Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 10 - Perasaan Seperti Apa Ini?

Chapter 10 - Perasaan Seperti Apa Ini?

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Pintu penghubung tertutup. Aisha menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Napasnya berkejaran. Degup jantungnya bertalu tak beraturan.

"Apa itu tadi? Kenapa Dikta bisa bersikap begitu?" gumam Aisha dengan perasaan tak menentu. Entah perasaan apa ini. Selama beberapa hari ini dia merasakannya.

Aisha merangkak naik ke tempat tidur. Menyelimuti tubuhnya hingga batas leher. Berusaha memejamkan matanya.

Detik jarum panjang yang bergerak teratur di atas pinggan bulat bercetak dua belas angka. Jarum pendek telah sejajar dengan angka empat, tetapi Aisha sama sekali belum bisa memicingkan mata sedikit pun. Tubuhnya hanya tergolek, terguling ke kiri dan ke kanan, telentang atau kadang tengkurap di balik selimut.

Begitu banyak hal-hal yang berkecamuk dalam pikiran. Terutama sikap Dikta yang sedikit berbeda dari biasanya. Atau sebenarnya dia yang mulai berbeda.

Rasanya hari-hari selanjutnya situasi antara mereka berdua akan mulai canggung.

Dengan kepala berdenyut karena kurang tidur, Aisha bangun dan melangkah ke kamar mandi. Membasuh mukanya. Pantulan bayangan wajahnya di kaca wastafel memperlihatkan lingkaran hitam di bawah matanya. Wajahnya benar-benar kuyu.

Aisha segera menyikat gigi, mengambil air wudhu dan menunaikan shalat sunat dua rakaat. Sambil menanti adzan Subuh berkumandang, Aisha membaca ayat suci Alquran dengan suara pelan. Suaranya yang bening menembus keheningan subuh hari yang masih menyelimuti sebagian penghuni alam dalam mimpi mereka.

Sayup-sayup suara Aisha yang terbawa udara pagi menelusup masuk dalam rongga pendengaran Dikta.

Seperti halnya Aisha, pria itu tidak dapat memejamkan mata. Sepanjang malam sang sekretaris hanya duduk diam di depan perangkat leptop dan beberapa perangkat layar lainnya tanpa melakukan apa pun.

Pikirannya beterbangan kesana kemari, berusaha menggali kembali ingatan-ingatannya selama enam tahun terakhir. Ingatan yang selalu dia kubur dalam peti memorinya yang paling rahasia. Sekarang semua memori itu berlompatan keluar tanpa bisa dia cegah.

Enam tahun dia memandang wajah Aisha setiap hari. Menikmati senyum dan tawa wanita itu dalam diam. Menemaninya hampir separuh dari dua puluh empat jam waktunya, membantu kesulitannya dan memastikan kenyamanan dan keamanannya. Semua itu dia lakukan karena merupakan rincian dari job desk yang diberikan oleh tuan majikannya. Tidak pernah sekali pun dia melibatkan perasaan di dalamnya.

Kini semua terasa berbeda. Setiap kali dia melihat Aisha dan Alfa dalam kesulitan perasaannya tidak tenang. Saat Aisha meneteskan air mata atau Alfa menangis merengek mengingat ayahnya, perasaannya sakit.

Apakah dia masih berpegang pada panduan job desk-nya ataukah sekarang dia melibatkan emosi dalam pekerjaannya?

Dikta menyugar rambutnya dengan kasar dan mengempaskan napas panjang. Suara merdu Aisha sudah tak terdengar lagi berganti dengan suara muazzin mengumandankan adzan Subuh dari mushollah kompleks perumahan.

Dikta beranjak dari kursi yang ditempatinya hampir separuh malam. Mengambil air wudhu lalu keluar ke masjid untuk berjamaah shalat Subuh.

Angin dingin seketika membelai wajahnya tatkala dia memacu langkahnya menuju masjid kompleks perumahan mewah itu.

Ketika hati sedang gundah gulana, dirundung dilema maka pada siapa lagi seorang hamba akan meminta petunjuk jika bukan kepada Sang Maha Mengetahui segala perkara yang ada di muka bumi ini.

***

Pagi hari saat sarapan. Aisha menunjukkan sikap canggung saat bertemu Dikta di meja makan. Sebaliknya Dikta hanya bersikap biasa seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia menyapa Aisha seperti biasa, dengan ekspresi seperti biasa, penuh hormat dan sopan.

