Di dalam ruangan besar dengan dekorasi hitam-putih yang elegan, suara sepatu hak tinggi yang mengetuk lantai memenuhi ruangan.
"Pak, anda memiliki jadwal rapat sepuluh menit lagi." Itu suara Nana yang berayun lembut memenuhi ruangan.
Saat ini Nana mengenakan kemeja putih dengan rok span sedikit di bawah lutut. Bibirnya memiliki polesan lipstick berwarna rosepink saat rambutnya memiliki bentuk sanggul resmi yang khas dikenakan wanita-wanita berkerah putih.
"En," gumaman singkat keluar dari mulut pria berusia diantara 30-35 tahun itu saat jari-jarinya tetap sibuk menari di atas keyboard laptop.
Setelah mendapat jawaban yang diinginkannya, Nana mengulas senyum sopan saat dia berkata, "baik. Kalau begitu saya menunggu Bapak di luar." Lalu berjalan keluar meninggalkan lelaki yang menatap tubuh bagian belakangnya dengan ekspresi rumit di matanya.
Hah, apa yang sebenarnya dia inginkan?
Lelaki itu menggeleng saat senyum pahit melintasi bibirnya.
Sementara itu, setelah keluar dari ruangan CEO sekaligus pemegang saham terbesar di Perusahaan itu, Nana berjalan ke mejanya dan mempersiapkan setumpuk berkas dari sana. Itu adalah materi pertemuan hari ini.
Tidak sampai tiga menit kemudian, pintu ruang CEO terbuka dan menampilkan sosok jangkung Bos Nana dalam balutan jas hitam yang disetrika dengan rapi.
"Mari, Pak!" Nana mempersilahkan saat dia berjalan dua langkah di belakang Bos nya.
"Na, kan sudah saya bilang kamu gak perlu bersikap terlalu sopan. Kenapa kamu masih ngeyel juga?" Dia menggerutu saat jari-jarinya yang ramping menekan tombol nomor di lift.
Nana mengulas senyum simpul di bibirnya, "maaf, Pak. Tapi, saya sudah terbiasa dengan itu."
Helaan napas panjang terdengar setelah itu, memejamkan matanya sejenak, lelaki itu berkata tanpa perduli, "terserah apa maumu."
Lalu keheningan menyelimuti dan karena itu lift eksklusif, hanya ada mereka berdua di sana.
"Bagaimana? Apa kamu belum tertarik untuk menikah?" Lelaki itu bertanya untuk memecah keheningan.
Dengan "ah," lembut di bibirnya, Nana menatap tubuh bagian belakang Bosnya sebelum mengulas senyum tipis dengan gelengan, "belum."
"Sampai kapan?"
Nana menggeleng, "saya tidak tahu. Dan maaf, Pak. Tapi itu urusan pribadi saya. Saya harap Bapak tidak menanyakan hal seperti itu lagi."
"Na, kamu tahu aku—"
"Bapak tahu itu tidak mungkin terjadi! Jadi, tolong jangan membuat saya merasa tidak nyaman bekerja dengan anda!" Nana menyela dengan nada kuat sebelum menunduk setelah menyadari apa yang dia lakukan, "maaf, saya lancang."
"Na, kamu tidak—"
Ting!
Dentingan lift membuat lelaki itu menarik napas panjang sementara Nana bersyukur di dalam hatinya, "Silahkan, Pak."
Lalu mengikuti Bosnya dengan langkah anggun.
Memasuki ruang rapat, Nana menyapukan penglihatannya ke sekeliling lalu duduk tidak jauh dari kursi CEO.
Setelah Bos Nana membuka rapat, satu persatu dari manajer dari devisi-devisi yang ada di Perusahaan itu membuka suara.
"Pak, menurut saya untuk promo akhir tahun ini kami bisa menawarkan diskon untuk menarik konsumen." Seorang dari devisi perencanaan mengusulkan. Itu adalah seorang wanita imut dengan rambut tergerai.
"Oh, jika sesederhana itu, bukankah itu juga apa yang dapat dipikirkan pesaing lain?"
Wanita imut itu menunduk, "maaf, tapi saya—"
"Saya tidak memerlukan alasan dari kamu," lalu dia berdiri, "baik. Rapat hari ini berakhir. Dan kamu—" dia menunjuk wanita imut itu dengan dagunya, "perbaiki kembali dan kirim ke ruangan saya!"
Hening.
Ruangan itu begitu hening hingga detak jarum jam membuat kesan horor yang mencekam, membuat Nana lagi-lagi merenung.
Apa dia menyinggung lelaki itu lagi?
