"Apa yang terjadi?!" Aku yang baru saja memarkirkan asal becky di depan pagar langsung turun menerobos masuk ke dalam rumah Verlyn. Sekumpulan polisi menghadang untuk melarangku masuk, tapi ketika kulihat Verlyn menangis dengan tubuh bersandar di dinding teras rumah aku tak peduli lagi dengan semua teguran yang melarangku untuk masuk ke area garis kuning. Kuhampiri ia yang kini terduduk lalu menempelkan wajahnya dengan lutut yang ditekuk.
"Verlyn, kenapa? Apa yang terjadi disini?" Verlyn tak langsung menjawab melainkan segera memeluk erat leherku ketika tahu aku ada di hadapannya, hampir saja aku terjungkal ke belakang jika tidak cepat menahan dengan tubuhku.
Kurasakan bajuku basah oleh air matanya. Kuusap punggungnya bermaksud menenangkan. Sambil mengusap kuedarkan pandanganku ke dalam rumah, aku melototkan mata tak percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Ya, Tuhan kuatkan Verlynku. Perbuatan gila siapa lagi ini? Astaga.
Sesaat tak ada pergerakan lagi oleh Verlyn, aku segera berdiri dari posisi jongkokku sembari menggotong tubuh Verlyn di pundakku ---dia pingsan. Seberat apapun tubuhnya, ini tidak seberapa dengan beban berat yang saat ini menimpanya. Jangan heran bagaimana bisa aku mengangkat Verlyn, aku bukan cewek lemah.
"Apa Anda temannya?" tanya salah satu polisi yang tiba-tiba mengampiriku yang kubalas dengan menganggukan kepala.
"Untuk sementara bawa dia pergi dulu dari sini! Buat dia tenang, sementara kami akan mengidentifikasi pelaku di TKP dan mengotopsi korban." perintah pak polisi.
Aku segera membawa Verlyn ke dalam becky --- mobil katanaku. Setelah selesai meletakannya di jok belakang aku segera masuk kebagian kemudi dan menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Aku akan membawanya ke rumahku. Sesampainya di rumah, aku segera menggotongnya lagi masuk ke dalam kamarku.
Karena sekarang sudah sangat larut malam. Kubiarkan saja Verlyn yang pingsan seperti tidur itu beristirahat. Lagipula aku juga capek karena mesti membawanya naik tangga ke lantai tiga kamarku.
Kuselimuti tubuhnya sampai batas leher sambil sempat kuciumi wajahnya.
"Kamu kuat, Verlyn. Aku yakin kamu pasti bisa lewatin ini." bisikku di telinganya sembari mencium keningnya lama. Tak terasa air mataku jatuh mengenai matanya. Verlyn pun terbangun.
"Jangan tinggalkan aku juga, Zarrel," lirihnya kemudian menarik dengan lemah tubuhku untuk di peluknya. Aku membiarkan sementara posisiku yang masih setengah badan dipelukan Verlyn dengan kaki yang masih menyentuh lantai.
"Aku di sini, Verlyn. Aku nggak akan pergi." sahutku dengan berbisik tepat di telinga kirinya. Dengan perlahan aku membawa kakiku ke atas ranjang dan memposisikan diri tiduran di samping Verlyn dengan tangannya yang masih tak mau lepas memeluk leher dan pinggangku.
_____________
Esok paginya aku tidak melihat Verlyn berada di sampingku. Sepertinya ia bangun lebih dulu dariku. Jam menunjukan pukul enam pagi. Aku segera bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka. Aku putuskan untuk tidak pergi ke sekolah hari ini. Aku tidak akan membiarkan Verlyn terpuruk sendirian, setelah melihat apa yang terjadi dengannya dini hari tadi.
Setelah selesai dengan aktivitasku, kulangkahkan kaki menuju balkon karena barangkali dia ada di situ. Tidak ada. Aku berbalik menuju lantai dasar, tetap tidak ada. Namun, sesaat kulihat kulkas di dapur terbuka lalu menutup dan terbuka lagi begitu seterusnya, kuputuskan untuk mendatangi itu. Ternyata Verlyn sedang memainkannya dengan membuka tutup pintunya. Jika kubiarkan lama-lama pintunya bisa terlepas.
"Verlyn!" panggilku.
"Hm,"
"Kamu ngapain?"
"Main perosotan." Disaat seperti ini ia masih bisa bicara melantur.
Aku beranjak untuk mengangkat tubuhnya agar berdiri dari posisi yang nggak banget---duduk di lantai dengen bersender di samping kulkas sambil buka tutup pintunya.
"Mandi dulu, yuk!" ajakku sesaat sudah dapat membuat Verlyn berdiri sepenuhnya. Tapi, kepalanya masih bersender di kulkas.
