Gadis kecil itu tersentak kaget mendengar suara Minu, ia menoleh dan tersenyum memperlihatkan gigi taringnya, matanya menyipit, di depannya terdapat sebuah telur besar yang terletak di atas rumput, warnanya putih dan terlihat bulat, lebih besar daripada telur yang tadi Iris temui di dalam gua.
Iris mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda kehadiran Thomas, ia tidak menemukan Thomas di mana pun, hanya ada pepohonan dan bebatuan di sekitar mereka, dan jangan lupakan ular-ular kecil berseliweran lewat di depan mereka tanpa merasa terganggu sedikit pun.
"Apa bocah itu jadi telur?" Morgan bertanya mendahului Iris, ia mendekat dengan langkah lebarnya, mengelilingi telur itu dengan pandangan ingin tahu.
Iris menatap Minu dengan panik, gadis kecil itu menepis tangan Morgan yang mulai meraba-raba telurnya, ia mendesis keras sambil melotot.
"Yah … sepertinya terlambat," ucap Minu sambil menghela napas panjang. Iris menatap telur dan gadis kecil itu bergantian, ia menggeram marah.
"Kau ingin dia?" Gadis kecil itu menunjuk telur yang di dudukinya, ia menyeringai lebar. "Ayo, ambil kalau bisa."
Iris melebarkan matanya, tepat setelah mata gadis kecil itu berkedip, sebuah ular putih raksasa muncul dari dalam air terjun yang dangkal itu tepat di hadapan mereka, membuat air bergejolak, membasahi daratan, ular putih itu membuka mulutnya lebar dan menelan bulat-bulat telur itu, gadis kecil itu melompat ke atas kepala ular.
"Ayo." Gadis kecil itu berkacak pinggang memandang Iris dengan rendah, Iris mengepalkan tangannya dengan marah, tangannya bergerak, akar pohon muncul dari tanah dan mendekat ke genggamannya, membentuk tongkat runcing.
Ular putih itu melingkar, melindungi perutnya yang menggembung, sebagian tubuhnya terendam air, Iris berlari dan melompat dengan marah, ia menghunus tongkatnya kearah gadis kecil itu, namun gadis kecil itu gerakannya cepat, ia menghindar dan menendang Iris.
"BRUSH!" Iris terlempar ke bebatuan di air dangkal.
Morgan hendak bergerak menolong Iris, namun Minu segera menarik lengannya, laki-laki itu menggeleng pelan. "Jangan ikut campur, itu masalah perempuan."
"Apa?" Tanya Morgan dengan bingung.
"Temanmu sudah terlanjur jadi telur, hanya dirinya sendiri yang bisa menolongnya keluar dari sana," ucap Minu dengan santai, ia mendudukkan dirinya di atas batu.
"Aku tidak mengerti," sahut Morgan, ia melirik Iris yang sedang bertarung melawan gadis ular itu, bunyi debuman air bersahutan.
"Jangan khawatir. Pasanganmu itu hanya pura-pura lemah." Minu menyandarkan tubuhnya dibatu, Morgan mengerutkan keningnya, ia tidak pernah suka dengan orang yang bicaranya bertele-tele.
"Iris?"
Minu bersiul, matanya penuh dengan sorot mengejek, ia mengendikkan bahu. "Kau tidak tahu apa-apa?"
Morgan duduk diam, ia terlihat berpikir keras, sebelum akhirnya menggeleng. "Dia salah satu penyihir agung, lebih tepatnya dia penyihir merah."
Morgan mendongak, matanya membelalak kaget, ia tahu jika Iris adalah penyihir, tapi ia tidak tahu jika Iris adalah salah satu dari penyihir agung yang legendaris itu, selain itu Iris adalah penyihir merah.
Penyihir Merah terkenal dengan kesadisan mereka di masa lalu, dan penyihir merah itu adalah Iris? Morgan tidak bisa mempercayainya, ia ingat waktu dimana dia pertama kali bertemu dengan Iris, ia tidak merasakan aura jahat dari tubuh Iris, wanita itu hanya tampak seperti penyihir biasa.
