Iris menoleh ke arah Putri Salju dengan pandangan bertanya. Putri Salju berdehem dengan canggung,matanya mengisyaratkan agar ia diam. Ia menuangkan air ke gelas untuk Iris.
"Aku kehilangan pangeranku karena penyihir putih, sepertinya kita punya masalah yang sama."
Iris diam, ia tiba-tiba teringat Thomas dan rambut putihnya yang lembut, ia hendak bangkit, namun segera ditahan oleh Putri Salju.
"Dimana Thomas?"
"Jika itu Pangeran kecil berambut putih, dia aman diluar," ujar Putri Salju dengan tenang.
"Apa maksudmu masalah yang sama?"
Putri Salju tersenyum menawan dengan bibir merah delimanya, ia menautkan jari-jemarinya yang lentik itu, sorot matanya sendu menerawang ke tirai jendela yang bergoyang-goyang.
"Dia membunuh pangeranku di altar suci, aku ingin membunuhnya," katanya dengan dingin lalu tersenyum menyeringai. "Bantu aku membalas dendam, penyihir merah."
Iris membelalakkan matanya dengan kaget, langsung beringsut dari ranjangnya dengan kaku, Putri Salju diam tak bergerak, ia terkekeh pelan.
"Darimana kau tahu?"
"Semua orang tahu, kau lepas kendali." Putri Salju mendekat dan menyingkap rambut Iris di belakang telinganya terdapat sebuah tanda merah seperti sulur daun yang tipis, ia menatap Iris dengan lekat.
"Aku langsung tahu ketika melihat luka yang kau derita, itu efek dari penyegelan kekuatanmu. Kau salah satu penyihir agung, kenapa harus menyegel kekuatanmu sendiri? Apa kau takut?"
Iris duduk dengan pelan, tangannya memegang gelas yang sama sekali belum diminumnya, ia menelan ludah dan memejamkan matanya.
"Apa mereka mengetahuinya?" Tanya Iris dengan cemas, ia membayangkan wajah takut Thomas dan wajah kaget Morgan.
"Ya," sahut Putri Salju dengan singkat. Ia duduk di hadapan Iris yang gemetar takut, tangannya memegang kedua bahu Iris.
"Kau takut dengan kekuatanmu sendiri?" Putri Salju bertanya ulang.
Iris menunduk dan mengangguk samar, jauh sebelum bertemu Sarah ia sudah mengetahui identitasnya sebagai salah satu keturunan penyihir merah, mereka hidup berkelompok bersama-sama, mempelajari kekuatan itu dan bersaing satu sama lain, tapi semakin Iris menekuni kekuatan itu, semakin ia takut, ia tidak bisa lagi melihat dirinya sebagai seorang penyihir ia hanya bisa melihat dirinya sebagai seorang monster.
Putri Salju menghela napas panjang, ia melepaskan tangannya dibahu Iris.
"Aku tahu perasaan itu," ucap Putri Salju dengan suara lembutnya. Iris segera menggeleng dengan keras, matanya menatap sang putri legenda dengan berang.
"Kau tidak tahu," sahutnya dengan napas tertahan, ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau tidak tahu sepeti apa rasanya dibenci, aku membangkitkan dan mengendalikan orang yang sudah mati, kau tahu seberapa menyeramkannya itu? Melihat orang yang sudah mati berdiri dihadapanmu … aku tidak bisa … aku tidak bisa seperti itu."
Iris menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya, ia sudah sering merasakan hal-hal seperti ini dalam hidupnya, perasaan mual dan pusing yang mendera kepalanya, pandangan yang mencemooh padanya, mengingat itu tubuhnya menggigil.
"Aku adalah salah satu putri legenda, hidupku seperti teratai putih, baik hati, cantik dan penyabar." Putri Salju tiba-tiba berkata dengan sendu, ia tersenyum kecil. "Aku hanya berpikir hidupku akan sesuai dengan dongeng yang tertulis, bahagia selama-lamanya."
Iris mendongak dan menatap putri Salju dengan pandangan bertanya. Wanita itu hanya tersenyum.
"Sampai hari itu datang, penyihir putih menghancurkan semua yang aku punya, aku menyesal tidak bisa melindungi orang yang aku sayangi," lanjutnya dengan lirih.
