๐ธ๐ธ๐ธ
Hari menjelang siang. Matahari mulai terasa terik membakar permukaan kulit. Tak ada angin sepoi-sepoi yang menyejukkan tubuh. Beginilah cuaca kota S yang sering berubah-ubah. Namun cuaca di musim kemarau adalah saat yang paling membuat semua penduduk kota gerah.
Arif dan Josua sedang duduk santai di salah satu sudut kantin Fakultas Ekonomi. Hampir semua mahasiswa fakultas tersebut memandang aneh ke arah dua orang asing yang sudah bisa ditebak bukan dari fakultas mereka.
"Bro, ngapain kita nongkrong di sini?" tanya Josua dengan wajah gusar ke temannya. Sejak tadi dia tidak merasa nyaman dipandangi orang-orang dengan pandangan aneh. Seolah-olah mereka berdua adalah penyakit kurap yang menempel di kulit.
"Memangnya kenapa sih? Santai aja," jawab Arif dengan wajah tak bersalah. Josua melengos malas.
Dari arah pintu kantin muncul seorang gadis berkuncir kuda dalam setelan kemeja lengan panjang dan jins. Tak lupa sepatu sneaker hitam dan tas cangklong.
Arif langsung tersenyum semringah menatap ke arah pintu. Josua mengarahkan pandangannya ke titik yang sama.
"Pantas aja," gumam Josua menghela napas. Sedari tadi dia tidak sadar tujuan Arif mengajaknya ke tempat itu. Ternyata mau cari Diksa si gadis kuncir kuda.
Diksa yang tidak mengetahui kehadiran duo mahasiswa Fakultas Teknik tersebut duduk dengan santai di sebuah bangku di depan meja kosong. Dia menyeruput sebotol teh sos*o dan dua bungkus roti rasa pizza kesukaannya tergeletak di atas meja.
"Hai, Diksa!" sapa seseorang di belakangnya. Diksa menoleh dan mendapati Arif dan Josua berdiri di sana.
"Hai!" balas Diksa cuek.
Tanpa disuruh Arif langsung mengenyakkan pantatnya di atas kursi di samping kanan Diksa. Josua ikut duduk saja.
"Baru keluar dari kelas?" tanya Arif memandang Diksa yang sibuk mengunyah roti. Diksa hanya mengangguk.
"Kuliah apa sih tadi?" tanya Arif sok akrab. Dia menumpu kepalanya pada sebelah tangannya dan matanya tak lepas dari wajah Diksa.
"Pengantar Manajemen," jawab Diksa singkat.
"Oh, sulit kah? Apa dosennya galak?" tanya Arif lagi dengan raut berbinar.
Diksa melirik Arif tajam. Sedangkan Josua hanya bisa mendesah bosan mendengar pertanyaan tidak bermutu kawannya itu. Apakah ini cara pendekatan yang dimaksud Arif. Bisa dipastikan Diksa akan kabur karena jengkel.
"Oh, hehehe tak perlu dijawab," Arif menggaruk kepalanya malu menyadari tatapan tidak suka Diksa.
"Sore ini ada acara tidak?" tanya Arif kembali.
"Ada," jawab Diksa seperti biasa. Singkat padat dan tak berbelit-belit.
"Mau kemana?"
"Perpustakaan."
"Boleh ikut?"
"Terserah. Itu tempat umum tak ada yang melarang siapa pun ke sana," sahut Diksa dengan nada mulai kesal.
"Iya sih." Arif cengar-cengir tidak jelas.
Josua mulai mual melihat raut wajah Arif.
Tiba-tiba Diksa meletakkan botol bekas minumnya di atas meja dengan keras. Arif dan Josua terlonjak kaget. Gadis kuncir kuda itu meraih tas cangklong di atas meja dan beranjak pergi tanpa berkata apa pun.
"Diksa! Tunggu!" teriak Arif mengejar Diksa yang sudah menjauh. Josua pun menyusul di belakang pemuda itu.
"Jangan ikutin aku!" teriak Diksa dan melangkah cepat ke kelasnya.
