Chereads / PROMISE (a way to find a love) / Chapter 18 - Jangan Jatuh Cinta

Chapter 18 - Jangan Jatuh Cinta

"Will.."

"William, kamu mendengarku?"

Suara lirih Gwen terdengar beberapa kali memanggil namanya tapi William masih terdiam mengatupkan bibirnya rapat.

Apa ia bersikap terlalu baik pada Rose? Apakah ia telah tersihir oleh pesona Rose sehingga ia sama sekali tidak memikirkan Gwen saat bersama dengan Rose.

Gwen yang menantinya dan menunggunya untuk kembali sambil berjuang hidup disana.

"William, kamu sudah tidak ingin bicara padaku lagi?" Terdengar suara lagi dari Gwen.

"Apa yang kamu katakan, aku terlalu senang mendengar suaramu tadi." Jawab William.

"Aku merindukanmu, setiap saat aku selalu memikirkanmu." Ucap Gwen pelan, William dapat merasakan jika Gwen tengah menangis dibalik teleponnya namun ia menutupinya.

"Aku juga merindukanmu sayang." Balas William tapi dalam hati meminta maaf karena ia sama sekali tidak merindukan Gwen apalagi memikirkannya, Rose mengalihkan seluruh perhatiannya tanpa William sadari.

"Aku menjalani kemoterapi dan rambutku mulai rontok. Untunglah kamu sedang tidak berada disisi ku. Aku bahkan tidak ingin melihat wajahku sendiri." Cerita Gwen.

"Apa yang kamu katakan, dimataku kamu tetaplah Gwen kekasihku. Kamu akan selalu terlihat cantik dimataku." Ucap William menenangkan Gwen, wajah William saat ini terlihat murung kembali.

Hari ini ia bahkan banyak memuji Rose cantik padahal ia sendiri jarang memuji Gwen cantik bahkan sebelum Gwen di vonis mengidap kanker. Walaupun Gwen adalah wanita yang sangat cantik ia bahkan pernah menjadi foto model tapi William tidak akan memuji Gwen jika Gwen tidak merengek dan memintanya untuk memujinya.

"Apa kamu makan dengan baik?" Tanya William setelah Gwen hanya terdiam untuk beberapa saat, mungkin pujiannya pada Gwen terdengar seperti sebuah kebohongan bagi Gwen.

"Tentu saja, aku ingin segera sembuh." Jawab Gwen.

Suasana kembali menjadi hening, Gwen kembali diam begitu juga dengan William, ia tidka tahu harus berkata apalagi sekarang.

"William..." Panggil Gwen kembali memecah keheningan.

"Jangan sampai jatuh cinta dengan wanita lain disana." Lanjut Gwen.

Seperti mendapat pukulan keras didadanya, William tertegun untuk sesaat, William sama sekali tidka dapat membayangkan jika Gwen mengetahui rencana pernikahannya dengan Rose.

"Tentu saja " Jawab William pelan.

"Berjanjilah padaku untuk tetap memberikan hatimu seutuhnya untukku. Jangan pernah berpaling dariku." Pinta Gwen, rasa cemasnya karena takut jika William akan berpaling darinya. Sebenarnya membuat kondisi kesehatannya semakin menurun tapi Gwen tidak ingin William sampai khawatir mendengar keadaannya.

Sekali lagi Gwen memintanya untuk berjanji, setiap kali seseorang memintanya membuat janji setiap itulah William merasa takut jika ia tidak akan dapat menepati janji itu tapi ia tahu jika Gwen akan terus menanti jawabannya.

"Jangan memikirkan hal yang membuatmu merasa tidak nyaman. Kamu harus fokus dengan kesehatanmu Gwen." Ucap William yang akhirnya memilih untuk tidak mengiyakan ucapan Gwen.

"Beristirahatlah, disini sudah jam dua pagi. Aku harus tidur sekarang." Ucap William lagi, dengan perasaan kecewa akhirnya Gwen mematikan sambungan teleponnya tanpa mengucapkan kalimat cinta terlebih dahulu kepada William, hal biasa yang selalu ia lakukan sebelumnya.

William hanya dapat menghela nafas berat, ia hampir saja jatuh dalam permainannya sendiri jika saja Gwen tidak meneleponnya dan mengingatkannya.

....

Pagi akhirnya tiba, William nyaris tidak dapat tidur sama sekali, ia tertidur setelah jam empat pagi dan sekarang sudah jam tujuh pagi.

Saat ini William sudah duduk di meja makan bersama dengan kedua orangtua Rose

"Kalian pulang jam berapa semalam?" Tanya Nisa.

"Setengah dua belas malam, kemarin kami mengunjungi rumah yang akan kami tempati setelah menikah nanti." Jawab William.

"Kamu sudah membeli rumah?" Tanya Adam hampir tidak percaya.

William mengangguk, kedua orangtua Rose saling memandang kini. Mereka tidak salah memilih calon suami untuk putrinya.

William tidak hanya tampan, dia soapan dan paling penting latar belakangnya dari keluarga terhormat dan juga kaya raya. Tentu saja semua orangtua di dunia ini menginginkan yang terbaik untuk anaknya tidak terkecuali mereka sendiri terlebih Rose adalah anak satu-satunya mereka.

"Lalu dimana Rose? Apa gadis itu belum bangun juga?" Ucap Nisa bingung karena biasanya Rose selalu pergi pagi-pagi sekali.

"Kemarin Rose terjatuh, kakinya terkilir." Cerita William.

"Dia harusnya lebih berhati-hati lagi. Bagaimana ia melukai kakinya padahal ia akan mengadakan konser tunggal dan juga akan segera menikah." Ucap Adam dari raut wajahnya, William dapat melihat jika Adam terlihat tidak senang begitu juga dengan Nisa.