"Apa yang diinginkan penyihir putih padamu?"
"Dia mengumpulkan barang-barang sihir para putri legenda, apel berisi racun milikku telah dirampasnya, tentang putri yang lain … aku tidak tahu … kami tidak pernah berhubungan."
"Barang-barang sihir milik putri legenda? Maksudmu penyihir putih ingin …. Menciptakan Hydra?"
Iris ingat dengan sebuah dongeng pengantar tidur yang sering ia curi dengar dari anak-anak manusia, konon dahulu ada seorang penyihir yang selalu diolok karena kebodohannya, ia mendendam dan mencuri barang-barang putri legenda, mengumpulkannya dalam tungku sihir dan melahirkan seekor monster buas bernama Hydra, ia sepeperti ular atau naga dengan sembilan kepala yang tidak akan putus walau dipotong, monsteri tu dalam sekejap meluluh lantakkan negeri tanpa sisa.
Tapi untuk apa penyihir putih menciptakan Hydra? Ia tidak mengerti. Kerajaan Megalima kini sudah ada dalam gengamannya.
"Ya. Makhluk buas itu … kalau tidak dicegah akan menghancurkan seluruh kerajaan ini."
Iris tertawa dengan hambar, gelas di tangannya ia goyang-goyangkan. "Kenapa harus aku yang menghentikan penyihir putih, kenapa tidak kau saja?"
Putri Salju mencibir, ia mengerutkan keningnya dengan kesal. "Karena aku seorang putri lemah lembut dan baik hati dan kau seorang penyihir agung, takdir itu tidak bisa kau ingkari."
Iris memutar bola matanya dengan bosan, semua ocehan dari putri legenda ini membuat telingnya panas, ia kembali merebahkan dirinya di ranjang, dan memejamkan matanya.
"Yah … kau harus memulihkan tubuhmu," gumam Putri Salju sambil menarik tirai putih itu, Iris mendengar langkah kaki sang putri itu perlahan-lahan menjauh, ia merasa sangat mengantuk.
***
Morgan mendongak menatap langit yang dihalangi kubah merah muda, ia mengedip-ngedipkan matanya, dilangit beberapa Harpy berputar-putar mengitari desa kurcaci. Thomas mendekat dengan wajah muram, ia sangat kenal dengan Harpy yang melayang itu, dia adalah Kyle. Salah satu orang kepercayaannya dulu.
"Kubah merah muda ini benar-benar menyembunyikan kita dengan baik." Morgan berkomentar, diam-diam ia memuji putri legenda itu dalam hati, dengan begini mereka tidak harus sembunyi atau lari seperti kemarin-kemarin.
Thomas tidak berkata apa-apa, ia menatap lurus ke luar gerbang, di sana samar-samar sosok Andreas yang gagah beserta kudanya berdiri dengan wajah berang, ia memegang pedang milik Thomas dulu, memakai baju rompi perang yang mirip dengan miliknya, bahkan kuda yang sama dengan yang ia miliki.
Thomas mengerutkan keningnya dan sekektika ia merasa jijik dengan sepupunya itu, apa sebegitu terobsesinya ia hingga memiliki barang-barang yang dulu adalah milik Thomas, apa dia merasa bangga dengan itu? Thomas benar-benar jijik.
Keberadaan Andreas sejak awal memang tidak pernah ia pedulikan sejak dulu, mereka tidak dekat satu sama lain, setelah Thomas terbuang, Andreas malah bertingkah seolah ia menjadi dirinya, menduplikat miliknya, Thomas tidak mengerti jalan pikiran Andreas. Apa dia pikir orang-orang akan menyukainya? Tapi apa sosok Andreas peduli dengan pendapat orang lain, dilihat dari kearoganan tampangnya Thomas berpikir itu tidak mungkin.
"Nona penyihir sudah sadar!" Do berteriak dengan girang, ia tidak terlihat khawatir dengan banyaknya Harpy yang berputar-putar di langit desa mereka.
Morgan menoleh dengan wajah sumringah, ia tanpa basa basi bergegas mengikuti langkah-langkah kecil Do tanpa menunggu reaksi Thomas.
Thomas melirik seekor kelelawar yang menggantung di dahan pohon, ia berdehem dengan canggung.
"Aku tahu itu kau … Alita."