"Jadi kita akan ke Timur untuk menemukan Elf api?" Iris bertanya sambil menatap Morgan, laki-laki itu hanya bergumam mengiyakan, tangannya bergerak memasukkan kayu ke api, membuatnya semakin besar.
Api di depan mereka semakin membesar, berbunyi-bunyi memakan kayu.
Thomas duduk di dekat Morgan, mulutnya mengunyah apel yang didapatnya dari Iris, matanya tak lepas memandang api yang menari-nari di depannya.
"Ya. Aku juga ada urusan di sana." Morgan mengambil ikan yang sebagian gosong itu, ia melirik Iris yang menampakkan wajah tanpa dosa.
"Urusan apa?" Thomas mendongak, menatap lurus Morgan yang balik menatapnya dengan jengkel sedangkan Iris terlihat acuh kepada mereka berdua.
"Urusan orang dewasa," sahut Morgan dengan ketus, ia masih sedikit kesal dengan Thomas yang terlalu lengket dengan Iris, jadi ia memaksa Thomas berada di dekatnya.
Thomas mendengus, ia bersandar ke batu di belakangnya, meluruskan kakinya.
Iris tersenyum, ia tidak tahu kalau Morgan dan Thomas akan akur secepat ini, ia pikir dua laki-laki ini akan saling perang dingin di depannya.
"Apa yang terjadi dengan packmu?" Thomas kembali bertanya, seolah raut wajah Morgan yang muram itu tidak ada apa-apanya baginya, ia menarik-narik baju Morgan, mencoba menggodanya.
"Mereka semua tewas." Morgan menyahut dengan sinis, seandainya saja wujud Thomas bukan anak kecil ia akan membantingnya segera.
"Oh." Thomas menyahut singkat, Iris di depan mereka sibuk memakan ikan yang baru saja ia bakar di api.
"Blue Moon?"
Morgan menoleh dengan cepat, keningnya berkerut. "Darimana kau tahu?"
"Aku pangeran tadinya," ucap Thomas sambil terkikik, merasa bangga dengan pengetahuan di kepalanya, namun sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi serius. "Aku mendengar Andreas yang memerintahkannya. Mereka berencana membuat semua pimpinan ras tunduk kepada mereka."
Setiap ras di kerajaan Megalima mempunyai pemimpin, meskipun kerajaan Megalima di pimpin oleh seorang ratu dari ras manusia, namun mereka tidak berhak mengatur urusan internal masing-masing ras. Ratu hanya bertindak sebagai pemimpin politik.
"Pangeran Andreas? Orang itu benar-benar …. akan kucabik suatu saat nanti." Morgan memejamkan matanya, ia teringat malam pembantaian mengerikan yang terjadi dalam satu malam di packnya, ia tidak sempat melindungi siapa pun, pack Blue Moon datang dan mengacaukan mereka semua secara mendadak, dalam sekejap pack Red Moon hanya tersisa Morgan seorang.
Iris mendengarkan dua laki-laki itu berbicara, ia mendesah pelan dan menyandarkan tubuhnya di batu besar, memandangi bintang di langit, tiba-tiba ia teringat Sarah.
Ia tidak tahu apakah Sarah masih hidup atau tidak saat ini, lebih baik ia tidak bertemu Sarah untuk sekarang, ia terlalu malas menghadapi tempramen buruk wanita itu.
"Apa urusanmu di Timur?" Iris tiba-tiba bertanya sambil memandang Morgan, ia penasaran dengan tujuan Morgan, selain permintaan konyolnya tentang menjadikan Iris pasangan jiwanya, laki-laki itu masih tetap setia mengikutinya bersama Thomas walau banyak kesulitan yang telah mereka lewati di sarang ular.
"Aku ingin bertemu seseorang." Morgan menjawab dengan jujur, di sampingnya Thomas mencibir. "Dia … adikku."
Iris mendekatkan tubuhnya ke samping Morgan, angin dingin berembus menusuk kulit, ranting-ranting bergesekan dengan dedaunan. Api bergoyang-goyang di depan mereka.
"Apa dia hidup sendiri?" Wanita itu mengeluarkan sebuah kain dan memakai untuk dirinya sendiri, kepalanya bersandar di bahu Morgan.
"Ya, dia meninggalkan pack karena sesuatu hal." Morgan merangkul pinggang Iris sambil tersenyum mengejek ke arah Thomas, yang ditatap hanya mendengus dan memunggungi dirinya.
"Aku harus mencarinya sebelum Red Moon memburuku."
