"Eh, menurut kalian apa hubungan Pak bos sama si Nana?" Seorang wanita yang mengenakan setelan biru tua dengan rambut di gerai mengajukan pertanyaan saat ia merapikan kukunya dengan santai.
Sementara itu rekan lain di ruangan itu mengangkat bahu dengan galangan samar, "siapa tau?" Lalu dia mengernyit seolah memikirkan sesuatu, "anyway, beberapa hari lalu gue lihat dia dianterin pulang Pak Bos." Sambung wanita itu tanpa perduli.
"Hah? Serius lo, Rin?" Wanita dengan setelan biru menanggapi sementara dia menangguk.
"Iyalah, buat apa gue bohong sama lo? Ada untungnya?" Arin mencibir sementara wanita ber setelan biru itu mengerutkan kening.
"Pantes aja dia—"
Obrolan tiba-tiba berhenti saat Nana melangkah masuk dengan gaya yang khusyuk dan kuno seperti biasa. Hari ini ia mengenakan setelan hitam-putih dengan blus yang membuatnya terlihat lebih ramping dan rapi.
Saat Nana memasuki ruangan, udara stagnan beberapa saat karena kedua rekan kerja yang semula membicarakannya merasa canggung entah mengapa. Lagipula itu bukan masalah besar jika kalian membicarakan rekan kerja dibelakangnya, tapi, tertangkap basah tengah membicarakan hal-hal buruk oleh rekan kerja yang kalian bicarakan, adalah hal yang memalukan! Karena itu keduanya terdiam dengan wajah memerah karena malu.
Sementara keduanya merasa malu dan bersalah, Nana, korban yang mereka bicarakan melenggang santai menuju mejanya tanpa perubahan emosi yang berarti. Lagipula, apa yang bisa dia lakukan? Marah? Kecewa? Memang, siapa mereka selain rekan kerja? Mulut tumbuh di masing-masing orang dan dia tidak bisa mengendalikannya. Jika dia marah pada hal-hal kecil seperti itu, masihkah dia memiliki waktu yang tenang?
Setelah mencapai mejanya sendiri, seperti biasa Nana membuka laptop dan mengerjakan tugasnya secara serius dan sistematis. Sebagai seseorang yang memiliki gangguan obsesif kumpulsif, jika seseorang memperhatikannya dengan cermat, seseorang bisa melihat jangka waktu yang sama dalam setiap pembalikan dan berkas tersusun rapi sesuai abjad yang membuat seseorang tidak bisa menahan desahan.
Terlalu rapi dan teratur. Apakah itu hal yang baik atau tidak?
Dering telepon kantor yang berbunyi memecah keheningan aneh diruangan itu membuat seisi ruangan itu menatap meja di mana telepon itu berdering. Nana.
"Halo! Selamat pagi, Pak! Ada yang bisa saya bantu?" Nana tidak bisa menahan desahan di dalam ketika dia mendengar suara familiar disisi telepon.
"Ke ruangan saya, sekarang!" Suara rendah dan menyenangkan telinga itu meng intruksikan penuh penekanan membuat Nana sedikit merinding di dalam.
Apa hal salah yang dia lakukan lagi?
Sementara Nana masih berpikir, dia secara sistematis menjawab, "baik, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?"
"...."
"Baik." Lalu sambungan itu ditutup oleh CEO sombong dan berkuasa.
Sementara itu setelah menyesuaikan penampilannya Nana berjalan santai memasuki ruang CEO meninggalkan rekan kerjanya dalam keadaan dimana mereka gatal untuk berbicara namun tidak bisa. Juga, siapa yang meminta itu masih di waktu jam kerja?
Tok,,
Tok,,,
Tok,,
"Masuk!" Setelah mendapat persetujuan, Nana memasuki kantor CEO hanya untuk melihat lelaki itu tengah menunduk mempelajari dokumen dihadapannya. Pena terjepit diantara jari-jarinya yang panjang dan lentik membuatnya terlihat bak karya seni bernilai tinggi. Tanpa sadar Nana tertegun di tempat, gadis kecil dihatinya menyanyikan yel-yel dengan pompon yang membuatnya merasa panas.
Memang, seperti yang tertulis di dalam novel-novel romantis, yang mengatakan bahwa lelaki paling tampan ialah saat ia tengah fokus bekerja, itu sama sekali tidak bohong!
Nana diam-diam mendesah di dalam, berusaha mempertahankan ketenangannya saat dia melangkah mendekat dan duduk di kursi di seberang lelaki itu.
"Siapa yang menyuruhmu duduk, eum?" Lelaki itu mencela tanpa menatap atau bahkan melirik Nana sedetikpun.
