Maaf jika ada typo yang terselip ๐
๐๐๐
Dengan penuh rasa canggung Arif menerima tawaran makan malam dari Bu Marni. Mereka bertiga makan malam bersama dengan menu sederhana ala rumah namun terasa nikmat di lidah Arif. Masakan Bu Marni mengingatkannya pada masakan ibunya di kampung.
Obrolan terus mengalir. Arif menceritakan sedikit tentang keluarganya termasuk tentang Aisha, kakaknya. Bu Marni mendengarkan dengan seksama dan memikirkan banyak hal.
Pukul delapan malam hujan mulai reda. Arif akhirnya pamit pulang pada Bu Marni yang mengucapkan banyak terima kasih padanya karena telah membantu putrinya. Tentu saja Bu Marni mengizinkan Arif untuk selalu berkunjung ke rumah mereka mengingat Arif adalah saudara dari majikan putranya. Arif menyambut dengan suka cita.
Diksa mengantar pemuda itu ke teras depan tempat sepeda motor Arif terparkir.
"Arif!" panggil Diksa saat Arif sedang memasang sepatunya yang sedikit basah.
"Hmm?" Arif mendongak pada Diksa yang berdiri di depannya sambil melipat tangannya di depan dada untuk menghalau udara dingin.
"Maafkan sikap kasarku sebelumnya ya," ujar Diksa dengan tulus. Arif tersenyum.
"Dimaafkan. Aku juga minta maaf karena sudah bikin kamu tidak nyaman," ucap Arif seraya berdiri dan meraih jaketnya. Memasang jaket tersebut dan juga menggantung ransel di bahunya.
Diksa tersenyum lalu menyodorkan sebuah bungkusan.
"Apa ini?" tanya Arif dengan raut penuh tanya. Tak urung dia menyambut bungkusan pemberian Diksa.
"Ucapan terima kasih. Tempatnya tidak usah dibalikin," sahut Diksa.
"Yakin? Tu**erware kan mahal. Ibumu tidak bakal marah kalau tidak dibalikin?" ujar Arif dengan senyum jenaka. Diksa tertawa kecil.
Benar sih. Ibu-ibu suka emosi tinggi kalau ada yang pinjam benda keramat satu itu terus tidak dibalikin.
Arif menggantung bungkusan tu**erware yang entah berisi apa di stang setir motornya.
"Tidak apa-apa kok. Sudah mulai larut nih. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut nyetir motornya," tutur Diksa menyerahkan helm kepada Arif.
"Duhh ... yang khawatir. Senang deh dapat perhatian kaya gini dari kamu," goda Arif dengan senyum jahilnya. Dia meraih helm di tangan Diksa.
"Apaan sih Rif. Percaya diri banget," gerutu Diksa. Wajahnya sengaja dibuat cemberut. Arif terkekeh.
"Oke deh. Nanti aku kabari kalau sudah sampai rumah. Nomor kontakmu tidak ganti kan?" Diksa mengangguk. Arif naik ke atas sadel motor kemudian menyalakan mesin
"Aku pulang ya. Bye. Assalamu'alaikum!" pamit Arif.
"Wa'alaikumussalam!" Diksa melambaikan tangan saat Arif mulai memacu kendaraannya keluar halaman rumah Diksa. Dari spion dia Arif melihat Diksa melambaikan tangan padanya. Seulas senyum terukir di bibirnya.
Tidak sia-sia dia keluar bersama Andri dan Tyo tadi siang untuk menemani kedua temannya itu menjemput pacarnya Andri di terminal bus dan mengantar ke rumahnya. Padahal awalnya dia malas keluar rumah. Ternyata ada hikmahnya juga. Dia bisa ketemu Diksa, menolongnya dan akhirnya malah diperkenalkan dengan ibunya. Kalau sudah begini jalan pendekatan bakal semakin mulus.
Arif terus tersenyum sepanjang jalan. Otaknya saat ini sedang merangkai rencana untuk besok saat akan menjemput Diksa di rumahnya. Tentu saja mereka harus ke bengkel Josua esok hari untuk mengambil motor Diksa yang di titip di sana.