Arif berhenti mengejar Diksa dan berdiri memandangi gadis itu yang sudah berbelok masuk ke kelasnya.
"Elu sih uber uber anak gadis gak jelas gitu?" cetus Josua terengah-engah setelah mengejar Arif.
"Tidak jelas gimana?" tanya Arif bingung. Dia berdiri sambil berkacak pinggang.
"Ya Tuhan. Elu sadar gak sih wajah elu bikin gue, Diksa sama semua orang di kantin tadi mual. Gak berkelas banget cara elu deketin si Diksa. Keliatan banget elu napsu sama dia," tukas Josua berapi-api. Dia emosi dengan sikap sok polos temannya tersebut.
"Emang kelihatan gitu?" tanya Arif lagi dengan wajah polos.
"Hanya kodok buta yang gak bisa ngeliat wajah menjijikkan elu di depan Diksa tadi," sahut Josua sarkas. Tetapi Arif tidak tersinggung. Dia malah cengengesan.
"Sudah. Yuk balik ke fakultas," ujar Josua melangkah mendahului Arif yang mengikutinya dengan wajah bersalah karena membuat temannya kesal.
***
Sejak hari itu Arif bukannya menyerah mendekati Diksa. Dia malah makin gencar mengikuti kemana gadis kuncir kuda itu pergi setiap dia ada kesempatan atau waktu luang saat tak ada kelas. Ke kantin, ke perpustakaan, ke kantor administrasi, duduk di taman kampus bahkan ke klubnya. Pemuda itu seperti pengangguran yang punya banyak waktu luang mengikutinya kemana-mana.
Diksa sering merasa kesal dan terganggu. Beberapa kali pelatih klubnya menegur Diksa karena Arif kedapatan sedang duduk nongkrong di dalam ruang klub yang merupakan area privasi anggota klub. Mereka tahu kalau mahasiswa teknik itu sedang mengejar Diksa. Alhasil gadis itu kena imbasnya.
"Please, Arif! Jangan ikutin aku gitu dong," keluh Diksa.
"Kenapa?" tanya Arif sok polos.
"Aku kan sudah kasi tahu kalau area klub itu area privasi anggota klub," jawab Diksa berusaha sabar.
"Oh! Kalau gitu aku tunggu kamu di luar saja," jawab Arif sambil menyengir manis.
"Emangnya kamu tak ada kerjaan lain apa selain nguntit dan gangguin aku?" bentak Diksa mulai kesal.
"Tidak ada. Kegiatan aku selain kuliah ya menjaga dan melindungi kamu dimana pun dan kapan pun," jawab Arif diplomatis.
"Tidak perlu. Dan aku tidak suka. Mulai sekarang jangan dekat-dekat aku lagi. Get away far and far from me," bentak Diksa dengan mata melotot marah. Arif terpaku menatap Diksa yang sedang marah.
"Oke!" jawab Arif lirih lalu beranjak dari hadapan Diksa. Dia melangkah dengan wajah menunduk sedih. Diksa sedikit merasa menyesal juga karena sudah membentak pemuda itu. Tapi rasa jengkelnya melebihi rasa sesalnya. Biarlah. Dia hanya ingin merasa nyaman dalam hidupnya. Pria itu benar-benar mengganggu.
***
Hari berikutnya Arif benar-benar tidak pernah muncul lagi di hadapan Diksa. Gadis itu merasa tenang karena tidak ada lagi yang mengganggu dan membuatnya kesal. Namun lambat laun Diksa mulai merasa kehilangan. Terkadang dia mencari sosok pria itu dan berharap bisa mendengar suara Arif yang cerewet bertanya segala hal. Mengikutinya kemana saja meskipun tidak diajak. Pria itu benar-benar menjauh.
Sementara Arif lebih sering berada di bengkel Josua saat sedang bosan atau tidak ada kelas.
"Ngapain elu di sini saban hari? Tumben. Biasanya elu gak pernah muncul di sini dan sibuk ngikutin Diksa kemana saja," ujar Josua yang sedang sibuk di depan mesin sebuah mobil. Sedangkan Arif sedang rebahan di atas bangku panjang.
