Lagi-lagi senyuman maut itu yang ia perlihatkan padaku. Tubuhku gemetar menyadari ada yang tidak beres dengannya. Perlahan aku coba untuk menyentuh tangannya. Matanya bergerak melihat tanganku yang terulur untuk menyentuh tangannya.
TEMBUS!!!
Dengan kecepatan seribu tahun cahaya, aku lari sekencang-kencangnya dari mobilku sendiri menuju gerbang sekolah.
Aku terus berlari hingga akhirnya sampai ke taman tempat di mana kemaren aku sempat tertidur lalu bertemu dengan anak kecil bernama Riyal. Namanya seperti anak laki-laki, padahal dia perempuan. Aku lalu duduk di bawah pohon rindang sembari melepaskan penatku karena berlari-lari tadi. Ya, sekolahku memang berada tidak jauh dari taman ini. Mungkin jaraknya hanya sekitar 200 meter saja.
Bagaimana nasib mobilku nanti, ya? Ah, sudahlah, setidaknya aku bisa menenangkan diriku dahulu sekarang atas apa yang aku alami barusan. Itu tadi pasti cuma halusinasiku saja, iya pasti. Aku lapar sekali sekarang, pasti karena efek ini.
Aku mengarahkan pandanganku ke sekitar mencari warung makan yang harganya pas dengan isi kantongku. Sebelum aku melangkahkan kaki menuju warung makan pilihanku, tiba-tiba seseorang memanggilku.
"Kak Za!!!" Aku menoleh ke belakang, ternyata itu Riyal, seperti pertemuan sebelumnya ia membawa bola sepak dan tak lupa kupluk putih yang menempel di kepalanya.
"Kakak mau ke mana?" tanyanya setelah sampai di dekatku. Aku hanya menunjuk ke tempat warung makan yang ingin aku datangi yang masih berada dalam area taman. Ah, aku ini, nggak sama yang seumuran, dewasa, sama anak kecil pun tetap saja --- dingin.
"Riyal boleh ikut, Kak? Tenang saja Riyal bawa uang, kok." pintanya minta bareng(?) makan denganku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, namun dengan tangan terulur mengajaknya bergandengan. Ah, aku ini.
____________
Aku sudah selesai makan dengan Riyal. Kami kembali ke bawah pohon rindang tempat yang kini jadi favoritku. Aku jadi penasaran dengan Riyal, kenapa anak kecil seumurnya dibiarkan berada di taman sendirian begini? Apa tidak ada yang mencarinya?
"Riyal?" panggilku akhirnya membuka suara.
"Iya, Kak?" sahut Riyal dengan mengakhiri putaran bola di jari telunjuknya. Masih kecil saja sudah jago dia.
"Kamu ke sini sendirian?" tanyaku hati-hati.
"Sekarang iya, Kak. Tapi, dulu sama kakakku, sih," sahutnya dengan wajah yang tiba-tiba berubah sendu.
"Lalu keman--"
"Kak, aku pulang dulu, ya. Kakak aku pasti lagi nungguin aku sekarang. Sampai nanti, Kak Za!" ucapnya lagi dengan memotong pertanyaanku yang belum selesai. Dasar bocah.
Lebih baik aku pulang lalu mandi dengan air hangat. Sungguh hari yang aneh untuk hari ini.
_____________
Mama : Zarrel, bisa ke Rumah Sakit sekarang, Nak? Tolong antarkan map mama yang ada di kamar letaknya di atas meja kerja mama.
Zarrel : Iya, Ma. Zarrel otw,
Aku segera meraih jaket dan kunci motor lalu beranjak ke kamar mama untuk mengambil map yang dimaksud. Tak lupa dengan masker yang menutupi sebagian wajahku. Setelah itu aku meluncur pergi ke Rumah Sakit tempat dimana mama bekerja sebagai dokter bedah syaraf.
Sesampainya aku di Rumah sakit, aku langsung saja menuju ruangan mama. Walaupun aku sangat jarang ke sini--- terakhir satu tahun yang lalu. tapi aku selalu ingat di mana letak ruangan mama berada. Setelah sampai aku segera meletakan map nya di atas meja dengan papan atas nama mama. Mungkin mama sedang ada pasien, aku lalu kembali keluar.
___________
Deg!
Apa aku berhalusinasi lagi? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyadarkan pikiranku berharap apa yang aku lihat bukanlah apa-apa. Namun, nyatanya sosok itu tetap duduk di sana dengan memandangku sembari memberikan senyuman manisnya yang tergambar kontras di kulit wajahnya yang pucat.
Tubuhku gemetaran teringat apa yang sudah terjadi saat pulang sekolah tadi. Aku segera berbalik melawan arah menuju pintu keluar, bukan kembali masuk tapi memilih jalur pintu keluar lain yang lebih jauh, tapi setidaknya aku bisa menghindari cewek misterius itu.
Sesampainya di lobby aku pun duduk sebentar untuk mengistirahatkan kakiku yang dibawa paksa untuk berjalan cepat tadi.
"Kenapa kamu menghindariku?"
Allahhu Akbar!! Astagfirullahaladzim!!
Cewek misterius itu tiba-tiba saja sudah ada di samping kiriku. Sontak aku mengelus dadaku karena kaget. Untung aku tidak berteriak dan hanya melapal dalam hati saja.
"Kamu siap--"
"Kak Za!!" Aku menoleh ke samping kanan melihat siapa yang memanggilku. Riyal. Ngapain dia di sini? Aku kembali mengalihkan pandanganku ke cewek misterius itu.