Verlyn menggeleng.
"Ish, kalau kamu nggak mandi kasihan akunya harus pura-pura tahan dekat-dekat sama kamu," ucapku.
Pletak!
"Ish! Kok, aku malah dijitak, sih?" ucapku dengan memajukan bibirku sembari mengusap kepalaku.
"Kamu, tuh, ngeselin. Ya, sudah aku mandi bareng Riyal aja kalau gitu." ucapnya dengan mengacak rambutku sebentar kemudian beranjak pergi kesana-kemari sembari memanggil, "RIYAAALL!!"
Kasihan Verlyn, pasti ia nggak ingat kalau Riyal sudah nggak ada.
"Zarrel! Riyal tidur di mana, sih? Kok, nggak ada? Tumben dia belum bangun jam segini."
Aku hanya terpaku menatapnya yang sedang sibuk mencari keberadaan Riyal. Aku tak tega melihatnya seperti ini, Tuhan.
"Verlyn," sontak aku memeluk tubuh Verlyn dari belakang sesaat ia hendak melangkah naik ke atas tangga, "jangan seperti ini, Verlyn. Aku mohon," lirihku.
"Maksud kamu apa? Aku cuma mau cari Riyal, Rel. Di mana Riyal? Kita, kan, lagi nginap di rumah kamu."
Aku mengeleng lemah, "nggak, Ver, Riyal sudah nggak ada," ucapku dengan memeluknya semakin erat kala kurasakan tubuhnya menegang sesaat mendengar perkataanku.
"NGGAK!! RIYAL MASIH HIDUP!" ia memberontak paksa dalam dekapanku. Selanjutnya berlari ke atas dengan meneriakan nama Riyal, "RIYAL!! JAWAB KAKAK! KAMU DI MANA, DEK?! RIYAL!" panggilnya berulang kali.
"Verlyn...." seruku dengan mendatangi Verlyn yang mulai frustrasi tak dapat menemukan Riyal.
"Sabar. Riyal sudah nggak ada lagi. Kamu harus terima ini," ucapku dengan menyentuh punggungnya.
"NGGAK!! KAMU BOHONG! Kemaren sore aku masih sama Riyal. Bagaimana bisa Riyal nggak ada sekarang!" sanggahnya dengan menepiskan tanganku.
"Kamu melihat sendiri, Verlyn. Kamu melihatnya,"
Dalam beberapa saat Verlyn terdiam seolah mengingat apa yang baru saja dialaminya tengah malam tadi. Aku tahu seharusnya aku menenangkannya dengan (sedikit) berbohong dengan mengatakan kalau Riyal masih hidup, tapi sungguh aku tidak ingin membuatnya seperti tidak menerima kenyataan. Aku takut ia akan terus-terusan seperti itu jika dari awal tidak kuingatkan.
"Katakan padaku bahwa itu hanya sebuah mimpi buruk, Zarrel!" ucapnya yang tiba-tiba dengan meraih dua pundakku. Seraya menatapku meminta jawaban.
"Verlyn... aku tahu kamu sangat terpukul. Tapi, tolong terima kenyataan ini." sahutku dengan menangkup wajahnya kemudian mengelus wajahnya.
Air mata itu kembali turun di wajahnya. Isak pilu kembali terdengar dari bibirnya. Aku sontak memeluknya dengan begitu erat. Menyalurkan perasaan bahwa dia tidak ditinggal sendirian.
"Menangislah, Verlyn. Menangislah! Aku akan akan ada di sini untuk menemanimu,"
"Lalu dii mana tubuh Riyal sekarang?" cicitnya dengan suara serak.
"Riyal di rumah sakit, jenazahnya sedang di autopsi guna mencari tahu siapa pelaku yang telah tega membunuhnya."
"Papa," gumam Verlyn yang masih terdengar olehku.
"Om Dirga?" tanyaku heran, "ada apa dengan om Dirga?"
___________________
_________________
Verlyn POV
Sore itu sepulang sekolah, aku dan Zarrel tengah mengabiskan waktu bersama di taman dekat rumah sakit. Di sini tidak terlalu banyak orang, padahal suasananya nyaman dan sejuk. Maklum, seluruh kegiatan yang dilakukan di taman ini bakalan terlihat oleh orang lain dari sudut pandang manapun. Makanya anak-anak mudanya pada nggak mau nongkrong di sini. Lalu kenapa aku dan Zarrel mau ke sini? Ya, karena kami nggak ngapa-ngapain. Toh, yang terlihat justru kita seperti kakak beradik, karena tubuh Zarrel yang hanya setinggi hidungku. Pula, kami yang memiliki wajah yang alhamdulillah bisa dibilang cantik nan mempesona, insya Allah nggak akan ada yang ngira langsung bilang yang nggak nggak walaupun itu iya.