"Hei kunyuk. Gue tanya elu. Ngapain gak bareng Diksa lagi. Elu diusir sama dia ya?" ledek Josua.
"Lagi libur," jawab Arif.
"Bilang aja ditolak mulu," sahut Josua. Arif mendecih.
"Sekarang memang ditolak tapi belum menyerah. Aku memang sengaja menjauh dulu," ujar Arif.
"Maksudnya?" Josua bingung mendengar ucapan temannya.
"Jadi gini selama ini aku selalu ngikutin dia kemana-mana biar dia terbiasa ada aku di sekitarnya. Nah saat dia tolak aku terus pergi dia akan merasa kehilangan dan mulai kangen. Saat di puncak rindunya aku akan tiba-tiba datang samperin dia gitu. Aku jenius kan hehehe?" tukas Arif sambil memainkan alisnya naik turun. Josua hanya mencibir mendengar teori Arif.
"Semoga berhasil Bro. Semoga Diksa belum disambar orang lain," ujar Josua dengan senyum meledek.
"Mana ada. Diksa pasti tungguin aku," kilah Arif penuh percaya diri. Josua terkekeh.
***
Suatu sore jelang akhir pekan. Diksa kembali dari kegiatan klub agak terlambat. Langit mulai mendung dan angin bertiup sedikit kencang dan dingin menusuk tulang.
Diksa memacu motornya keluar dari area kampus dengan kecepatan tinggi agar segera tiba di rumah. Namun naas. Di sebuah jalan yang agak sepi ban motornya tiba-tiba bocor.
Diksa turun dari tunggangan besi kesayangannya dan memeriksa kondisi ban yang gembos. Benar-benar parah.
Gadis itu mengedarkan pandangan sekeliling. Sepi dan jarak rumah agak berjauhan. Ketika beberapa bocah bersepeda lewat di jalan itu Diksa segera menyapa mereka untuk menanyakan letak bengkel terdekat. Sayangnya tak ada bengkel di sekitar lokasi itu. Diksa mulai cemas. Dia memikirkan ibunya yang akan khawatir jika dia pulang telat.
Dalam kebingungannya dari kejauhan terlihat dua sepeda motor mendekat. Salah satu dari pengemudi motor adalah Arif. Pemuda itu langsung menepi saat mengenali Diksa yang sedang berjongkok di depan motornya di tepi jalan sendirian.
"Hai Diksa! Ngapain di sini?" tanya Arif membuka helm di kepalanya. Dua kawannya yang berboncengan di motor lainnya ikut menepi.
Diksa menengadahkan wajahnya dan mendapati Arif baru saja turun dari motornya. Seketika ada rasa lega dan senang terbersit dalam dada gadis itu. Diksa segera berdiri.
"Bannya gembos. Kayanya bocor," jawab Diksa.
"Kayanya tidak ada bengkel sekitar sini deh," ujar Arif berjongkok memeriksa kondisi ban motor matic itu.
Setelah berpikir sejenak Arif kembali beralih ke gadis berhelm hello kitty di depannya.
"Sekarang kamu mau kemana?" tanya Arif dengan nada biasa seolah tak ada masalah dengan gadis itu sebelumnya.
"Mau pulang," jawab Diksa tanpa memandang wajah Arif. Dia masih merasa bersalah sudah membentak pemuda itu tempo hari.
"Bro, kalian bisa bantu bawa ni motor ke bengkelnya Jo? Gimana lah cara kalian," tanya Arif kepada dua kawannya.
"Tyo aja yang bawa ntar aku dorong dari belakang. Kayanya bengkel Jo belum terlalu jauh," tukas Andri. Tyo yang duduk di boncengan Andri menyanggupi. Pemuda itu lalu turun.
"Diksa, Tyo sama Andri antar motor kamu ke bengkel Jo terus aku antar kamu pulang. Motornya dititip di sana aja karena bengkelnya tidak lama lagi juga mau tutup," ucap Arif menjelaskan situasinya pada Diksa. Diksa hanya bisa menyetujui pengaturan tersebut.
