Hujan.
Aku teringat dengan masa dimana aku dulu pernah hujan-hujanan dengan seorang gadis kecil di sawah terasering di lereng Gunung Ifugao, dataran tinggi Luzon, Filipina --- saat aku liburan. Waktu itu aku tengah berjalan sendirian dipinggiran terasering itu. Tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya. Aku sempat hendak ingin berbalik pulang ke rumah penginapan, tapi sesaat aku merasakan air hujan mengenai kulitku. Aku mengurungkan niatku. Rasa air hujannya begitu dingin dan menyegarkan, membuatku betah diterpa di bawahnya. Kurentangkan kedua tanganku demi lebih merasakan butiran hujan yang jatuh. Samar-samar aku mendengar bunyi suara seseorang menangis. Kuusap wajahku sebentar dengan lengan bajuku yang sudah basah juga. Kuedarkan pandanganku guna mencari dari mana sumber suara itu berasal. Sangat sulit memfokuskan telinga di saat hujan lebat begini. Aku pikir itu hanyalah halusinasiku saja yang membuat suara hujan seolah seperti suara orang menangis.
Aku kembali menapakkan kakiku perlahan menuju penginapan. Kurasa sudah cukup untuk hujan-hujanannya. Tapi, baru beberapa langkah aku berjalan suara tangisan itu kembali terdengar, untuk kali ini kudengar begitu jelas. Sesaat kulihat di bawahku, ternyata ada seorang gadis kecil yang kutaksir usianya hanya beberapa tahun dibawahku. Aku rasa dia tergelincir masuk ke kawah sawah itu. Kemudian aku menolongnya untuk naik dan itu cukup susah. Terlalu licin dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa aku juga ikut kecebur ke sawah. Entah kebetulan macam apa aku melihat seutas tali yang berada tidak jauh didekatku. Singkat cerita aku pun menolongnya menggunakan tali itu, tapi karena ia tidak kuat berjalan jadi aku menggendongnya dan membawa ke penginapanku. Untung sudah tidak terlalu jauh.
Mama terkejut saat aku datang dalam keadaan yang sangat berantakan. Gadis kecil itu pingsan dalam gendonganku. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan ganti baju, sedang gadis kecil itu kubiarkan mama yang mengurusnya. Aku melihatnya sekali lagi wajah gadis kecil itu, bibirnya merah dan tipis, hidungnya mancung, matanya agak sipit dan beralis tebal. Setelah itu aku barulah beranjak untuk mandi.
Beberapa saat kemudian ketika aku kembali, aku tidak melihat gadis kecil itu lagi.
"Mama, kemana anak yang tadi kubawa?"
"Sudah pulang,"
"Kok, bisa?"
"Iya, tadi ada orang tuanya nyariin. Kebetulan dia juga sudah terbangun,"
"Dia sudah ganti baju?"
"Sudah, mama berikan baju kamu. Walaupun sedikit kebesaran setidaknya dia tidak kedinginan,"
Aku mengangguk perlahan, "Siapa namanya, Ma?"
"Astaga, mama lupa nanya. Kamu sendiri memang nggak tahu namanya?"
"Nggak, kan, waktu aku bawa ke sini dianya sudah pingsan."
__________________
"Rel? Kamu mikirin, apa? Sudah teduh, nih, ayo balik!" tegur Verlyn ke Zarrel yang sejak bel pulang sekolah tadi melamun saja. Sebenarnya mau sedari tadi ia menegur cuma lagi malas ngomong aja sampai akhirnya kembali mau ngomong.
"Ah, iya, ayo!" sahut Zarrel dengan menggandeng tangan kiri Verlyn menuju parkiran. Hari ini tadi mereka berangkat dengan motor Verlyn karena mobil Zarrel tiba-tiba tidak bernapas alias mogok.
Sesampainya di parkiran, "Rel? Jujur sama aku kamu kenapa?" tanya Verlyn dengan memicingkan mata melihat intens ke wajah Zarrel.
"Aku nggak apa-apa, kok. Tadi cuma kebawa suasana hujan aja."
"Benar?"
"Iya, beneran. Sini kuncinya! Pulangnya aku yang bawa,"
"Emang kamu bisa naik motor?"
"Enggak,"
"Terus ngapain sok-sokan mau bawa?"
"Kenapa harus nggak bisa, maksud aku, tuh."
"Dih!"
"Lagian, aku cuma mau bawa sampai ke luar gerbang. Abis itu kita naik grab aja. Biar motornya di ambil sama pak Samba."
"Ck, ribet, ah. Udah naik motor aja kenapa, sih."
"Langitnya masih mendung. Nanti kalau kita kehujanan gimana? Itu juga aku yakin kamu nggak bawa jas hujan, kan? Ya, sudah intinya kamu harus nurut sama aku. Kalau nggak, nggak usah pulang bareng aku. Nah, itu mobil grab nya. Motornya taroh sini saja. Ayo, naik!" Verlyn mendadak cengo mendengar cerocosan Zarrel yang sangat jarang terjadi itu. Tidak biasanya Zarrel ngomong secepat itu, tapi masih bisa ditangkap kata-katanya. Dengan wajah yang masih terpukau Verlyn akhirnya masuk dan duduk di samping Zarrel. Sedangkan Zarrel sudah kembali jadi Zarrel yang biasanya, biasa aja.
