Rayhan masih berlutut di depan gerbang rumah Rose walaupun hari telah malam dan hujan telah reda, bahkan bajunya nyaris kering di badan tapi Rayhan sama sekali tidak gentar dan tetap berharap jika Rose akan datang memaafkannya.
Wajahnya sudah sangat pucat sementara tubuhnya sudah menggigil, entah sudah berapa lama ia berlutut disana tapi Rose tetap tidak juga datang menemuinya.
Terlihat sorot lampu mobil yang datang menerpa wajah Rayhan, dengan senyum yang bahkan telah terasa kaku, Rayhan berharap jika itu adalah Rose tapi yang keluar dari dalam mobil itu bukanlah Rose melainkan Nisa.
"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu ingin cari sensasi?" Oceh Nisa begitu mendekat dan memastika siapa pria yang berlutut di depan rumahnya dan ternyata adalah Rayhan.
"Pergi dari sini, bagaimana jika ada media yang memotret mu. Kamu ingin menghancurkan reputasi putriku heuh?" Sergah Nisa tanpa merasa kasihan sama sekali.
"Aku ingin bertemu dengan Rose, ijinkan aku menemuinya Tante." Mohon Rayhan masih sambil berlutut.
"Rose tidak ada, dia pergi menginap dengan calon suaminya di rumah baru mereka!"
Hujan telah reda tapi Rayhan seperti baru saja mendengar suara petir yang menggelar.
Semoga ini hanya halusinasi, semoga apa yang didengarnya hanya mimpi buruk, Rose tidak mungkin seperti itu.
"Jangan membohongiku Tante, sekali ini saja, aku mohon ijinkan aku masuk untuk menemui Rose."
"Terserah kamu mau percaya atau tidak! Tapi menyingkir dari sini, kamu sungguh mengganggu jalan."
Hati Rayhan terasa tercabik-cabik, bukannya mendapat maaf Rose tapi yang ia dapatkan adalah dua kenyataan pahit.
Rose menginap dengan pria yang mereka sebut sebagai calon suaminya dan sekarang ia kembali merasa terhina dengan perlakuan ibu Rose padanya.
Dengan tubuh bergetar, Rayhan berusaha untuk beranjak bangun dan melangkah gontai memasuki mobilnya.
Sambil menahan air matanya, Rayhan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
Matipun ia sudah tidak perduli lagi, satu-satunya kebahagiaan dalam hidupnya juga meninggalkannya.
"Apa aku seburuk itu? Mengapa mereka semua yang aku cintai meninggalkanku?" Isak Rayhan, ia tidak kuasa menahan kepedihan hatinya hingga ia berteriak kencang didalam mobilnya dan memukul-mukul stir kemudinya.
"Berjanjilah jika aku satu-satunya pria yang ada di hidupmu."
"Memangnya ada pria lain yang selama ini mengisi hatiku selain kamu dan juga ayahku?"
"Terkadang aku takut kamu meninggalkanku disaat terakhir, kamu tahu bukan jika aku hanya memilikimu di dunia ini. Jika kamu berpaling maka aku akan benar-benar sendirian."
"Aku tidak akan pernah berpaling, aku hanya mencintaimu."
Semua janji itu hanya omong kosong, semua kenangan manis itu hanyalah racun yang membunuhnya perlahan dengan rasa sakit yang luar biasa.
Setelah kematian kedua orangtuanya lalu kakaknya meninggalkannya maka Rose adalah luka terbesarnya setelahnya.
Apa yang Rayhan takuti selama ini menjadi kenyataan, Rose berpaling darinya dan ia benar-benar sendirian kini.
Walaupun Rayhan berteriak, walaupun ia menangis sejadi-jadinya tapi rasa sakit itu tidak menghilang sedikitpun dari dalam hatinya.
Tidak ada yang mampu mengobati rasa sakit hatinya jika bukan Rose.
"Jangan tinggalkan aku Rose! Jangan tinggalkan aku!"
****
William menggeser-geser foto Gwen yang ada di ponselnya.
Gwen tersenyum bahagia sambil menggandengnya, itu adalah foto yang ia ambil dua tahun yang lalu, hanya ada dua foto itupun karena Gwen merengek memaksanya berfoto bersama dan setelah itu mereka tidak pernah berfoto lagi.
William dulu memang tidak pernah mau difoto dan foto itu ternyata adalah foto terakhir sebelum Gwen akhirnya kehilangan kedua orangtuanya dan di vonis mengidap leukimia.
"Maafkan aku Gwen." Ucap William merasa bersalah.
"Maafkan aku..."
****
Rose membuka kedua matanya setelah entah berapa lama ia terlelap. Suasana kamar yang terlihat asing membuatnya bertanya-tanya dimana ia sekarang.
Masih dengan rasa bingungnya, Rose berusaha untuk turun dari atas tempat tidur tepat ketika William membuka pintu dan memasuki kamar.