Aisha bingung. Apakah hanya dia di sini yang merasa telah terjadi sesuatu pada mereka semalam? Seketika dia merasa malu karena telah berpikir berlebihan sementara pria itu menganggap pertautan tangan mereka semalam hanya sesuatu yang biasa.

"Selamat pagi, Bu!" sapa Dikta berdiri.

"Selamat pagi, Mama!" Alfa ikut menyapa Aisha.

"Selamat pagi," balas Aisha. Dia menghampiri Alfa dan.mengecup kepala putrannya lembut.

"Apakah Ibu baik-baik saja?" tanya Dikta dengan nada sedikit khawatir seperti biasa. Mungkin dia melihat lingkaran hitam di bawah mata sang nyonya majikan.

"Tidak apa-apa. Semalam aku baca novel sampai larut dan kurang tidur," sanggah Aisha. Terpaksa berbohong.

'Siapa juga yang buat aku tak bisa tidur. Eh, dia malah biasa-biasa saja. Ini orang manusia apa robot sih?' gerutu Aisha dalam hati.

Dia menyibukkan diri dengan menyendok nasi goreng kemudian menuang kopi dalam cangkir.

Seketika Dikta menahan tangannya yang sudah hampir menuangkan kopi.

"Kenapa?* tanya Aisha memandang wajah Dikta heran lalu beralih ke tangan pria itu yang menahan lengannya.

"Ibu tidak tidur cukup semalam. Sebaiknya jangan minum kopi," cegah Dikta.

"Aku baik-baik saja," kilah Aisha melepaskan tangan Dikta yang menahan tangannya. Kali ini dia tidak mau terbawa perasaan. Pria itu hanya khawatir sebagai seorang pengawal. Bukankah tugasnya memastikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dirinya dan Alfa?

Seketika Dikta merebut teko kopi dalam genggaman Aisha dan memanggil Bi Suri.

"Bi, buatkan segelas susu cokelat hangat untuk Ibu," pinta Dikta pada kepala ART yang sudah berdiri di depannya.

"Baik, Pak." Bi Suri langsung bergegas ke dapur. Aisha hanya bisa berdecak kesal.

Tak lama Bi Suri datang dengan segelas susu cokelat dan meletakkan di hadapan Aisha. Wanita itu melirik sejenak pada Dikta namun pria itu tidak memandangnya. Dia malah kembali sibuk mengunyah nasi gorengnya sambil sesekali meladeni celotehan Alfa. Aisha kesal karena diabaikan.

"Mama ... Mama kenapa?" tanya Alfa yang ternyata juga memperhatikan sikap uring-uringan ibunya.

"Apa Mama marah pada Paman karena melarang Mama minum kopi?" tanya Alfa lagi dengan dialek khas anak-anaknya. Wajahnya dibuat serius. Aisha menahan tawa hingga tersedak susu yang diminumnya.

Dia meletakkan gelas susu dan mengelap mulutnya.

"Dari mana anak Mama tahu kalau Mama kesal pada Paman Dikta-mu?" sahut Aisha sekaligus menyindir Dikta. Yang disindir hanya diam.

"Mama. Kata ibu guru kopi memang- memang tidak baik un- tuk kesehatan ka- lau diminum sebelum makan," nasehat Alfa dengan isyarat jari telunjuk mungil bergerak ke kanan dan ke kiri. Dikta menunduk menutupi senyum di bibirnya.

Aisha ternganga. Dia berharap Alfa akan membela dan menghiburnya. Malah bocah itu menasehati layaknya orang dewasa.

Bi Surti yang mendengar celutukan majikan kecilnya terkekeh geli.

Sarapan pagi terasa hangat bagi Aisha diisi dengan gurauan dan celotehan putra tercintanya. Ini pertama kalinya dia merasa dadanya bernapas tanpa sesak setelah kegetiran yang dialaminya.

***

Sebulan berjalan. Semua masih baik-baik saja tanpa ada goncangan apa pun yang terjadi di dalam perusahaan Pramana Corporation. Namun Aisha tidak mengendurkan kewaspadaannya. Maghdalena dan Bambang jelas masih mengintai dan mencari kesempatan untuk menanamkan cakarnya di dalam tubuh Pramana Corporation.

Tentu saja kedua makhluk serakah itu kini sedang menyusun rencana, pikir Aisha.