Oh, bahagianya hati Arif saat ini.
***
Bu Marni mencari ponsel yang pernah diberikan oleh Dikta kepadanya. Sebuah ponsel android biasa bukan sejenis smartphone canggih dan rumit. Katanya supaya bisa berkomunikasi kapan pun. Bahkan setiap sebulan sekali Dikta selalu mengisi tagihan pulsa untuk nomor kontak Bu Marni meskipun ibunya sangat jarang menggunakannya. Alhasil hanya Diksa yang sering menghabiskannya untuk keperluan membuat tugas atau sekedar menengok laman sosial medianya.
Dikta juga sudah menyetel panggilan darurat dan cepat di ponsel ibunya. Nomor 1 untuk layanan darurat kepolisian di seluruh Indonesia, nomor 2 adalah panggilan cepat ke nomor Dikta dan nomor 3 adalah panggilan cepat ke nomor Diksa. Begitu juga dengan ponsel milik Diksa. Berjauhan dengan kedua orang yang disayanginya membuat Dikta selalu khawatir dengan keadaan mereka.
Bu Marni lalu menekan nomor 2 pada kibor ponsel dan tak lama menampilkan nama putranya di sana. Bunyi dering nada sambung terdengar sebanyak dua kali kemudian terdengar suara hangat Diksa menyapa Bu Marni.
***
Di belahan bumi lainnya, di kota yang berbeda. Aisha dan Dikta sedang berkutat dengan tumpukan dokumen di atas meja di depan mereka. Mereka masing-masing sibuk meneliti tumpukan kertas di tangan.
"Sepertinya ada kejanggalan dengan angka-angka ini. Jika dibandingkan dengan laporan dua kuartal sebelumnya ada penurunan profit rate di kuartal ini khususnya pada akhir kuartal. Terlihat tipis tapi aneh. Laporan dari setiap cabang mengatakan bahwa tingkat penjualan beberapa produk baru kita masih stabil dan pemesanan untuk iklan cetak dan iklan elektronik juga masih di atas rata-rata. Mengapa ada selisih dalam arus kas perusahaan?" ujar Aisha masih meneliti satu persatu laporan di depannya.
Dikta mengalihkan perhatiannya dari macbook di tangannya. Dia sedang memantau pencapaian beberapa iklan yang mereka luncurkan secara online.
Dikta bangkit dari tempat duduknya kemudian duduk di sofa yang sama dengan Aisha meskipun masih memberi jarak. Dia mengamati laporan keuangan yang disodorkan Aisha. Ruang antara dua alisnya sedikit berkerut sesaat.
"Saya sudah membaca laporan ini kemarin saat Tia menyetorkan pada saya. Dan memang dari semua laporan ini yang aneh. Ini laporan dari perusahaan cabang kota S," sahut Dikta.
"Apakah kamu sudah menghubungi direktur keuangan di sana?" tanya Aisha sambil memijit pelipisnya yang berdenyut.
"Sudah. Tapi dia mengelak jika ada selisih dalam laporan. Saya sudah meretas data base cabang kota S dan beberapa data riil masuk ke akun saya, data-data itu memang sama dengan laporan yang diberikan pihak direktur keuangan mereka," ucap Dikta memperlihatkan data-data yang diambil dari data base cabang kota S.
Aisha termenung. Mengapa laporan akhir yang diserahkan padanya ada sedikit celah. Mungkinkah ini permainan dalam internal divisi keuangan di Pramana Corporation.
Aisha menatap Dikta dengan kepala penuh dengan berbagai spekulasi. Pria itu pun menatapnya sambil mengerutkan dahinya berusaha menyelami pikiran majikannya.
"Apakah kamu memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Aisha masih menatap sekretaris tampannya. Seketika Dikta tersenyum. Senyum yang hampir tidak pernah diperlihatkan pada orang lain. Aisha sampai harus mengalihkan pandangannya agar tidak terpesona pada senyum tampan itu.