"...!!!"
Hilang lagi?
"Kak Za? Kakak kenapa? Kakak nunggu orang? atau nyari orang? atau mau jengukin teman Kakak?" pertanyaan cerewet Riyal membuyarkan pikiranku yang sudah iya-iya.
"Anu, kamu lihat nggak tadi orang yang duduk sama kakak?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
"Sama siapa? Dari sana aku lihat, Kakak, duduk disini sendirian aja, tuh." ucapnya dengan muka polosnya.
Sudah kuduga.
"Emh, kamu ngapain di sini, Dek?" tanyaku mencoba mengalihkan apa yang sedang aku pikirkan.
"Nemenin kakak aku, Kak. Kakak mau lihat kakak aku, nggak? kakak aku cantik banget lho, Kak. Nggak kalah sama aku," ucapnya narsis.
Aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menolak tawaran Riyal lalu segera pulang setelah memastikan Riyal masuk kembali ke ruangan yang katanya ada kakaknya.
______________
Apa dia adalah jawaban atas doa-doaku selama ini? Tapi kenapa harus mahkluk yang tidak jelas seperti itu yang jadi temanku?
"Ambil!" ucap seorang anak kecil yang memiliki wajah sangar. Sangar karena make up yang menor terlukis di wajahnya yang belum cukup umur itu. Aku yang sangat penakut saat itu dengan maunya menuruti segala perintahnya. Waktu itu, ia membawaku ke toilet pada jam pulang sekolah. Dia sengaja mengunciku dalam kelas untuk menunggu sekolah sepi. Aku didorong dan dipaksa untuk berjongkok di depan closet duduk yang sudah dibuka penutupnya. Baunya sungguh luar biasa. Dengan air mata yang sedari tadi sudah membanjiri wajahku, aku dengan bodohnya menyentuh benda itu. Ada keinginan untuk membantah atau melemparkan benda itu kepadanya, tapi aku tidak bisa. Rasa jijik mual ingin muntah jadi satu aku rasakan ketika menyentuh benda itu secara langsung, terpaksa aku kuat-kuatkan diri agar ia tidak menyuruhku untuk melakukan hal yang lebih kotor ataupun menjijikan lebih dari ini lagi. Padahal yang begini saja sudah kelewatan.
Kemudian, keesokan harinya. Aku mendengar bisik-bisik yang lebih terdengar seperti orang yang bergosip, parahnya orang yang dibicarakan berada dekat dengan mereka. Yaitu aku.
"Eh, kemaren katanya anak autis itu pakai ta** ke mukanya dia lho,"
"Ih, najis banget, menjijikan,"
"Harusnya autis kaya dia itu nggak pantas sekolah disini,"
"Betul banget, merusak citra sekolah,"
"Wajahnya cantik sih, tapi percuma kalau otaknya kurang gitu,"
"Pantesan papanya ninggalin dia, pasti malu banget punya anak autis gila parah begitu,"
"Eh, itu si autis, cepatan dorong-dorong!"
Bruk!
Sehabis mengata-ngataiku mereka mendorongku sampai menyeruduk masuk dalam tong sampah yang kebetulan dalam keadaan lagi terbuka.
"Ada apa ini?" tanya seorang guru sesaat melihatku masuk dalam tong sampah.
"Si aut-- Zarrel katanya mau nyari makanan di tong sampah, Bu!"
"Sekalian mau bersihin katanya dari nyamuk sama lalat."
"Bu, kenapa dia nggak dipindahin ke sekolah yang khusus orang nggak waras aja sih, Bu!"
Aku memilih pergi meninggalkan mereka yang pasti terus membicarakan hal yang tidak-tidak tentangku. Aku pergi ke belakang sekolah untuk menenangkan diri. Hal yang kusukai dari sekolah ini hanyalah bagian belakangnya. Entah kenapa aku bisa saja menemukan tempat yang nyaman untuk menenangkan diri, seperti di bawah pohon saat ini.
Di sini, aku belum pernah menemukan yang namanya seorang teman yang tulus. Alih-alih tulus, yang ada mereka malah membullyku setiap hari. Setiap selesai shalat aku selalu minta sama Allah agar aku bisa punya teman, satu aja. Ketahuilah, menahan sakit sendirian itu tidak enak. Sekuat-kuatnya aku, aku juga butuh dukungan seseorang. Aku ingin berbagi, meski tak dapat membantu, setidaknya aku dapat mencurahkan isi hati selain kepada Allah. Walau sebagai pendengar pun nggak apa-apa. Aku terus berdoa dan terus berdoa. Usaha? Aku berusaha untuk mendapatkan teman. Tapi, hasilnya aku malah menemukan satu pembully lagi untukku. Makanya aku hanya bisa terus berdoa tanpa henti.
Jika cewek misterius itu adalah jawabannya, lalu kenapa ia datang dan pergi sesuka hati? Aku tidak takut, hanya saja kenapa dengan cara seperti itu? Takdirkah?
Aku harus tahu siapa dia dan siapa namanya.
Karena sangat lelah mengingat yang lalu-lalu, aku pun mulai larut masuk dalam dunia mimpi. Samar-samar aku lihat cewek misterius itu berbaring di sampingku dengan senyuman manis dibalik wajah pucatnya. Aku yang tidak kuat untuk kembali sadar lebih memilih untuk masuk dalam dunia mimpi.
...