"Kamu ingin ke toilet?" Tanya William sambil membawa nampan berisi nasi goreng dan segelas air putih.
"Kita dimana?" Tanya Rose mengabaikan pertany William.
"Dirumah kita." Jawab William seraya meletakan nampan yang dibawanya ke atas meja.
"Mengapa kita pulang ke sini? Ayo kita pulang, kedua orangtuaku pasti sangat marah jika kita berdua menginap disini." Ajak Rose sambil berusaha melangkah walau sedikit pincang.
"Ayahmu sudah mengijinkan kita untuk menginap." Ucap William membuat langkah Rose terhenti.
"Dia sama sekali tidak perduli." Gimana Rose sedih.
"Makanlah, kamu jangan terlalu banyak bergerak atau kakimu akan semakin lama sembuhnya."
"Aku tidak lapar, aku mau pulang."
"Aku tidak akan berbuat sesuatu yang buruk padamu jadi tenanglah."
"Bagaimana bisa orangtua mengijinkan putrinya menginap dengan seorang pria asing!" Teriak Rose emosional, ia bahkan mulai menangis kini.
"Apa aku ini tidak ada artinya?" Rose kini benar-benar menangis.
William hanya dapat bergerak memeluk Rose hangat.
"Kamu sangat berarti, tenanglah. Kedua orangtua mu mungkin terlalu percaya padaku bukan berarti mereka tidak perduli padamu." Ucap William menenangkan.
"Bagaimana bisa mereka mempercayakan putrinya pada pria yang baru tiga hari dikenalnya? Semua itu omong kosong, mereka hanya tidak perduli padaku!" Isak Rose semakin menjadi.
Rayhan mengungkit rasa traumanya dan kesedihannya, bagaimana dulu Rose merasa hancur karena tidak diperhatikan dan disayang dan perasaan itu kembali muncul setelah ketakutan itu terjadi.
"Aku perduli padamu, kamu memilikiku, tenanglah... Tenanglah Rosie."
"Aku membecimu Will, hidupku berantakan karena kehadiranmu... Aku membencimu." Isak Rose sambil memukul-mukul dada William pelan.
"Aku benci jika aku harus bergantung pada pria asing. Mengapa harus kamu, pria asing yang begitu memperhatikanku?" Isak Rose kali ini ia tidak kuasa untuk tidak memeluk William dan menangis dalam pelukannya.
"Aku juga tidak tahu, aku tidak bisa bersikap dingin kepadamu." Ucap William dalam hati.
....
Setelah beberapa lama akhirnya Rose kembali tenang, ia makan walaupun harus William suapi dengan sedikit memaksa.
"Kamu harus bertanggung jawab jika baju konserku tiba-tiba tidak muat nanti!" Ancam Rose setelah ia menyelesaikan makannya dan kini mereka duduk santai di depan televisi dengan kaki Rose yang berada diatas pangkuan William.
"Astaga, makan satu piring memangnya akan membuatmu naik berapa kilo?" Ucap William terkekeh pelan.
"Tapi ini sudah malam, lihat jam berapa sekarang." Ucap Rose tidak mau kalah "Oh astaga, aku lupa kita tidak memiliki jam." Lanjutnya setelah menyadari jika masih belum ada jam di rumah ini.
"Benarkah?" William akhirnya menyadari jika ia lupa membeli jam setelah mengedarkan pandangannya di setiap sudut ruangan.
"Kamu tidak niat memberikanku rumah ya?" Sindir Rose membuat William tertawa.
"Baiklah-baiklah jam seperti apa yang kamu inginkan?" Tanya William.
Rose kemudian meraba-raba sakunya namun ia lupa jika ponselnya ketinggian diruang latihan kemarin.
"Mencari apa?" Tanya William.
"Ponsel, tapi aku lupa jika ponselku tertinggal di ruangan latihan." Jawab Rose.
"Untuk apa memang? Kamu ingin menghubungi seseorang?"
"Bukan, aku ingin membeli jam di online shop."
Tanpa ragu William kemudian memberikan ponsel miliknya pada Rose.
"Kodenya 2423" Ucapa William memberitahukan password ponselnya.
Rose begitu terkejut dengan apa yang William lakukan bahkan lima tahun ia menjalin kasih dengan Rayhan, tidak pernah sekalipun ia memegang ponsel Rayhan apalagi mengetahui kode ponselnya.
"Kenapa?" Tanya William.
Rose masih tidak menjawab, William akhirnya menurunkan kaki Rose dan duduk merapat padanya lalu mengutak-atik ponselnya dan terakhir memotret Rose tanpa permisi.
"Sekarang tidak perlu menggunakan kode."
William menjadikan wajah Rose juga sebagai kode pembuka ponselnya.
"Mengapa kamu melakukannya?" Tanya Rose yang masih tidak mengerti mengapa William bersikap seperti itu padanya.
"Karena aku akan menjadi suami mu."
.....