Nana tertegun sesaat sebelum mengulas senyum sopan, "maaf," Lalu berdiri di samping seperti kasim kecil yang taat.
"Apa yang kamu lakukan?" Lelaki itu mendongak, menatap Nana dengan kening berkerut, "duduk!" Sambungnya membuat Nana tidak bisa tidak menggerakkan gigi.
Apakah lelaki ini mengerjai nya?
Meski begitu wajahnya tetap mempertahankan ketenangan dihari kerja tanpa perubahan sedikitpun!
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Ridho menatap wanita dihadapannya lekat saat ia mengangguk, "ya. Buatkan aku secangkir kopi."
"Maaf, tapi sepertinya hal itu bukan tugas—"
"Sebagai sekretaris pribadiku, bukankah itu kewajibanmu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ku?" Ridho mengajukan pertanyaan. Nadanya meyakinkan dan sarat akan dominasi.
Karena itu Nana hanya bisa mengangguk dengan senyum, "lalu, apa Bapak memiliki preferensi tertentu dalam hal ini?"
Ridho mendongak, menatap Nana dengan tatapan menyedihkan yang entah mengapa membuat Nana merasa bersalah.
Baiklah, dia akui dia cukup ceroboh kali ini!
Nana mengakui didalam sekaligus memperingatkan dirinya agar lebih berhati-hati dikemuduan hari.
"Jangan memasukkan gula sedikitpun dan pastikan air yang kamu gunakan tidak melebih atau kurang dari 90°celcius."
Nana mengangguk patuh mendengarkan intruksi Ridho.
"Lalu, apa ada hal lain yang perlu saya perhatikan?"
"Pastikan kamu tidak menggunakan kopi instan dan.... Pastikan menyeduh secara manual!"
Uh, apakah perlu serumit itu hanya untuk membuat kopi?
Nana mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri sebelum mengangguk patuh, "baik, " Dan berjalan ke dapur kecil di ruangan itu.
Sementara Nana tidak memperhatikan, Ridho yang sedari tadi fokus membaca dokumen mengaitkan bibirnya dengan senyum cerah yang membuat wajah tampannya semakin tampan. Itu seperti sinar matahari pagi setelah badai salju yang menghangatkan.
"Nana Alfiana, " Ridho bersenandung ;menyadarkan dirinya kesadaran meja saat dia memperhatikan setiap inci pergerakan wanita itu.
"Na, apa kamu samasekali tidak mempertimbangkan pernikahan?" Ridho yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan membuat Nana tidak bisa menahan kejutan dan nyaris terlonjak kaget. Beruntung, dengan ajaran yang selama ini dia dapatkan dia dapat mempertahankan ketenangan— setidaknya di permukaan.
Setelah menyesuaikan detak jantungnya Nana mengangguk tanpa beban, "saya cukup senang dengan kehidupanku saat ini dan belum memiliki niat mengacaukannya."
"Oh? Benarkah?" Ridho mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, dan tolong berhenti mempertanyakan sesuatu yang pribadi di jam kerja. Pak, tolong hormati privasi saya." Nana menata lelaki yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri dengan kesal.
Kenapa lelaki itu selalu bertanya mengenai pernikahannya? Apa dia ingin menggantikan posisi Ayahnya dipelaminan dan menjadi walinya?
Sementara dia tidak menyadari tikungan dan belokan dihati Nana, lelaki itu melangkah mendekat dengan senyum mengerikan di bibirnya, "Nana Alfiana...." Dia mengucapkan namanya kata demi kata dengan suara rendah. Bahkan, untuk seorang yang tidak memiliki buat untuk menikah sepertinya tidak bisa menahan gemetar. Sungguh suara yang indah!
Nana hampir bersorak.
Sebagai ketua Asosiasi penampilan dan suara, dia cenderung kurang pertahanan terhadap hal-hal seperti itu. Terlebih, Ridho, CEO nya memiliki keduanya dalam satu waktu yang membuat Nana mengernyit.
"Pak, tolong jaga perilaku anda!" Nana memperingatkan saat lelaki itu semakin mendekat kearahnya.
"Bagaimana aku harus menjaga perilaku ku?" Suara lelaki itu penuh godaan. Terlebih, saat ini lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan berbicara dengan suara rendah tepat di depan telinganya!
Mendorong lelaki itu menjauh, Nana menempatkan secangkir kopi panas diantara mereka, "Pak tolong jangan melebihi batas dan ingat status anda!" Nana mengingatkan sementara Ridho mengernyit tak suka.