___________
Tidak biasanya keadaan sekolah pagi ini terlihat ramai. Biasanya hanya ada beberapa murid yang keluyuran di lorong, tapi kali ini....
"Gila cakep bener,"
"Astaga, dia bidadari apa malaikat?"
"Calon istri masa depan,"
"Bapaknya dulu sunat di mana, ya?"
Begitulah bisik-bisik tetangga yang terdengar jelas oleh Verlyn. Ia yang baru sampai di pintu kelas itu segera menoleh kebelakang penasaran siapa yang jadi bahan bisikan itu.
Deg!
Orang itu, kan....
Drrrrtt
Zarrel: Verlyn, aku kayaknya telat masuk, deh. Pak Garra nyuruh aku beresin ruang seni.
Verlyn tidak membalas melainkan langsung masuk ke dalam kelas karena sebentar lagi bel masuk. Ia sepertinya lupa dengan seseorang yang tadi di lihatnya.
____________
"Kapan lo datang?" tanya Verlyn ke seorang cewek yang baru dilihatnya tadi pagi. Setelah mendapatkan pesan singkat dari si cewek yang entah dapat dari mana nomornya itu ia kemudian mengadakan pertemuan di hutan belakang sekolah. Iya, hutan yang dulu jadi tempat pertama Zarrel memulai berteman dengan dua orang sakit itu.
"Lo nggak perlu tahu kapan gue datang. Yang jelas sekarang gue sudah ada di depan lo," sahut cewek itu sambil memainkan rambutnya yang dicat seperti huban itu alias abu-abu. Heran orang tua aja mau ramhutnya tetap hitam, tapi dia malah... ya, sudahlah, ya.
"Mau lo apa sekarang?" tanya Verlyn dengan menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun.
"Mau gue? Kita damai aja." sahut cewek itu disertai cengiran dengan mengangkat tangan lalu membentuk dua jari.
Verlyn menatap lekat wajah itu. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan orang yang berhadapan dengannya saat ini.
"Lo pasti ngerencanain sesuatu, kan?" tanya Verlyn dengan menyipitkan mata menatap curiga.
"Oke Verlyn, soal kejadian 3 tahun yang lalu itu gue minta maaf. Sekarang gue kembali buat perbaikin kesalahan gue. Maafin gue ya," cewek itu meletakan lututnya di tanah, "please!," mohonnya.
Melihat itu tak langsung membuat Verlyn luluh. Pasalnya ia sangat mengenal orang yang ada di hadapannya saat ini. Ranja, cewek yang dikenal dengan mulut racun berkepala ular. Seperti itulah Verlyn melabelkan orang yang sedang berlutut dihadapannya saat ini.
"Bangun lo!"
Ranja bangun perlahan, terlihat dengan jelas air matanya mengalir di pipi seolah ia memang benar-benar dari hati melakukannya.
"Kita jadi teman, kan?" pinta Ranja lagi kali ini dengan mencoba memegang tangan Verlyn tapi keburu ditepis oleh Verlyn.
"Oke. Tapi, dengan satu sarat."
"Apa itu?"
"Kalau lo kembali berulah seperti waktu itu. Gue nggak akan segan-segan buat hancurin hidup lo!"
"Oke-oke gue janji!"
"Bagus, deh!" Verlyn berlalu begitu saja meninggalkan Ranja yang menyeringai licik di belakangnya.
Sesampainya di kelas.
"Kamu ngapain, sih, di toilet lama banget?" seru Zarrel yang ternyata sudah lama menunggu Verlyn dari tadi. Untung saja saat itu lagi jam kosong.
"Bikin anak!" sahut Verlyn asal sambil mengambil chocolatos dari tasnya.
"Astagfirullahaladzim!" ucap Zarrel seraya menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.
"Aku nabung, oy! Ya kali aku begitu," sahut Verlyn memutar kedua matanya malas, sedang mulutnya kembali mengunyah chocolatos rolls itu tanpa dipegang karena sudah hampir mau habis.
Sret!
Dengan kecepatan per mili detik Zarrel mengambil ujung coklat roll itu dari mulut Verlyn yang tentu saja mengenai bibir Verlyn.
Verlyn masih mencerna dengan apa yang terjadi barusan. Tapi, mulutnya masih kunyah-kunyah dengan sisa-sisa remahan terakhir di dalam mulutnya.
"Wow, ternyata seorang pembunuh pun bisa jatuh cinta juga. Sudah autis ada kelainan lain lagi!" ucap seorang perempuan yang ternyata dari tadi rebahan di kursi depan mejanya Verlyn dan Zarrel.
...