Pada akhirnya William tetap menggendong Rose hingga kembali memasuki mobilnya dan sesuai rencana yang telah William buat, mereka saat ini tengah berada disebuah restoran mewah bernuansa jepang dengan ruangan makan pribadi.
William tidak ingin membuat Rose merasa tidak nyaman lagi terlebih ketika sedang makan.
"Kamu sengaja bukan membawaku ketempat tertutup seperti ini? Katakan apa yang ada di otak mesum mu itu?" Tanya Rose galak setelah semua makanan pesanan Willy telah dihidangkan dan pelayan meninggalkan mereka berdua.
Jejeran sushi dan juga sashimi yang disusun rapih diatas wadah berbentuk perahu cukup besar dan beberapa makanan pendamping lainnya memenuhi meja berbentuk persegi panjang itu.
"Aku sudah bilang jika aku tidak tega bercinta denganmu jika kamu terlalu kurus maka dari itu makanlah yang banyak." Ucap William seraya memasukan salmon sashimi ke dalam mulutnya.
Rose menyipitkan kedua matanya dan menatap sini sebelum kembali berbicara "Kalau begitu aku tidak akan makan."
"Terserah, sayang sekali sushi ini sangat lezat." Jawab William, tidak lupa ia menggoda Rose dengan sengaja makan dengan sangat lahap.
Dan sialnya, perut Rose tidak dapat menahan kelaparan terlebih jika makanan dihadapannya adalah sushi kesukaannya.
Melihat ekspresi Rose yang terlihat tersiksa menahan lapar membuat William menyodorkan sepotong sushi dari sumpit miliknya kehadapan Rose.
"Makanlah, aku tidak akan menggoda mu saat sedang makan." Ucap William.
Dengan tatapan curiga Rose akhirnya menerima suapan dari Williams dan mengunyah sushi yang disuapi oleh William dengan wajah tersenyum senang.
"Lezat sekali." Pujinya.
"Tentu saja karena aku yang menyuapi."
"Will, ayolah pegang ucapanmu!"
"Baiklah, makan yang banyak kamu yang bayar."
Candaan William yang ringan membuat Rose tidak kuasa menahan tawanya.
"Ya, ya aku yang bayar semua." Ucap Rose "Kecuali yang kamu makan." Sambungnya sambil tertawa.
William hanya mengangguk sambil terkekeh pelan.
"Pelan-pelan makanya Will, nanti aku tidak kebagian." Protes Rose.
"Akukan membayar apa yang aku makan." Sahut William bergurau.
"Oh ayolah" Rengek Rose sesat sebelum kembali berkata "Baiklah kamu yang bayar semua makanan ini kalau begitu."
"Baiklah, kamu atur saja sayang." Ucap William kembali tertawa.
"Ish jangan panggil aku sayang!"
"Rosieku sayang..."
"Jangan juga Will! Namaku Rose. R.O.S.E. ROSE!"
"Ya, ya mbak mawar."
Oh sudahlah, sepertinya sampai kapanpun Rose tidak akan menang berdebat dengan William.
***
Selesai makan, William segera mengajak Rose melihat-lihat rumah yang ditawarkan agen penjual rumah.
Dengan halaman yang cukup luas, terdapat rumput hijau menghiasi halaman dan beberapa pohon tertanam disudut dekat tembok, ada sebuah taman mawar yang terletak di halaman belakang rumahnya.
Rumahnya bernuansa putih tapi ada juga beberapa bagian yang dicat berwarna merah muda dengan perabot dan juga miniatur yang terbuat dari porselen.
Ada sebuah kolam renang di halaman belakang dan taman mawar mini dihalaman samping.
Rumah itu sendiri bergaya modern minimalis dimana ada dapur dan pantry berwana merah mudah dipadukan dengan warna putih, ada ruang tamu dan ruang keluarga dengan sofa panjang menghadap kearah televisi yang besar, terdapat tiga kamar tidur, satu kamar utama berada dilantai dua sementara satu kamar dijadikan kamar tamu dan kamar satunya diubah menjadi ruang latihan dipenuhi dinding kaca khusus untuk Rose latihan. Diatap ada juga ayunan yang terbuat dari kayu dan beberapat tanaman dalam pot untuk bersantai.