"Baik. Rapat hari ini saya tutup!" Lalu berjalan meninggalkan ruangan meninggalkan Nana yang hanya bisa mendesah pasrah dan mengikutinya.
Kembali ke ruang CEO di lantai teratas gedung itu, Nana kembali duduk di ruangannya sementara Bos nya berjalan ke dalam ruangan yang hanya dibatasi dinding kaca.
Entah itu disengaja atau tidak, dari lokasi tempatnya duduk saat ini, dia bisa dengan mudah melihat lelaki itu duduk dengan punggung lurus dan kokoh seolah pohon besar yang teduh. Bibir Nana tanpa sadar melengkung menjadi senyum tipis, jika di dalam novel, bukankah itu kriteria sempurna dari CEO tampan dan kaya? Dan dia adalah sekretaris miskin yang terlibat affair dengan atasannya?
Nana menggeleng dengan senyum mengejek, matanya berkedip dengan kilatan rumit yang sungkar dimengerti saat dia kembali ke layar laptopnya.
-----
"Na, besok malem lo ikut ngumpul gak?"
Nana tersenyum mendengar pertanyaan temannya, "gak."
"Kenapa?" Wanita itu memiliki rambut sebahu dengan lipstik merah terang bertanya tanpa tanda kejutan atas penolakan Nana.
"Lo tahu gue males ikutan acara kayak gitu, Sil." Nana dengan santai membalas, seolah tidak takut untuk menyinggung siapapun karena sikapnya.
Sesilia mengangguk, menyamakan langkahnya dengan Nana menuju tempat parkir.
"Oke. Bye, Sil! " Lalu membuka pintu mobil.
Sesilia mengangguk dengan senyum cerah di bibir merahnya, "Byee! "
Hingga mobil Nana menjauh dari pandangannya, senyum cerah Sesilia berubah menjadi senyum sinis saat pupil nya melintas dengan kilatan suram.
"Ice princess? " Sesilia bergumam dengan vokal meremehkan.
Sementara itu, Nana yang tidak menyadari perubahan 'teman sekantor nya' mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Itu hening dengan hanya deru mobil dan suara napas yang terdengar.
Beberapa saat kemudian wanita itu mengernyit, lalu memasang earphone dan menghubungi nama yang terlalu familiar baginya,
Fina.
Ya, Nana mendengus di dalam saat dia lagi-lagi menyadari kekhawatirannya pada orang bodoh berstatus sahabatnya itu.
"Fin, gue ke rumah lo!" Dia memberitahu ketika panggilan terhubung kemudian menutupnya tanpa mendengarkan respon Fina.
Toh, dia tidak akan mengusirnya sekalipun kehadirannya 'tidak' diperlukan.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian mobil Nana berhenti di depan Rumah sederhana yang dipenuhi warna hijau. Itu membuat orang merasa segar dan memiliki ilusi seolah rumah itu adalah rumah paling hangat dengan keluarga bahagia di dalamnya.
Nana menggeleng, mendengus.
Seberapa banyak manusia di dunia ini yang terlihat bahagia namun faktanya tidak?
Bibir Nana melengkung membentuk senyum sinis, bahkan, dia sendiri dengan segala egonya membuat kebohongan itu!
Setelah menghela napas untuk menenangkan dirinya, Nama membuka pintu mobil ;turun dari sana dan berjalan ke depan pintu masuk rumah Fina.
Memencet belum pintu, Nama berdiri diam dengan postur standar. Punggungnya tegak lurus saat wajahnya berubah bermartabat.
Lagi?
Dia menghela napas.
"Eh, Nana. Apa kamu mencari Fina?"
Nana mengangguk malas mendengar sapaan lelaki berbulu domba di hadapannya, "dimana?" Suaranya memiliki nada peringatan di dalamnya yang membuat ekspresi lelaki di hadapannya kaku.
"Pergi."
Nana menyipitkan mata, "gue gak percaya."
Mendengus, lelaki itu mengeraskan rahangnya, "terserah!" Lalu menutup pintu dengan bunyi berdebum.
"Brengsek! " Gumam Nana saat memperhatikan pintu tertutup dengan mata menyipit lalu berbalik kembali ke mobilnya.
Sementara dia duduk di dalam mobil, perasaan cemas menghantuinya membuatnya tidak bisa tidak meraih ponsel, mengubungi sederet nomor yang ia hafal di luar kepala.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, coba hubungi beberapa saat lagi"
Jawaban familiar itu membuat Nana mendengus dengan kerutan semakin dalam di dahinya.
Hah. Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas panjang dan mengendari mobil kembali ke rumahnya.