Setelah dirasa cukup untuk mengabiskan waktu bersamanya, aku dan Zarrel pulang dengan diantar Zarrel pakai mobilnya. Sedang motorku akan dibawakan sama pak Samba.
Sesampainya di rumah, aku segera mandi guna membersihkan diri. Tak lama kemudian teriakan Riyal menggema ke seluruh penjuru rumah.
"Kak Verlyn! Camilan Riyal yang ada di kulkas mana?!"
Aku yang tengah menggosok gigi tidak dapat menyahut. Kubiarkan saja ia yang teriak-teriak. Sesaat kemudian aku tak mendengarnya lagi.
________
"Kak!"
"Astagfirullah, Riyal!" seruku ketika sesaat membuka pintu kamar mandi ada tuyul berdiri di hadapanku.
"Camilan Riyal mana?"
"Kalau nggak ada, berarti habis, Yal," ucapku kemudian berlalu di hadapannya menuju ruang tengah untuk menonton tv.
"Ish, Kakak, kita ke supermarket, yuk!"
"Bentar lagi, ah," sahutku yang mulai asik menonton acara kartun kesukaanku.
________
Sesampainya di teras rumah ---sesaat sebelumnya aku dan Riyal habis dari Alfamidi. Dering telponku berbunyi menandakan panggilan masuk. Kulirik sebentar ponsel yang menyembul di saku dadaku --- aku menggunakan piyama tidur berkantung di dada.
Zarrel. Ia menelponku dengan video call. Aku segera menyuruh Riyal segera masuk dan membawakan kantong camilannya ke dapur untuk mengisi penuh kulkas. Setelah selesai kutinggalkan Riyal yang kini asik di ruang keluarga menonton kartun dan memakan sebagian kripik camilannya.
Aku menuju kamar tak lupa mengambil laptopku dan pergi ke balkon. Kulirik lagi ponselku sudah ada empat panggilan terabaikan. Kemudian kubuka aplikasi Line lewat laptop lalu kucari nama Zarrel dan menelponnya dengan video call.
Panggilan tersambung.
Belum terhubung.
...
...
...
"Tadi aku telpon nggak diangkat-angkat," celetuk Zarrel tiba-tiba dengan wajah yang dibuat-buat bete.
"Tadi lagi di jalan dari teras menuju kamar," sahutku jujur.
"Emang kamu habis dari mana?"
"Dari temanin Riyal jajan di minimarket."
"Ohh."
"Itu doang?"
"Terus apa lagi?"
"Ck, ngomong-ngomong ada apa nih vc-vc aku?"
"Bukannya kamu, ya, yang vc aku sekarang, nih."
"Ck, yang tadi itu lho ada apa?"
"Nggak ada. Cuma mau mastiin kamu masih napas apa nggak aja."
"Ah, masa, sih?"
"Kalau nggak percaya, ya sudah."
"Emang aku nggak percaya, orang kamu lagi kangen, kan, sama aku, kan kan kan? Padahal, baru juga tadi sore abis ketemu."
"Ish, enggak kok. Nggak usah kepedean, deh," dia nggak ngaku padahal aku bisa lihat dengan jelas muka merahnya nahan malu karena gengsi nggak mau ngaku.
Kulihat Zarrel beranjak pindah ke boneka besar beruang putih miliknya. Ia tengkurap dengan kepalanya rebahan di hidung boneka itu.
"Unyu banget, sih."
"Aku emang---"
"Bonekanya, nggak usah GR, please."
"Ish, kamu, mah, ngeselin."
"Biarin. Emm, Rel, kamu bisa mainkan piano sekarang nggak?" tanyaku sesaat melihat piano klasik yang tergeletak tak berdaya di sudut kamar Zarrel.
"Bisa. Kenapa?"
"Kolab, yuk?"
"Maksudnya?"
"Kita kolaborasi. Kamu mainin piano kamu, aku mainin biola aku." perintahku kemudian beranjak ke kamar mengambil biola lalu kembali lagi. Rupanya Zarrel sudah pindah duduk di depan pianonya.
"Kamu bisa main biola?" tanyanya dengan bersedekap meremehkanku.
"Kalau aku nggak bisa ngapain aku sok-sokan pegang biola." jawabku sembari memutar bola mata malas.
"Oke-oke aku percaya, kok. Kita mau mainkan lagu apa, nih?"
"Surat cinta untuk kamu,"
"Kamu?"
"Iya kamu."
"Ck, apaan, dah, garing."
"Ya sudah, buruan mainkan!"
Zarrel memulai intro musiknya dengan aransement yang agak sedikit diubahnya. Namun, tak merubah nada yang sebenarnya.