Hunian indah sesuai dengan apa yang selama ini Rose bayangkan dan ia tidak pernah menyangka jika rumah impiannya terealisasi oleh pria yang baru ia kenal kemarin.
"Kamu menyukainya?" Tanya William saat Rose tengah duduk diatas ayunan.
"Aku menyukai rumah ini tapi tidak dengan rencana pernikahan kita." Sahut Rose.
William tidak menanggapi ucapan Rose dan hanya mengangkat wajahnya menatap cerahnya sinar matahari dibalik penutup ayunan yang didudukinya.
"Bagaimana jika aku menjanjikan perceraian?" Tanya William dengan nada yang terdengar pelan namun serius.
"Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku. Jika kamu berencana untuk bercerai mengapa kamu berniat menikahiku?" Jawab Rose balik bertanya.
"Entahlah, mungkin karena kita berjodoh atau mungkin karena aku adalah pria egois dan serakah." Sahut William pelan, entah mengapa setiap kali William mengubah nada bicaranya menjadi seperti ini Rose merasa ada sebuah luka dan rasa sepi dari setiap kalimat yang diucapkan William.
"Mengapa menjadi pria egois dan serahkan jika kamu bisa menjadi pria menyenangkan seperti saat kita makan bersama tadi?" Tanya Rose, pertanyaan Rose mampu membuat William tertegun.
"Karena aku harus menepati janjiku." Jawab William.
Jawaban menggantung penuh tanda tanya yang tidak dapat Rose mengerti.
Tidak lama setelah itu, perwakilan dari agen penjual rumah datang menghampiri, William segera beranjak bangun untuk membahas kelanjutan jual beli rumah ini.
....
William telah menandatangani sebuah surat sebagai tanda bukti pembelian rumah yang ia beli atas nama Rose.
"Nama mu sangat indah." Ucap William setelah membaca sertifikat tanah dan rumah yang baru saja diberikan oleh perwakilan agen penjual rumah.
"Simpanlah dengan baik, rumah ini adalah milikmu sekarang." Ucap William seraya memberikan sertifikat ditangannya kepada Rose.
"Aku tidak mau menerimanya. Kita bahkan belum menikah." Tolak Rose.
"Kita akan segera menikah." Ucap William, dia kembali lagi dengan tatapan dinginnya, menarik tangan Rose dan meletakan dua sertifikat itu keatas tangan Rose.
"Jika pada tanggal pernikahan kita tidak terjadi pernikahan diantara kita maka aku akan memulangkannya padamu." Ucap Rose tapi William mengabaikan perkataannya.
Saat ini hari sudah malam tapi William masih belum mengajak Rose pulang, sejak percakapan terakhir William terus berada di dalam kamar dan entah apa yang ia lakukan hingga membuat Rose merasa mengantuk karena menunggunya dan akhirnya tertidur diatas sofa di depan televisi.
William memang mengurung diri di dalam kamar utama, ia duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong sejak cukup lama.
Seperti memakan buah simalakama, William terjebak akan situasi yang menyulitkannya.
"Mengapa menjadi pria egois dan serahkan jika kamu bisa menjadi pria menyenangkan?" Perkataan Rose terus terngiang dalam pikirannya.
Ia bahkan tidak dapat mengenali bagaimana dirinya sebenarnya, Jackson memanipulasinya terlalu banyak hingga ia tenggelam oleh rasa sakit bercampur rindu yang sangat dalam kepada adiknya.
Bahkan sampai detik ini belum ada titik terang jejak adiknya.
William juga baru mengetahui jika panti asuhan tempatnya tinggal dulu sudah di jual dan tidak ada jejak pindah kemana tepat delapan belas tahun yang lalu.
Pasti semua ini adalah ulah Jackson, pria keji itu membuatnya kehilangan jejak adiknya dan ia masih tidak memberikan satupun petunjuk dimana keberadaan adiknya.
Dengan menghela nafas berat, William merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya, membiarkan air matanya menetes dari sudut matanya yang tertutup rapat.
"Aku merindukanmu."