"Saranku lebih baik kau pergi sebelum dia melakukan sesuatu padamu," lanjut Minu lagi, ia memperhatikan wajah kosong Morgan, menghela napas panjang. "Bocah itu, seharusnya belum buta, tapi keberadaan penyihir merah di sampingnya itu memperpendek umurnya. Kurasa dia sudah tahu."
Morgan melihat Iris yang berhasil menjatuhkan gadis ular ke air, ular putih itu tetap diam, seolah pertarungan dua wanita itu tidak menganggunya sama sekali, matanya terpejam di bawah air.
"Aku tidak bisa," ucap Morgan setelah sekian lama melihat Iris dari kejauhan, ia menghela napas panjang. "Dia penyihir merah atau bukan, itu tidak masalah. Aku yang akan memastikannya dengan mata kepalaku sendiri seperti apa dia sebenarnya. Dia milikku."
Morgan adalah orang yang memegang teguh perkataannya, jika hatinya sudah menetapkan sesuatu, maka tidak ada yang bisa membantahnya siapa pun itu termasuk dirinya sendiri, ia sudah meminta pada Iris untuk menjadi Lunanya, menjadi pasangannya dan wanita itu adalah miliknya. Iris miliknya, apa pun yang akan terjadi di masa depan, mereka harus bersama-sama.
Walau bocah pengganggu itu masih ikut bersama mereka.
Minu terkekeh mendengar perkataan Morgan, ia bangkit dan menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum kecil, sepanjang ia hidup menjadi manusia setengah ular baru kali ini ada ras lain yang memiliki keteguhan yang begitu kuat seperti Morgan, walau ia akui jika laki-laki ini kurang lebih sama dengan dirinya, sama-sama naif.
"Kami kesini minta bantuanmu untuk mematahkan kutukan penyihir putih. Bukan untuk bertarung seperti ini," protes Morgan ketika melihat pakaian Iris compang-camping dan basah kuyup, wajahnya kusut seperti rambutnya.
"Aku tahu, tapi pasanganku menemukan kalian lebih dulu." Minu bersila diatas batu, mereka berdua sama-sama menonton pertarungan Iris dan gadis ular itu.
"Kutukan itu hanya bisa dipatahkan oleh batu yang dimiliki oleh ras Elf. Pasanganku memilikinya, seharusnya mudah saja jika ia belum jadi telur. Saat ini dia dalam perut ular itu, dan hanya orang yang kena kutukan bisa mengambilnya di sana," jelas Minu dengan tenang, ia mendongak menatap langit biru, menikmati semilir angin yang berhembus karena pertarungan Iris dan pasangannya.
"Itu berarti Thomas harus melawan ular itu?"
"Yah … seperti itulah. Jika dia berhasil dia akan hidup sedikit lebih lama lagi."
"Sedikit?" Tanya Morgan dengan bingung, matanya menatap Minu dengan lekat.
"Aku belum bilang ya? Batu itu ada tiga, pasanganku adalah Elf tanah, masih ada Elf air dan api. Kalian harus mengumpulkannya sebelum tubuh teman kalian itu lumpuh."
Morgan melotot, ia pikir setelah bertemu dengan Minu kutukannya akan selesai, tapi ternyata masih ada dua batu lagi yang harus dikumpulkan, benar-benar akan menjadi perjalanan yang panjang, butuh waktu berapa lama ia dan Iris mengumpulkan batu itu sebelum Thomas benar-benar mati?
"Kalau Thomas gagal, apa yang akan terjadi?" Morgan kembali bertanya, ia menghitung-hitung berapa lama Thomas akan bertahan hidup dengan kutukan mengerikan itu bersama mereka.
"Dia mati. Apa lagi?" Minu tertawa tanpa beban, pertanyaan Morgan benar-benar terdengar seperti lelucon konyol di matanya, ia merenggangkan tubuhnya dan menguap lebar, berada di bawah sinar matahari seperti ini membuatnya mudah mengantuk.
"Saat ini yang kita lakukan hanya menunggu. Sudah ah, aku mau tidur." Minu berbaring di atas rumput, berbantalkan lengannya sendiri ia memejamkan matanya, Morgan kembali melihat Iris, lalu menatap ular besar yang melingkat di bawah air itu, matanya memicing, ia tersenyum.