''Miss sibuk gak hari ini ?'' ujar Junsen begitu aku bergabung bersamanya duduk lesehan beralaskan karpet. Aku yang memang tidak mempunyai kesibukan apa - apa hari ini kecuali mengurusi cucian yang menumpuk menggelengkan kepalaku. Senyum pria itu langsung mengembang membuat matanya yang sipit semakin tidak terlihat saja.
"Baguslah kalau gitu." Junsen menghela nafas lega. Pria itu mengangkat gelasnya, mendekatkannya ke bibirnya lalu menyesap kopi yang kuhidangkan tadi dengan perlahan. Satu hal yang membuatku heran adalah dalam setiap gerakan yang dilakukan pria itu kedua matanya tidak bergerak sama sekali. Pandangannya tertuju hanya kepada satu titik yakni diriku. Belum pernah aku mendapati Junsen menatapku sedemikian rupa. Dan lagi aku merasa tatapannya itu menyiratkan sesuatu yang entah apa artinya.
''Berhubung Miss gak sibuk, boleh gak saya minta tolong?'' Tanya Junsen lagi. Pria tersebut kemudian meletakkan gelasnya.
"Minta tolong apa dulu nih ?'' balasku dengan mata memicing curiga. Sebelum mengiyakan aku merasa perlu memastikan terlebih dahulu apa yang diinginkan oleh pria tersebut. ''Kalau saya bisa pasti saya bantu kok." lanjutku. Menurutku sebelum menolong orang lain kita juga harus memastikan kapasitas diri kita. Jangan sampai memaksakan diri yang berujung merugikan diri sendiri dan orang lain.
"Pasti bisalah Miss. Ini gak susah kok. Saya cuman minta tolong ditemenin ke Kemayoran."
"Kemayoran ? Tempat apa itu ? Ngapain ke sana ?''
Keningku mengerut membentuk beberapa lipatan. Sementara mataku menyipit menatapnya bingung. Jujur aku tidak tahu Kemayoran itu apa. Entah itu nama daerah atau mungkin nama gedung. Beberapa bulan tinggal di Tangerang belum cukup membuatku tahu banyak tentang Kota Tangerang ataupun daerah - daerah di sekitarnya.
"Itu lho Miss. Eh, tapi ngomong - ngomong ini kan di luar sekolah, kok kita ngobrolnya formal banget ya? Berasa kayak lagi di tempat kerja aja. Bisa gak sih panggilannya dirubah. Aku kamu gitu ? atau...manggil nama juga boleh ?'' Aku pun mengangguk setuju. Terserah Junsen mau menggunakan panggilan seperti apa yang penting masih dalam konteks sopan dan normal. Rasanya tidak salah bukan jika di luar konteks pekerjaan atau di luar tempat kerja kami menanggalkan panggilan Miss dan Sir.
"Aku kan pernah cerita ke kamu kalau aku punya niat beliin piano buat ponakanku." Entah kenapa aku merasa sedikit aneh saat Junsen mengubah panggilannya menjadi aku kamu. "Nah, hari ini tuh ada pameran alat musik di Kemayoran. Jadi aku pengen minta tolong kamu temenin aku ke sana."
Sebelumnya Junsen memang pernah bercerita kepadaku kalau dia ingin membelikan piano yang nantinya akan diberikan kepada keponakannya sebagai hadiah ulang tahun. Menurut cerita Junsen, keponakannya itu memang menyukai dunia musik dan pernah meminta untuk dibelikan piano. Namun, aku tak pernah menduga kalau pria tersebut akan melibatkanku dalam pembelian kado itu.
"Kenapa harus saya ?''
Berbeda dengan Junsen yang langsung nyaman merubah panggilan menjadi aku kamu dalam hitungan detik, sedangkan aku sepertinya masih butuh penyesuaian. Bibirku rasanya tidak nyaman merubah sebutan itu padahal sebelumnya aku terbiasa menggunakan aku kamu dengan orang - orang terdekatku. Entah kenapa satu sisi diriku seakan tidak terima jika aku dan Junsen menggunakan panggilan aku kamu. Mungkin hal itu terkait dengan hubungan kami yang tidak terlalu dekat.
"Ya, karena memang kamu adalah orang yang tepat." Sahut Junsen dengan sedikit menyeringai. Aku merasa ada makna terselubung dari kalimat yang diucapkan oleh Junsen.
