih sayang layaknya seorang ibu dariku. Sekarang aku baru sadar akan apa yang dikatakan oleh Asni sebelumnya. Keputusanku untuk mengijinkan Randy menganggapku sebagai ibu dan mengijinkannya memanggilku Mami adalah keputusan yang terlalu terburu - buru. Apa yang terjadi dengan anak itu setelah ini? Hancur? Bisa jadi. Dan penyebabnya adalah aku. Membayangkannya saja aku tidak sanggup.
"Ya, kamu marah. Saya tau itu. Reaksi kamu sudah menunjukkan semuanya. Maafin saya Vin, saya..." Dean menggantung kalimatnya. Menatapku dengan tatapan frustasi.
"Cukup Pak! Saya rasa pembicaraan ini cukup sampai di sini!" ujarku tak ingin dibantah. Akan tetapi yang namanya Dean tidak akan menyerah begitu saja.
"Tidak...Tidak..." Dean menggeleng.
"Kita harus luruskan semua ini!"
"Maaf Pak, saya rasa tidak ada lagi yang perlu diluruskan. Semuanya sudah jelas. Terima kasih sudah menyadarkan saya akan posisi saya sebenarnya."
"Vin, tolong maafin saya!"
Bukannya aku tak menyadari suara itu begitu bergetar. Tatapannya saat memohon menyiratkan penyesalan yang mendalam. Akan tetapi lagi - lagi hari ini aku harus berkeras hati sebelum semuanya bertambah runyam seperti yang ditakutkan oleh Asni. Aku berjanji aku akan memperbaiki segalanya. Mengembalikannya ke posisi seperti sebelum aku datang merusaknya.
"Miss...Papi..."
Aku tersenyum ramah menyambut Randy yang dengan riang melangkah ke arah kami. Melihat senyum di wajah polos bocah laki - laki itu membuat dadaku bergemuruh. Sanggupkah aku melihat senyum itu hilang tanpa jejak dari wajah tampan itu?
***