"Thomas."
"Thomas."
Laki-laki itu tersentak kaget, ia membuka matanya, menyipit, cahaya matahari yang menyilaukan membuat matanya sakit, ia mengangkat tangannya, bangkit dari tidurnya dan mendapati dirinya berada di sebuah padang rumput yang sangat luas.
Thomas menoleh ke kanan dan ke kiri, matahari bersinar begitu terik, langitnya biru bersih tanpa awan, rumput-rumput bergoyang-goyang tertiup angin, pohon-pohon terlihat tumbuh dengan jarak yang sangat jauh.
Thomas mengerjap-ngerjapkan matanya, memandang tangan dan kakinya, ia terperangah.
Ia bisa melihat dan tubuhnya kembali seperti semula, dengan terhuyung-huyung, Thomas bangkit, ia meraba-raba tubuhnya, dari atas sampai ke bawah, menarik rambutnya, memastikan kalau rambutnya tidak lagi berwarna putih, kakinya ia selonjorkan, dan tangannya ia rentangkan.
Semuanya kembali!
Thomas terdiam, ia bingung.
"Hati-hati! Kau akan jatuh!" Pekikan seorang wanita dengan langkah kuda yang berderap-derap datang dari kejauhan, Thomas menoleh.
Dua ekor kuda berwarna putih berlari mendekat, suara gelak tawa mengiringi setiap langkah kuda itu, dua orang anak kecil menunggangi kuda dengan mata berbinar, yang laki-laki terlihat lebih pendek, memegang kekang dengan senyum lebar, sedangkan yang perempuan terlihat lebih besar darinya, duduk di belakang sambil tertawa-tawa mengejek wanita yang berkuda di belakang mereka.
"Kalau jatuh, ya … jatuh aja!"
Wanita yang berkuda itu tertawa kecil, ia masih membuntuti dua anak kecil itu, rambut panjangnya di gelung ke atas, berwarna hitam kemerahan, wajahnya terlihat muda, bibirnya merah merona, kulitnya berwarna kuning langsat, ia memakai celana kain, dilapisi dengan sepatu kulit tinggi sampai hampir ke lutut, bajunya terbuat dari kain katun dengan rompi berwarna coklat.
"Aduh!" Anak kecil laki-laki itu tiba-tiba menarik kekang, kuda meringkik dan mengangkat kaki depannya ke atas, tak ayal dua anak itu jatuh ke tanah, tepat di hadapan Thomas.
Wanita itu tertawa, segera turun dari kudanya, ia membantu dua anak itu duduk.
"Ibu sudah bilang kan?" Wanita itu mengambil sapu tangan dan menyeka tanah di wajah kedua anaknya.
"Aku tidak menangis kok!" Yang laki-laki tiba-tiba berdiri, namun jatuh kembali karena tidak menyadari lututnya terluka, ia meringis dan menangis keras.
Wanita itu tertawa, ia memeluk anaknya dan membisiki kata-kata lembut, kemudian suara gelak tawa terdengar, mereka saling bercanda satu sama lain.
Thomas masih berdiri di sana, melihat itu semua, air matanya berjatuhan tanpa ia sadari.
"Ibu … Kakak …." Ia tergugu, jatuh berlutut ke tanah, ini adalah ingatannya sewaktu ia berumur lima tahun, di mana itu adalah tahun yang paling membahagiakan dalam hidupnya, waktu itu ia belum mengerti tentang kerajaan, belum belajar dan tidak punya banyak tuntutan, ia hanya tahu bermain-main, begitu pula dengan kakaknya, gadis itu bahkan belum tahu bagaimana caranya memoles wajah, belum belajar bagaimana caranya berjalan anggun layaknya putri, kakaknya itu selalu berada di sampingnya setiap saat.
Thomas mendongak dan merasakan angin bertiup kencang menerbangkan dedaunan kering, awan hitam tiba-tiba datang berarak-arak menghalangi cahaya matahari, tetesan-tetesan hujan jatuh membasahi bumi dengan derasnya, membuat air menggenang di dekat Thomas, tanah yang tadinya penuh rumput, kini menjadi lunak dan berlumpur.
"Thomas, kau harus menyelamatkan kakakmu," ucap seorang wanita dengan darah keluar dari mulutnya, tubuhnya kurus kering, tangannya menampilan urat-urat yang menonjol di atas daging, ia memegang wajah Thomas, menatap dengan pandangan sendu.
Tangan itu melemah, Thomas buru-buru memegangnya, menangkupnya di depan dadanya, ia memeluk wanita ringkih itu kuat-kuat dengan air mata bercucuran, ia menggeleng-geleng.
