Morgan menggendong Iris yang tidak sadarkan diri, ia sedang dalam keadaan tidak bisa berpikir panjang, otaknya hanya terpaku pada Iris, ia panik, sedangkan Thomas menatap tajam Sarah yang berdiri di belakang Gail, alisnya saling bertaut dan bibirnya terkatup rapat, ia kesal.
"Siapa kau?" Morgan berkata dengan sinis, matanya melotot dengan ganas, dalam hati ia menyumpah serapahi wanita yang menyakiti Iris.
Sarah mendengus, ia menggertakkan giginya, padahal ia sedikit lagi bisa mengalahkan Iris, tiba-tiba muncul dua serangga pengganggu.
Benar-benar sialan.
Sarah menggamit tangan Gail, menyuruh laki-laki itu pergi, ia terlalu malas meladeni mereka, terlebih lagi ia tengah terluka oleh jarum perak yang digenggam bocah berambut putih di depannya ini, mereka tanpa banyak kata segera menjauh. Morgan memandangi wajah Iris yang sudah pucat pasi, tangan dan kakinya dingin, keningnya berkerut sekaan menahan rasa sakit, Thomas mendongak dengan pandangan cemas.
"Kita harus … harus … apa?" Morgan bertanya dengan cemas, ia kalut. Thomas segera memegang lengan Morgan, ia menunjuk ke arah mereka datang.
"Iris .. Iris tidak bergerak!"
"Aku .. aku tidak tahu!" Thomas ikut panik dan bingung.
"Kau 'kan pangeran?! Masa tidak tahu ilmu penyembuh?"
"Kau sendiri manusia serigala, tidak bisa menjilatnya?"
Morgan memukul menarik rambut Thomas kesal, jika seandainya saja luka luar maka ia dapat mengobatinya dengan mudah, tapi ini adalah luka dalam, kemampuannya tidak berguna.
"Aku tidak pernah merawat orang sakit. Kita harus mencari tabib, tidak … kita harus mencari rumah penduduk dekat sini dulu." Thomas berlari di depan Morgan, ia mengambil kuda Iris dan menaikinya, Morgan dengan cepat naik ke kudanya sambil membawa Iris.
Bibir Iris membiru, tubuhnya sedingin es, napasnya semakin lama semakin pendek, jejak-jejak darah masih tersisa di dagunya, Morgan terlalu panik melihat kepala Iris jatuh terkulai di lengannya, kepalanya terasa kosong, ia memacu kudanya mengikuti Thomas di depan, melesat dengan kencang.
Entah seberapa cepat mereka memacu kudanya, Thomas melihat sebuah pedesaan, mereka masuk dengan pelan, rumah-rumah desa itu terbuat dari batu bata, kecil dan asri, terlihat nyaman dan teduh, asap mengepul dari masing-masing cerobong setiap rumah, beberapa jagung kering menggantung di pagar rumah yang dihias dengan cat warna-warni, di depannya bunga beraneka warna bermekaran dengan bau yang semerbak harumnya.
Morgan merasa matanya sakit tiba-tiba, terlalu silau akan warna, beberapa orang pendek dengan topi lucu berwarna-warni melintas di depan mereka sambil memegang ember besi, sebuah kapak kecil dan palu di tangan mereka, memandang balik Morgan dan Thomas dengan mata besarnya yang penasaran.
Mereka adalah ras kurcaci.
Thomas turun dari kudanya, ia mendekat dan menyapa mereka dengan ramah. "Permisi … teman kami terluka, apa ada tabib di sini?"
Kurcaci bertopi merah itu tersenyum lebar, menampilkan wajah jenakanya, ia menunjuk sebuah rumah paling besar diantara yang lain sambil melompat-lompat semangat, menarik tangan Thomas mendekat, Morgan turun dari kudanya dan menggendong Iris yang terkulai di bahunya, wajahnya sudah sepucat kertas.
Rumah ini sedikit berbeda dari yang lain, selain bentuknya, rumahnya besar dari yang lain, ada banyak tanaman kayu yang disusun sedemikian rupa membentuk pagar, batu-batu disusun membentuk tapak-tapak jalan, di atap rumah diselimuti dengan tanaman bunga yang merambat, di bawahnya pot menggantung menghalangi jendela di setiap sudut, di sampingnya banyak rak dari kayu yang ditata dan diisi aneka pot tanaman, tumpukan kayu bakar tak jauh dari sana, sebuah cerobong terletak di bagian belakang, asapnya mengepul tipis-tipis. Semuanya terlihat seperti menyatu dengan alam. Natural.