Apa mereka tidak khawatir dengan keadan Rose? William bertanya-tanya dalam hati.

"Kalian tidak ingin melihat keadaan Rosie?" Tanya William.

"Untuk apa, dia sudah sering membuat kakinya cidera. Gadis itu sangat ceroboh terkadang." Ucap Nisa.

William mengerti sekarang mengapa Rose merasa kesepian karena kedua orangtuanya tidak memperhatikannya dengan baik.

"Aku akan memperkenalkan mu pada dewan partai saat kamu sudah menikahi Rose untuk saat ini kamu temani saja Rose." Ucap Adam.

"Baiklah." Jawab William, ia merasa sedikit kesal dengan sikap kedua orangtua Rose sekarang.

"Aku akan membawakan sarapan untuk Rosie kalau begitu." Ucap William, sebenarnya ia merasa malas karena Adam pasti akan bertanya mengenai aset apa saja yang dimilikinya seperti ketika mereka lari pagi kemarin.

"Kami akan berangkat ke kantor kalau begitu." Ucap Adam, Nisa adalah salah satu anggota dewan perwakilan rakyat jadi ia juga harus pergi bekerja sementara Adam sudah tidak lagi menjabat sebagai pejabat, ia hanya sibuk mengurusi partai besarnya dan beberapa bisnisnya.

Uang sepertinya juga menutupi hati nurani kedua orangtua Rose sehingga mereka lebih mementingkan pekerjaan mereka daripada melihat keadaan Rose saat ini.

William mengetuk pintu kamar Rose sebelum memasukinya.

"Kamu mau pergi?" Tanya William setelah melihat Rose berpakaian rapih.

"Iya." Jawab Rose singkat sambil memasang anting-anting di telinganya.

"Kakimu masih sakit kan."

"Sudah terasa lebih baik."

William kemudian meletakan nampan berisi sarapan yang dibawanya ke atas meja nakas.

"Kamu sudah mengoleskan obat pada kakimu?" Tanya William.

"Aku lupa." Jawab Rose, ia ingin segera menghindari William tapi William terus berbicara dengan nada suara yang lembut penuh perhatian. Alangkah baiknya jika William memancing pertengkaran diantara mereka karena Rose tidak dapat memulai berkata pedas kepada William karena semalam William sudah sangat baik padanya.

William kemudian meraih obat yang terletak tidak jauh dari lampu tidur, semalam ia memang meletakannya disana lalu berjongkok tepat dihadapan Rose.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Rose menarik kakinya ketika tangan William perlahan menyentuhnya.

"Mengobati kakimu, apa lagi memang?" Jawab William.

"Aku akan melakukannya sendiri." Ucap Rose, ia berusaha mengambil obat ditangan Wil tapi William tidak mengijinkannya.

"Makan saja sarapanmu, biar aku yang mengobati kakimu." Ujar William.

"Tapi Will..."

"Kamu ingin aku juga menyuapi mu?" Potong William membut Rose akhirnya menurut.

"Makanlah yang banyak, aku akan mengantarmu jika kamu ingin pergi tapi aku tidak akan mengijinkanmu jika kamu latihan dengan kondisi kaki seperti ini."

Oh ayolah, berhentilah bersikap baik dan hangat. Rose sungguh tidak dapat menahan pesona William saat ini.

"Aku tidak akan pergi latihan tapi aku akan menemui kekasihku." Ucap Rose jujur, sebenarnya ia merasa sangat bersalah pada Rayhan karena ia membiarkan jarak diantara dirinya dan William semakin dekat.

William tidak menanggapi ucapan Rose, ia terus mengoleskan salep pemberian dari dokter dan sedikit memijat pergelangan kaki Rose yang sudah tidak lagi membengkak tapi masih menyisakan luka memar.

Dalam hati Rose bertanya-tanya, apakah William marah? ia hanya diam bahkan ia terlihat sangat tenang berbeda dengan hari sebelumnya yang terlihat tidak senang jika dirinya menyinggung tentang Rayhan.

Setelah selesai, William kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangannya lalu kembali duduk di sebelah Rose.

"Apa kamu tidak suka menunya?" Tanya William karena dua buah sosis serta telur mata sapi yang dibawanya masih terlihat utuh berada diatas pangkuan Rose.

"Kamu tidak marah?" Tanya Rose hati-hati.

"Marah karena apa?" Tanya William.

"Karena aku menemui kekasihku."

"Tentu saja tidak karena kita belum menikah tapi jika nanti setelah kita menikah dan kamu masih menemuinya maka aku akan sangat marah." Jawab William.

"Jadi kamu benar-benar jatuh cinta padaku?" Tanya Rose lagi.

William tidak menjawab dan hanya tersenyum tipis.

"Makanlah, aku hanya akan mengantarmu. Aku tidak bisa menemanimu hari ini." Ucap William sebelum bergegas pergi meninggalkan kamar Rose, meninggalkan Rose dengan seribu pertanyaan dalam hatinya tentang William.

Siapa pria itu sebenarnya? Apa ia benar-benar ingin menikahinya karena sebuah perasaan cinta? Atau ia hanya menjadikannya sebuah alat? Mengapa dia selalu berbeda setiap waktunya? Dia terkadang dingin tapi terkadang hangat, terkadang bijaksana lalu kemudian melantur, terkadang mendekat dan setelah itu memberi jarak, terkadang menyebalkan tapi sekaligus menyenangkan.

Lantas yang mana wajah aslinya? Apa kesedihan yang Rose lihat dari balik sorot mata William disebabkan karena sebuah luka atau karena William tenggelam dalam kegelapan dirinya.

William sendiri bahkan tidak tahu siapa dirinya dan apa kebahagiaan yang harus dipilihnya.

...