Sebentar lagi waktu makan siang. Hari ini Aisha mempunyai banyak dokumen yang harus dibaca dan ditandatangani.

Selain itu, satu demi satu masalah mulai datang. Beberapa klien mulai membuat ulah dengan melakukan pembatalan kerjasama secara sepihak. Aisha menduga ada pihak-pihak yang menghasut mereka. Tapi Aisha perlu bukti yang akurat untuk menyeret orang-orang yang bertindak merugikan perusahaan.

Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Tanpa membuang waktu dia langsung menjawab tanpa membaca nama penelepon.

"Halo, assalamu'alaikum!" sapa Aisha.

"Wa'alaikumussalam. Kak apa kabar?" tanya si penelepon. Aisha menarik ponsel dari kupingnya dan menatap layar yang masih berpendar. Ternyata Arif, adiknya.

"Kenapa, Dek?" tanya Aisha.

"Kakak yang kenapa? Sudah sebulan lebih tidak pulang ke rumah Ibu. Bapak sama Ibu kangen sama Kakak juga Alfa," jawab Arif.

"Kakak sibuk Dek. Perusahaan tidak bisa ditinggalkan biar cuma sebentar. Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" sahut Aisha. Dia menyandarkan punggungnya sejenak untuk mengusir rasa pegal yang merayap di tulang belakangnya.

"Mereka baik, Kak. Hanya kangen saja," ujar Arif. Terdengar suara riuh di seberang sambungan telepon.

"Dimana kamu sekarang?" tanya Aisha penasaran.

"Di kampus. Sekarang sudah mulai masuk kuliah Kak. Ngomong-ngomong Kakak tahu aku kuliah dimana?" tukas Arif.

Aisha berpikir sejenak. "Dimana?" tanyanya.

"Nah, ini nih. Punya Kakak tapi tak peduli dengan adiknya. Hufft rugi banget aku punya kakak kaya Kak Aisha?" protes Arif.

"Maaf. Eh, apa kamu bilang? Rugi punya kakak kaya aku? Terus yang biayai kuliah kamu siapa?" Aisha balik protes.

"Hehehehe maaf kakak cantik. Iya deh, aku beruntung punya kakak yang kaya raya dan sangat baik," bujuk Arif. Aisha tersenyum simpul penuh kemenangan.

"Jadi, kamu kuliah dimana sebenanrnya?" tanya Aisha masih penasaran. Adiknya ini sedikit aneh dan suka semaunya.

"Sekarang aku lagi di kota S. Aku kuliah di Universitas A. Aku lolos seleksi jurusan Teknik Desain Tata Kota di sini Kak," ujar Arif dengan nada bangga.

"Hmm ... selamat ya. Kuliah yang benar awas kalau macam-macam. Nanti uang jajannya aku stop," ancam Aisha.

"Siiyaaap Bos," seru Arif dengan semangat.

"Oke. Aku mau jemput ponakanmu dulu. Sudah siang nih," tutup Aisha kemudian mematikan sambungan telepon.

Dia membaca lembar terakhir sebelum membubuhkan tanda tangan di atasnya. Aisha hanya bertugas memeriksa kembali semua dokumen tersebut karena sebenarnya Dikta lebih dahulu memeriksanya dan memberikan catatan-catatan tambahan agar mudah dimengerti oleh Aisha. Dia harus mengakui bahwa pekerjaannya jadi lebih efisien berkat sekretarisnya itu.

Aisha menutup berkas terakhir dan bersiap memanggil Dikta di ruangannya. Waktu mereka tidak banyak. Hanya menjemput Alfa kemudian makan siang di restoran lalu langsung kembali ke kantor bersama Alfa.

***

Di lobi kantor Pramana Corporation.

Maghdalena masuk dengan langkah anggun dan percaya diri. Dia mengenakan terusan berwarna merah dengan rok ketat di atas lutut. Tumit indahnya disempurnakan dengan sepasang high heels merah senada dengan gaunnya. Rambutnya yang dicat warna burgundy terang dibiarkan terurai hingga pinggang. Penampilan yang bisa membuat mata pria sulit beralih. Bahkan beberapa pria yang melewati lobi harus berhenti sejenak demi menikmati pemandangan tubuh Maghdalena dengan air liur menetes tanpa bisa ditahan. Benar-benar pemikat lelaki.

Maghdalena menghampiri resepsionis.

"Selamat siang Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya pegawai resepsionis sopan.

"Apakah Dikta masuk hari ini?" tanya Maghdalena.