Kurcaci bertopi merah itu menyeret tangan Thomas mengikutinya masuk ke pekarangan nan asri itu, aroma segar dedaunan langsung menusuk indera penciuman mereka, sesaat Thomas lupa dengan Iris. Kurcaci itu memandang pintu dan Thomas secara bergantian, Morgan di belakangnya tidak sabar, langsung mendobraknya dengan kasar.
"BRAK!"
"Tolong! Selamatkan Iris!" Ia langsung melengos masuk, meninggalkan Thomas dan kurcaci bertopi merah itu di luar, ia masuk tanpa permisi.
Di dalam seorang wanita dengan rambut pendek memandang Morgan dengan mata terbelalak kaget, ia menjerit keras. "Argh! Manusia cabul!!"
"PRAK!"
Morgan merasakan hidungnya berdenyut nyeri, sebuah penggorengan melayang ke wajahnya, ia mundur dan terduduk bersama Iris, menatap ngeri wanita itu, Thomas buru-buru masuk dan berusaha melindungi Morgan.
"Maaf, kami tidak bermaksud lancang!" Seru Thomas sambil merentangkan tangan, ia mendongak dan menatap wajah wanita itu bersama kurcaci bertopi merah.
Wanita itu memiliki rambut sehitam kayu eboni, kulitnya putih seputih salju, bibirnya merah delima, mata bulatnya berwarna biru seperti batu safir, ia memakai gaun sederhana berwarna biru pudar, sebuah celemek berwarna krim melingkar di pinggangnya, kakinya dibiarkan telanjang menapak lantai.
"Putri …" Thomas bergumam, hampir tidak terdengar, wanita itu mendelik kearah Morgan dengan bibir mencebik kesal.
"Do? Siapa mereka?" Wanita itu masih memegang gagang penggorengan, suaranya halus menyejukkan, napasnya memburu disertai wajah yang merah.
Kurcaci bertopi merah itu baru ingin membuka mulutnya, Morgan kembali menyela dengan panik. "Tolong, selamatkan Iris, detak jantungnya melemah!"
Wanita itu menatap Iris dan Morgan bergantian, ia lalu menghela napas panjang dan berkacak pinggang, ia menunjuk sebuah ranjang dengan seprai putih di sudut ruangan dengan dagunya. "Bawa ke sana."
Morgan langsung melompat membawa Iris ke ranjang itu, ia menyeka keringat yang bercucuran di kening Iris, wanita itu mendekat sambil membawa sebuah handuk, ia mendelik ke arah Morgan, mengusirnya lewat tatapan mata, Morgan menelan ludah dan mundur perlahan, wanita itu menarik tirai putih dengan kasar.
Morgan hendak protes tapi Thomas segera menarik tangannya menjauh, ia tahu mereka tidak dapat banyak membantu selain menonton dan khawatir. Keberadaan mereka hanya memperburuk keadaan.
Do membawa mereka ke sebuah gazebo di luar rumah, kayu yang disusun dan diikat dengan kulit kayu, atapnya terbuat dari tumpukan daun nipah, dekat dengan kebun arbei. Morgan mendengus kesal, tatapan matanya masih menyiratkan sebuah kegelisahan yang mendalam, sesekali ia melirik rumah itu.
"Dia akan baik-baik saja." Thomas bergumam pelan, Do menyodorkan sekeranjang buah arbei ke depan mereka, beberapa kurcaci lain berdatangan mendekat ke arah mereka dengan pandangan penasaran.
"Aku tetap khawatir," sahut Morgan, punggungnya dinaiki oleh seorang kurcaci bertopi hijau, ia membungkuk sedikit. "Hei, jangan tarik rambutku!"
Thomas hanya bersandar di dinding kayu, ia memakan buah arbei dan menyipitkan matanya ketika rasa asam memecah di lidahnya, Morgan yang melihat itu langsung menyeringai lebar.
"Do, namamu Do?"
Thomas melirik ke arah kurcaci bertopi merah itu, ia mengangguk-angguk. "Aku Do, itu Mi dan Si." Ia menunjuk kurcaci bertopi hijau yang ada di punggung Morgan, dan yang bertopi kuning sedang rebahan di lantai.
"Salam kenal, aku Thomas dan dia Morgan." Thomas menyapa dengan ramah, ia melirik rumah itu dan setengah berbisik ke arah Do. "Siapa wanita di rumah itu?"