Akhirnya Tyo dan Andri segera melesat pergi membawa motor malang Diksa ke bengkel Josua. Sedangkan gadis itu segera naik ke boncengan Arif yang akan mengantarkan dia pulang.
Arif memacu kendaraannya perlahan. Tak ada yang bersuara di antara keduanya. Masing-masing diam dengan pikiran masing-masing. Hanya deru suara motor yang berpacu bersama angin sore yang semakin kencang pertanda hujan sebentar lagi turun.
Tak lama titik air mulai terasa menerpa permukaan pakaian mereka.
"Diksa, pegangan. Aku mau percepat dikit," seru Arif pada gadis di belakangnya. Tanpa berkata-kata Diksa segera memegang erat jaket yang dikenakan Arif bersamaan dengan pria itu menambah kecepatan kendaraannya.
Mereka menembus rintik hujan yang kian banyak jatuh dari langit menuju ke sebuah kompleks perumahan sesuai petunjuk Diksa.
Ketika tiba di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas, hujan telah turun dengan lebat. Arif segera memarkirkan sepeda motornya lalu berlari menyusul Diksa untuk berteduh di teras rumah. Seluruh permukaan pakaiannya basah kuyup. Arif melepaskan helm dan jaket yang basah. Untung saja ranselnya telah dilindungi dengan mantel pelindungnya.
"Assalamu'alaikum. Ibu!" teriak Diksa melawan suara hujan yang riuh menerpa atap seng rumah.
Pintu terbuka dan keluar lah Bu Marni.
"Wa'alaikumussalam. Lho kok hujan-hujanan, Nak. Motor kamu mana?" seru Bu Marni dengan nada cemas.
"Di bengkel, Bu. Bannya kempes. Aku pulang diantar teman yang ketemu di jalan," ujar Diksa sambil menoleh ke arah Arif yang sedang berdiri dengan kondisi menggigil kedinginan.
"Subhanallah. Masuk dulu Nak hangatin badan di dalam." Bu Marni membuka lebar pintu rumah dan mempersilahkan Arif masuk. Dengan canggung Arif mengucapkan terima kasih dan menyusul pasangan ibu dan anak itu masuk ke dalam rumah.
Diksa menyodorkan selembar handuk kering kepada Arif dan sepasang kaos dan celana panjang.
"Kamu bersihkan diri di kamar mandi itu. Ini baju kaos dan celana kakakku. Kayanya muat deh di badan kamu," kata Diksa dengan senyum kecil.
"Terima kasih ya." Arif membalas senyum Diksa lalu masuk ke kamar mandi yang ditunjuk oleh Diksa. Beberapa menit kemudian Arif keluar dengan tampilan segar memakai kaos hitam dan celana kulot versi lelaki bercorak loreng. Tubuh jangkungnya terlihat sangat cocok dengan pakaian itu. Terlihat lebih kasual namun tampan. Diksa sedikit terpesona. Dia seolah melihat kakaknya sedang berdiri di depannya.
Bu Marni keluar dari dapur dengan sebuah nampan dan dua cangkir teh panas serta sepiring kue bolu.
"Nak ... siapa namanya?" tanya Bu Marni.
"Arif, Bu," jawab Arif.
"Nak Arif mari minum teh dulu," kata Bu Marni meletakkan nampan di atas meja ruang tamu. Arif dan Diksa duduk di masing-masing kursi rotan di ruangan itu.
"Silahkan Nak. Biar hangat. Terima kasih ya sudah mengantar Diksa pulang," tukas Bu Marni dengan nada penuh rasa syukur.
"Kebetulan bertemu di jalan, Bu," imbuh Arif.
"Nak Arif dan Diksa sekampus ya?" tanya Bu Marni.
"Iya, Bu. Tapi beda fakultas. Arif mahasiswa teknik. Tapi kami seangkatan. Sama-sama mahasiswa baru." Kali ini Diksa yang menjelaskan.
"Oh. Nak Arif tinggalnya dimana?" tanya Bu Marni lagi.
"Saya nge-kos di sekitar bundaran kota, Bu. Saya dari kota M cuma numpang kuliah di kota ini," jawab Arif. Dia lalu menyesap teh panas yang begitu nyaman membasahi kerongkongannya yang kering.