"Kamu itu kan paham musik. Jadi gak salah kan kalau aku minta tolong sama kamu buat bantu milihin ? Aku yakin kok kalau kamu bisa kasih masukan ke aku.'' ujar Junsen mencoba meyakinkanku. Sepertinya ia menangkap keraguan yang tersirat di wajahku. Jujur aku merasa sedikit tersanjung saat pria tersebut menganggapku orang yang tepat untuk dimintai masukan meski aku sendiri merasa tidak yakin akan kemampuanku.
Hufft...
Aku menghela nafas pelan. Meluruskan kakiku yang mulai terasa keram sebentar lalu melipatnya kembali.
"Saya itu gak ngerti soal musik Jun.''
Aku jujur dalam hal ini. Aku memang tidak terlalu paham tentang alat musik meski kuakui aku begitu tertarik dengan dunia musik. Sejak kecil Mom sudah mengenalkanku kepada alat musik seperti piano dan gitar jadi tidak perlu heran jika aku bisa menggunakan kedua alat musik itu. Tapi untuk memberikan informasi lebih mengenai alat musik sepertinya aku kurang kompeten. Masih ada orang lain yang lebih pro menurutku.
''Kenapa gak ajak Sir Tomy aja? Dia pasti pro tentang alat musik. Kalau saya mah cuman tau kulit - kulitnya doang." Aku mencoba memberi masukan agar Junsen mengajak Sir Tomy yang pasti tahu banyak tentang alat musik mengingat pria tersebut merupakan salah satu guru musik di SD Mutiara.
"Enggak ah, masa iya sama Sir Junsen. Ntar kalau ada yang lihat kami jalan berdua dikira aku doyan terong lagi." Junsen bergidik ngeri sementara aku menatapnya geli kala membayangkan kedua orang itu menjadi sepasang kekasih.
"Kalau sama kamu sih gak masalah, Vin." Pria itu menyeringai jahil.
Apa sih ? Gak jelas. Aku memutar bola mataku tanpa berniat menanggapi perkataannya.
''Kapan lagi coba aku punya kesempatan jalan sama cewek cantik kayak kamu? Lagian nih ya Vin, pepatah kan bilang sambil menyelam minum air. Nah sekarang aku lagi mencoba menerapkan pepatah itu." seru Junsen sambil terus menebar senyum di wajahnya.
"Hah ?''
Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku untuk menanggapi perkataan Junsen yang menurutku sarat akan makna. Aku sama sekali tak berniat untuk memberikan tanggapan lebih karena takut dikira kegeeran.
"Jadi gimana ? Kamu mau gak ?'' tanya pria itu. Menatapku dengan penuh harap.
Aku terdiam sejenak sembari mengetuk jari telunjuk tangan kananku ke lantai. Hal yang selalu kulakukan setiap kali aku bimbang dalam mengambil keputusan.
"Kami pulang !''
Belum sempat menjawab pertanyaan Junsen, suara Asni mengintrupsiku. Aku yang mendengar suara Asni langsung berdiri lalu melangkahkan kakiku menyambut Asni dan Randy yang terlihat sudah tiba di teras.
"Eh anak Mami udah pulang ? Beli apa tadi, Nak ?''
Aku tersenyum lebar menyambut Randy.
"Nasi uduk Mi.'' Jawab Randy sambil membuka sepatunya lalu meletakkannya di atas rak sepatu yang ada di sisi kanan pintu masuk.
"Nih." Tanganku terulur menerima kantong kresek hitam yang disodorkan Asni kepadaku lalu mengintip isinya. Ada empat bungkus makanan yang kemungkinan besar berisi nasi uduk seperti yang dikatakan oleh Randy.
"Oooo... Kamu udah sarapan belum tadi di rumah?"
"Udah tapi dikit." ujar Randy malu - malu lalu menundukkan kepalanya. Semburat merah yang muncul di kedua pipinya dan matanya yang melirikku dan Junsen yang entah sejak kapan berdiri di sampingku membuatku gemas.
"Ihhh...lucunya anak Mami." Aku mencubit pelan pipi gembulnya yang semakin memerah ketika Asni dan Junsen tertawa melihat tingkahnya yang menggemaskan.
"Ya udah kamu ikut makan lagi kalau gitu biar pipi gembulnya ini gak hilang." Aku menggandeng tangan Randy lalu mengajaknya masuk.
"Sir ikut sarapan juga ya ? Ini Asni belinya banyakan."
"Tapi..."
"Udah gak usah malu. Gak baik lho kalau nolak rejeki."