"Iya. Pak Dikta ada di ruangannya di lantai tujuh. Apakah sudah buat janji?" tanya si resepsionis lagi.

"Aku ini teman dekatnya. Aku mau ajak dia makan siang. Tadi aku telepon tapi tidak dijawab," ujar Maghdalena dengan gaya sensual.

"Saya hubungi Pak Dikta ya Mbak." Si resepsionis mengangkat gagang telepon.

"Tidak perlu. Aku mau buat kejutan untuknya soalnya sudah lama kami tida bertemu. Aku akan langsung ke ruangannya." Selanjutnya Maghdalena langsung melenggang ke lift yang mengantarnya ke lantai tujuh.

Sesampainya di lantai tujuh dia hanya menemukan dua ruangan di sana. Seorang sekretaris wanita duduk di belakang kubikelnya. Maghdalena menghampirinya.

"Selamat siang. Ruang Dikta yang mana?" tanya Maghdalena pada Tia yang sedang serius di depan layar komputernya.

"Anda siapa?" tanya Tia terkejut dengan kedatangan Maghdalena.

"Aku pacarnya. Itu ruangannya ya?" tunjuk Maghdalena ke pintu ruangan Dikta.

Tia yang masih melongo hanya mengangguk. Bahkan dia tidak bisa mencegah Maghdalena yang sudah melangkah masuk ke dalam ruangan Dikta.

'Apa katanya tadi? Pacar Pak Dikta? Ah masa sih. Tapi kok aku kaya pernah lihat perempuan itu. Tapi dimana ya?' Tia bergulat dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan masih memandang pintu ruangan Dikta yang kembali tertutup setelah perempuan bergaun merah itu masuk.

***

Di dalam ruangan Dikta. Pria itu sedang menerima telepon dari seseorang sambil memandang ke luar jendela. Tangannya yabg bebas dimasukkan ke dalam saku celananya.

Terdengar ketukan di pintu lalu suara daun pintu terbuka.

"Oke aku tunggu informasi yang lebih lengkap." Dikta menutup telepon dan berbalik. Dia mengira Aisha yang masuk. Dahinya mengernyit saat dia mendapati sesosok wanita berbaju merah telah berdiri di hadapannya dengan gaya sensual. Tentu dia ingat siapa wanita ini.

"Siapa yang mengizinkanmu masuk ke ruanganku?" tanya Dikta dengan nada datar.

"Ya ampun sayang tidak usah judes begitu deh. Santai aja," goda Maghdalena sembari memainkan rambut panjangnya dengan jari.

"Untuk apa kamu ke sini?" Kembali nada datar didesiskan oleh Dikta.

"Aku mau mengajakmu makan siang sekaligus ingin mengenalmu lebih jauh." Maghdalena mendekati Dikta yang masih berdiri dengan kaku di hadapannya.

"Keluar!" titah Dikta. Tapi Maghdalena tidak menghiraukan. Dia malah semakin mendekat ke tubuh Dikta, menyampirkan tangan kanannya di bahu lebar sang pria dan tangan kirinya mengelus dasi di dada Dikta. "Kamu galak sekali. Tapi aku suka. Kamu jadi terlihat lebih seksi." Maghdalena mengulas senyum menggoda di bibirnya yang merekah merah. Dikta menatap tajam wanita itu seakan ingin mengulitinya.

Tiba-tiba pintu terbuka.

"Dikta, ayo kita jemput ..." Aisha tidak menyelesaikan kalimatnya ketika netranya menangkap sosok Dikta yang berdiri dengan posisi sangat dekat dengan seorang wanita yang sangat seksi.

Tak pelak Dikta terkejut dengan kemunculan Aisha tiba-tiba di saat yang tidak tepat. Maghdalena menoleh ke arah pintu dan tersenyum pada Aisha.

"Maghdalena?" Aisha syok.

Bersambung ...

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Hai pembaca sekalian lama tak berjumpa. Saya pun kangen pada kalian. Maka saya usahakan mengobati rasa kangen itu dengan update satu episode Aisha dan Dikta. Meski masih sibuk tapi semoga bisa sisihkan waktu untuk update meski agak yaaahh sedikit lama.

Terima kasih sudah menanti cerita pasangan majikan dan pengawalnya ini.

Jangan lupa batu kuasa dan komennya ya ๐Ÿ˜‡

See you next chapter ๐Ÿ˜˜