"Oh, dari kota M. Putra pertama Ibu juga kerja di sana. Itu putra saya." Bu Marni menunjuk salah satu foto di dinding ruang tamu tersebut. Foto Dikta dalam balutan outfit wisuda.
Arif memperhatikan dengan seksama wajah dalam foto tersebut. Terlihat familiar baginya.
"Siapa namanya, Bu?" Arif iseng bertanya karena penasaran.
"Namanya Dikta. Dia kerja jadi sekretaris di sebuah perusahaan besar di sana," pungkas Bu Marni. Arif terkejut. Terlintas nama Dikta dalam pikirannya adalah sekretaris kakaknya yang pernah dia temui saat pemakaman kakak iparnya beberapa bulan yang lalu.
"Apakah Kak Dikta kerja di perusahaan Pramana Corporation?" tanya Arif dengan nada ragu.
"Ibu tidak tahu nama perusahaannya,"
"Benar itu nama perusahaannya," potong Diksa. " Kamu tahu Kak Dikta?" Kali ini Diksa dan Bu Marni yang menatap penasaran kepada Arif.
"Kalau Diksa yang Ibu maksud yang jadi sekretaris di Pramana Corporation maka bisa jadi dia sekretaris kakakku," jawab Arif sambil memandang Diksa dan Bu Marni bergantian.
"Siapa nama kakakmu, Nak?" tanya Bu Marni makin antusias.
"Aisha. Dia istri pemilik Pramana Corporation yang meninggal beberapa bulan lalu," ungkap Arif.
"Benar. Nyonya Aisha. Itu majikan Dikta. Mereka pernah singgah di sini ketika ada urusan di kota S katanya," timpal Bu Marni dengan senyum lebar.
"Kak Dikta itu sekretaris pribadi Kak Aisha. Saya ketemu dia waktu acara kematian kakak ipar saya. Dia tinggal serumah dengan kakak saya," tambah Arif memberi penjelasan.
"Apa?? Tinggal serumah?" Bu Marni kaget mendengar penuturan Arif.
"Iya. Setahu saya sejak Kak Dikta kerja dengan kakak ipar dia tinggal di rumah mereka bahkan hingga sekarang. Selain menjadi sekretaris, Kak Dikta juga menjaga Kak Aisha dan ponakan saya yang masih kecil. Beberapa kali saya ketemu waktu liburan ke rumah Kak Aisha."
Bu Marni terdiam mendengar penjelasan Arif. Perasaannya tidak nyaman membayangkan putranya yang masih bujang tinggal serumah dengan seorang janda. Masih muda dan kaya raya. Ada rasa khawatir membayangkan fitnah keji yang akan menghampiri anaknya.
"Bu! Ibu kenapa?" Diksa membuyarkan lamunan ibunya.
"Tidak ada apa-apa. Hmm ... Nak Arif makan malam di sini saja ya," tawar Bu Marni.
"Tidak usah, Bu," tolak Arif dengan sopan.
"Hujannya masih deras lho, Nak. Tunggu reda saja sambil makan malam," bujuk Bu Marni. Melihat Arif mengingatkannya pada putra semata wayangnya yang hidup di perantauan.
"Iyalah Bu. Saya mau numpang shalat Magrib juga," ujar Arif.
"Oh, boleh. Kita berjamaah saja," timpal Bu Marni. Arif mengiyakan kemudian beranjak mengambil air wudhu.
Ketiganya lalu shalat Magrib berjamaah diimami oleh Arif.
Dalam doanya Bu Marni memohon keselamatan Dikta agar terhindar dari perbuatan keji dan fitnah. Sungguh perasaannya tidak tenang mengetahui kebenaran yang tidak pernah diceritakan oleh Dikta selama ini.
Bu Marni memutuskan akan menanyakan langsung kepada putranya nanti.
Bersambung ....
๐๐๐
Terima kasih atas dukungan kalian terhadap novel ini. Jangan lupa power stone dan komen membangun untuk perkembangan karya author ke depannya.
See you next chapter ๐