Dengan sedikit paksaan akhirnya pria itu mau bergabung dengan kami menikmati sarapan nasi uduk yang dibeli oleh Asni dan Randy.
"Jadi gimana ? Kamu mau gak nemenin aku ?"
Setelah selesai sarapan Junsen kembali menanyakan pertanyaan yang sebelumnya belum sempat jawab.
"Eh, tunggu ! Aku ? Kamu ? Kayaknya gue ketinggalan nih. Ada hubungan apa lo berdua ?" Asni menatapku dan Junsen bergantian dengan tatapan curiga. Sementara Randy tidak tertarik ikut dalam obrolan. Anak itu begitu asik menonton film kartun melalui televisi.
Sepertinya aku harus mengacungkan jempol untuk tingkat kepekaan Asni yang tinggi. Perubahan sekecil ini pun langsung ia sadari.
"Ya elah kebiasaan lo negatif thinking mulu. Gue gak ada apa - apa sama Junsen. Jadi tolong buang pikiran negatif lo itu jauh - jauh !" Aku mendengus kesal.
"Yakin lo ?" Asni memicingkan matanya tak yakin dengan apa yang aku katakan barusan.
"Iya Miss. Saya sama Vina itu gak ada apa - apa. Tapi sebenarnya nih ya, saya sih pengennya ada apa - apa. Cuman ya..."
Junsen tak melanjutkan kalimatnya karena aku sudah menatapnya dengan tatapan membunuh. Aku tidak ingin pria itu berbicara sesuatu yang nantinya membuat Asni berpikir terlalu jauh.
"Ya...ya terserah lo berdualah. Oh iya emangnya mau kemana ?"
Akhirnya meluncurlah dari bibir Junsen tentang rencananya mengajakku pergi ke pameran untuk membantunya memilihkan piano yang tepat untuk diberikan kepada keponakannya.
"Ya udah pergi aja ! Lo gak ngapa - ngapain juga di rumah. Daripada matamu busuk kebanyakan tidur mending ikut Sir Junsen deh. Lebih mutu ketimbang tidur."
"Randy gimana ?" Aku menatap Junsen dan Asni bergantian untuk meminta jawaban.
"Apa, Mi ?"
"Enggak sayang, Mami lagi nanya sama Miss Asni."
"Ooo..." Randy kembali sibuk dengan film kartun yang ditontonnya.
"Udah titipin ke gue. Kalau gak telponin bokapnya suruh jemput."
"Mami mau kemana ?"
Randy yang tadinya asik dengan tontonannya sepertinya mulai terusik. Anak itu bahkan meninggalkan kartun kesayangannya dan langsung datang menghampiriku. Tatapan sedihnya itu selalu berhasil mengaduk - aduk perasaanku. Rasanya aku tak tega meninggalkannya di rumah bersama Asni. Menyuruhnya pulang juga bukan pilihan yang bijak. Bisa - bisa anak itu kembali melakukan drama seperti saat ia meminta diantarkan ke rumah pagi ini.
"Mami ada urusan sama Sir Junsen, Sayang." Aku menarik tubuhnya lembut memintanya untuk duduk di sampingku yang langsung dituruti oleh bocah itu.
"Randy boleh ikut gak, Mi ?"
Aduh Tuhan tatapannya itu lho membuatku tak kuasa menolaknya. Aku melirik Asni dan Junsen untuk meminta pertolongan. Aku hanya bisa berdecak ketika Asni hanya menggedikkan bahunya acuh seakan tak ingin ikut campur dalam permasalahan ini. Sementara Junsen terlihat sedang berpikir. Sepertinya pria itu keberatan jika aku mengajak Randy.
"Ya udah Vin, ajak aja kalau gitu !"
Dugaanku ternyata salah. Entah itu terpaksa atau memang benar - benar ikhlas Junsen akhirnya memintaku membawa Randy. Pria itu sepertinya punya kemampuan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya ia pikirkan. "Miss Asni gak mau ikut sekalian ?"
Dengan semangat Asni langsung mengiyakan ajakan Junsen. Wanita itu berdalih ingin menggunakan kesempatan ini untuk mencari jodoh. "Boleh deh. Kali aja ntar di sana ketemu doi.'' ujarnya sembari tersenyum senang.
"Jadi Randy boleh ikut, Mi ?"
"Boleh." Raut wajah Randy seketika cerah kala aku menganggukkan kepalaku. "Tapi izin sama Papi dulu ya ! Kalau Papi izinin berarti Randy boleh ikut. Tapi kalau gak..."
***