"Tolong bertahan, ibu." Thomas terisak, napas wanita itu terputus-putus di dekapannya, tidak butuh waktu yang lama, tubuh itu tidak lagi bergerak. Thomas memegangi wajah ibunya, mengusapnya dengan penuh kasih, menyeka tetesan air hujan yang jatuh dengan deras, seolah berduka dengan meninggalnya ratu yang paling dicintai di kerajaan Megalima.
"Lepaskan aku!" Seseorang meraung di tengah hujan, Thomas tersentak, raga ringkih dalam dekapannya menghilang. Sekitarnya yang tadi padang lumpur dan hujan berubah dalam sekejap, ia berada di depan sebuah bangunan dengan aroma anggur yang sangat kuat, tirai-tirai berwarna merah terbentang di mana-mana, suara makian terdengar di setiap sudut disertai dengan suara desahan yang membuat Thomas merinding.
Di depannya ini adalah rumah bordil.
Tepat di hadapannya seorang wanita meringkuk dengan mata merah dan bengkak, gaunnya robek disana-sini, rambutnya lepek, tubuhnya yang putih itu penuh bekas luka di sana-sini, ia meronta-ronta, tangannya memegangi sebuah rantai yang melilit lehernya, ia terseret dengan kasar oleh seorang Orc wanita yang berwajah dingin.
"Aku Putri Tiersa, tolong lepaskan aku!"
Thomas merasakan tubuhnya gemetar hebat, di tempat ini, kakaknya tidak diperlakukan dengan manusiawi di depannya sendiri, ia memejamkan matanya ketika bunyi tamparan terdengar berkali-kali diselingi jeritan tangis yang menyayat hati.
Suara tawa dari laki-laki terdengar, mengeluarkan kata-kata kotor melecehkan kakaknya, bagai seorang lacur, rambut wanita itu dijambak, tubuhnya di raba-raba dengan kasar, membuat Tiersa menjerit keras.
Ini kenangannya beberapa bulan yang lalu, setelah ia dikutuk penyihir putih. Ratu Valerie seolah sengaja menyiksanya dengan mempertontonkan seperti apa kakaknya disiksa di depannya sendiri.
Thomas memejamkan matanya, jeritan demi jeritan menusuk telinganya, ia menarik napas dalam-dalam, dan membuka matanya kembali.
Di depannya saat ini berubah menjadi kosong, putih, seperti ruang hampa.
"Sudah puas mempermainkan aku?" Thomas melirik ke belakang, gadis kecil yang tadi membawanya duduk di atas seekor ular putih besar, matanya yang berwarna merah itu memicing, persis dengan ular yang berada di bawahnya.
"Hebat juga, bisa lolos dari ilusi yang aku ciptakan." Gadis itu menegakkan tubuhnya, kakinya yang telanjang itu menapak lantai, ia menyeringai.
Di setiap langkah ia mendekat, tubuhnya perlahan-lahan membesar, membentuk tubuh seorang wanita dewasa yang ramping, rambutnya memanjang dan halus, pakaian yang melilit tubuhnya menjadi mengecil hingga hanya bisa menutupi dada sampai pangkal pahanya.
"Aku akan memberimu batu untuk mematahkan kutukannya, tapi dengan satu syarat." Wanita itu meletakkan tangannya di pundak Thomas, lidahnya menjulur keluar, membelai pipi Thomas.
Thomas diam tak bergerak, tangannya mengambang di atas udara, kaki wanita ular itu naik ke pinggangnya, ia mendesis dan memandang Thomas dengan pandangan menggoda.
"Jadi milikku," lanjutnya dengan tangan saling memeluk Thomas, laki-laki itu diam sebentar, tubuh di depannya ini tak henti-hentinya bergerak menggoda, ia memejamkan matanya.
Tangan Thomas bergerak memeluk wanita itu, mendekapnya dengan erat, wanita ular itu terkekeh pelan. Thomas menyandarkan wajahnya di bahu wanita itu, ia menghembuskan napasnya tepat di telinganya dan berbisik dengan suara rendah.
"Dalam mimpimu," ucapnya, wanita itu tersentak, sebuah belati tiba-tiba menghunjamnya dari belakang, ia menoleh, dan mendapati tangan Thomas memegang belati itu, tangan itu berayun, menghunjam di tempat yang sama, jantung.
"Akh!" Wanita ular itu meronta, ia dengan cepat menghindar, melompat kembali ke ular besar yang tadi di duduki olehnya, terbatuk-batuk.
Darah segar mengalir di mulutnya bersamaan dengan darah yang mengalir di punggungnya, ia menatap Thomas dengan penuh kemarahan.
Belati di tangan Thomas membesar, membentuk pedang yang tajam, raut wajah laki-laki itu sedingin es, matanya menyipit dengan penuh kemurkaan.
"Kau laki-laki kurang ajar!"