Kemudian sesaat Verlyn menyanyikan lirik pertama. Aku menggiringnya dengan biolaku.
Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu
Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu
Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini
Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Selanjutnya aku yang melanjutkan lirik lagunya dengan biola yang terus kumainkan. Tidak sulit untukku melakukannya
Aku pernah berpikir tentang hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini
Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu
Tetap cantik rambut panjangmu
Meskipun nanti tak hitam lagi
(Kemudian kami bernyanyi bersamaan)
Bila habis sudah waktu ini tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu... untukmu
Hidup dan matiku
Bila musim berganti
Sampai waktu terhenti
Walau dunia membenci
ku kan tetap di sini
Bila habis sudah waktu ini tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa pada dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
"I love you, Zarrel," ucapku sesaat kami hening dengan menatap layar laptop masing-masing.
"I love you too"
Kulirik sebentar jam di dinding yang menunjukan pukul 10 lewat 5.
"Sudah malam. Kamu tidur, gih!"
"Emang dari tadi sudah malam kali," sahut Zarrel.
Aku segera mengangkat laptopku masuk ke dalam kamar lalu meletakannya di atas kasur dengan aku yang berbaring di sampingnya.
Kulihat Zarrel melakukan hal yang sama.
"Ayo, tidur! Besok sekolah," perintahku sesaat melihat Zarrel memainkan game pou di ponselnya.
"Sebentar lagi," sahutnya tanpa menoleh ke layar.
"1... 2... ---"
"Oke, aku tidur sekarang!" gusarnya dengan menekan tombol house mengembalikan menu game.
"Good nite. Nggak usah dimatiin. Sayang kuotanya kebanyakan nggak digunain," ucapku agak sedikit songong.
"Dih, sombong banget sih. Ya, sudah good nite."
######
Dua jam kemudian
Bruk!
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu didobrak paksa dari luar. Kulirik sebentar layar laptop yang masih menghubungkan video call, tampak Zarrel tengah tertidur pulas memeluk guling.
Aku segera beranjak keluar kamar untuk melihat siapa yang membuat gaduh tengah malam begini. Meski dalam keadaan mata yang masih setengah terbuka kupaksaan juga.
"Papa?" sontak aku menghampiri tubuh papa yang dalam ke adaan mabuk. Aku merengkuh tubuhnya yang terkapar di lantai untuk membawanya duduk ke sofa.
"LEPASKAN SAYA ANAK HARAM!"
Deg!
Apa maksud papa? Ah, papa pasti lagi ngaco ini. Tapi, kenapa papa mabuk? Ada apa?
"RIYAL!! BANGUN KAU!!" teriak papa.
"Papa, jangan teriak-teriak in---"
"DIAM ANAK HARAM!!"
"Iya, aku anak haram, Pa. Tapi, please, Pa, jangan teriak-teriak. Ini sudah tengah malam."
Bug!
Tak kusangka dalam keadaan mabuk pun tenaga papa masih sangat kuat.
Aku mengelus sudut bibirku yang terluka.
"Pa... papa kalau ada masalah cerita sama Verlyn, Pa. Jangan seper---"
"Kakak ada ap---"
Brush! Prang!
"PAPA!!!"
Aku segera menghampiri Riyal yang sedang menahan sakit kala tadi papa tiba-tiba melemparnya dengan vas bunga.
"Sayang, kamu nggak apa?"
"Sakit, K-Kak!"
Stret!
Riyal ditarik paksa oleh papa lalu dilemparkan ke undakan tangga. Aku yang tak sempat menyelamatkan tubuhnya hanya terpaku melihat apa yang baru saja papa lakukan. Lalu sesaat kemudian terdengar kaca jendelaku dipecahkan dari luar. Salah satu warga memaksa masuk. Sedangkan papa langsung kabur lewat jalan belakang. Setelah sebelumnya menikam kepala Riyal menggunakan pecahan vas bunga tadi.
Kakiku tiba-tiba tak bisa digerakan. Aku diam mematung.
Jika ini mimpi buruk, siapapun tolong bangunkan aku sekarang juga. Tanpa kusadari rumahku telah ramai oleh para tetangga dan sekumpulan polisi. Seorang polisi menuntunku untuk keluar sementara.
_______
"Jadi, itu ulah om Dirga?! Papa kamu sendiri!?"
Verlyn mengangguk mengiyakan. Tanpa mereka sadari di luar rumah --- tepatnya di balik jendela yang tidak jauh berada di sisi mereka--- ada seseorang yang sedang mengawasi mereka disertai seringai puas di wajahnya.
"Ini belum seberapa Verlyn," gumam orang itu dengan terkekeh.
...