Iris mengangguk-angguk, api di depan mereka telah berubah menjadi tumpukan bara, asapnya mengepul tipis-tipis terbawa angin. Iris menoleh dan merasakan tangan hangat Morgan memeluknya erat, rasanya nyaman dan hangat, ia bergumam mengucap mantera, dengan pelan akar besar muncul dari dalam tanah dan membentuk sebuah kubah, Iris membuatnya untuk menghalau udara dingin.
"Iris," gumam Thomas samar, ia masih memunggungi mereka berdua. kepalanya berbaring di atas batu yang berlumut. Jari-jarinya saling bertaut satu sama lain, gemetar, ia memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih."
Iris menegakkan tubuhnya, ia terkekeh pelan, merasa aneh dengan tingkah laku Thomas, ia melepas pelukan Morgan dan menarik lengan Thomas, memaksa bocah itu mendekat.
"Kenapa? Ada sesuatu yang menganggumu?" Tanya Iris khawatir, ia tidak tahu apa yang terjadi saat Thomas bersama wanita ular itu, tapi raut wajah Thomas terlihat tertekan sepanjang waktu, ia berkali-kali menanyakan hal itu agar Thomas buka mulut, namun yang di dapatinya hanya wajah masam Morgan.
"Tidak ada." Thomas duduk dan melirik Iris, di belakangnya Morgan hanya mendengus.
Iris tersenyum, tanpa basa-basi ia membawa Thomas ke dalam pelukannya, ia tahu jika dalam kepala Thomas pikirannya sangat kacau, walaupun ia sudah mendapat mengembalikan penglihatannya tapi pikiran dan perasaannya masih terbelunggu dalam jiwa anak-anak polos.
Konsep kutukan penyihir putih itu pengembalian jiwa ke dasar, seperti bayi polos tidak mengenal dunia.
"Terima kasih … aku … bisa tetap hidup." Thomas memeluk Iris, tadinya ia tidak pernah berpikir bisa mematahkan kutukan ini sedikit demi sedikit, awalnya ia merasa sudah pasrah terhadap keadaan, sudah siap menerima kenyataan kalau ia akan segera meregang nyawa, namun saat ini ia memiliki harapan untuk hidup kembali, ia memiliki harapan menyelamatkan kakaknya.
Dan juga merebut kembali tahta kerajaan Megalima.
Tangannya belum memeluk Iris sepenuhnya, ketika ia merasakan tangan kekar Morgan yang ikut memeluk Iris, lak-laki itu tak mau kalah, bibirnya mencebik dan menatap Thomas dengan pandangan mengejek.
Thomas melepas tangannya dan menyeka air matanya, emosi sedihnya tiba-tiba menguap seketika tergantikan rasa jengkel pada Morgan.
Laki-laki ini, sangat menjengkelkan.
Iris tertawa kecil, ia melirik Morgan di belakangnya dan memegang tangan keduanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih, kalian berdua ada bersamaku saat ini."
Morgan berdehem, wajahnya tepat diatas kepala Iris, memerah sampai ke telinga, ia membungkuk dan menenggelamkan wajahnya di leher wanita itu, menyesap aroma mawar yang berasal dari tubuh wanita itu.
Thomas hanya mengedipkan matanya beberapa kali, melihat Morgan dan Iris secara bergantian, lalu ia kembali berbaring ke tempatnya kembali, memejamkan matanya dan berniat tidur.
Morgan hanya melirik Thomas, keningnya berkerut tidak suka, ia menarik napas ketika Iris melepaskan pelukannya. "Ayo, kita harus tidur juga."
Morgan mengangguk kaku, Iris mengeluarkan selimut dari kantungnya dan menyelimuti Thomas, ia berbalik menatap Morgan, berniatkan selimut itu.
"Selimuti aku," ucap Morgan dengan memelas, ia seperti bayi besar yang merajuk. Iris terkekeh samar, tangannya bergerak membuka selimut.
"Cih! Dasar anjing manja!" Thomas berteriak tanpa berbalik.
"Diam kau, bocah."
"Sudah, sudah. Aku selimuti kalian berdua biar adil." Iris tertawa, ia mengelus wajah Morgan dan Thomas bergantian, lalu berbaring di tengah-tengah mereka. Ia memandangi bintang di langit dari celah-celah akar yang dibentuk Iris untuk menaungi mereka bertiga.
Ia tiba-tiba merasakan firasat buruk.
"Aku tidak ingin bertemu temanku." Irisbergumam dan dengan perlahan ia memejamkan matanya.