"Mungkin. Nanti aku akan menyelidikinya secara mendalam," tukas Dikta. Dia kembali mengambil macbooknya.
"Maksudmu? Apakah kamu sudah menyelidiki sebelumnya?" tanya Aisha bingung.
"Iya. Saya mencoba menengok data base keuangan perusahaann ternyata IP-nya sudah terkunci dan sepertinya dikunci oleh seseorang. Sehingga saya tidak bisa lagi masuk dalam akses keuangan. Padahal sewaktu almarhum Tuan Alif masih hidup siapa pun biasanya mengaksesnya. Sepertinya dikunci baru-baru ini," ungkap Dikta memperlihatkan hasil penyelidikannya pada Aisha. Wanita itu hanya menghela napas.
Satu persatu masalah mulai bermunculan. Mungkin ada orang dalam yang mulai membangkang dan berusaha membelot untuk kepentingannya. Aisha ingat, saat Almarhum suaminya masih hidup pun kadang ada saja intrik-intrik jahat dari orang dalam yang berusaha melakukan kejahatan keuangan. Seperti penggelapan dana atau penjualan saham secara diam-diam. Namun konspirasi tersebut dapat dipatahkan karena Almarhum suaminya tegas dalam segala hal.
Kini orang-orang itu mulai berulah lagi untuk mencari keuntungan. Mungkin karena mereka berpikir bahwa posisi Aisha tidak sekuat Alif Pramana. Aisha hanya direktur utama sementara.
Aisha bersandar di sandaran sofa sembari memijit pelipisnya perlahan. Dia memejamkan matanya dan berusaha mengatur napasnya yang mulai dibalur emosi.
Tiba-tiba dia merasakan sentuhan jemari kokoh di permukaan kulit dahinya. Aisha seketika membuka matanya dan mendapati wajah serius Dikta di sampingnya sedang memandang ke layar macbook di tangan kanannya. Sementara tangan kiri lebar pria itu memijit permukaan pelipisnya dengan jempol di pelipis kiri dan jari telunjuk di pelipis kiri.
Aisha hendak bangun tetapi tangan Dikta menahan kepalanya
"Jangan bergerak. Diam dan nikmati saja," lirih Dikta. Dia hanya melirik sesaat kemudian kembali fokus pada aktifitasnya yang terhenti. Jemarinya kembali bergerak dengan ritme perlahan dan teratur.
Seperti terhipnotis, Aisha menurut dan kembali merebahkan kepalanya dan berusaha rileks menikmati pijitan di kepalanya. Dia memejamkan matanya lagi. Sepersekian menit kemudian dering ponsel terdengar. Itu bukan nada dering ponsel Aisha tapi ponsel Dikta.
Dalam keadaan setengah sadar hampir tertidur Aisha merasakan sentuhan jemari Dikta di pelipisnya berhenti berganti dengan sentuhan bibir hangat di permukaan dahinya. Aisha terkesiap dan tidak berani membuka matanya hanya untuk bertatapan dengan mata Diksa. Ada gelenyar dingin yang merayap di sekujur tulang belakangnya. Membuat perutnya mual karena sensasi terkejut yang menerjangnya selama beberapa detik.
Tak lama Aisha mendengar dering ponsel berhenti dan langkah kaki Diksa menjauh, kemudian suara daun pintu tertutup perlahan.
Aisha baru membuka matanya dan menemukan hanya dirinya di dalam ruang kerjanya bersama tumpukan kertas-kertas yang menjadi saksi bisu adegan romantis yang baru saja dilakukan oleh sekretarisnya.
Apakah itu bisa dikatakan adegan romantis?
Aisha meraba dahinya yang tadi dikecup oleh Dikta. Dia yakin itu adalah bibir Dikta yang menempel di sana. Dia adalah wanita dewasa yang telah memiliki pengalaman dengan sentuhan intim seperti itu.
Seketika Aisha menutup mulutnya untuk menahan pekikan keluar dari mulutnya. Jantungnya masih berdebar tak karuan.
Ya Allah! Apa itu tadi?
***
Dikta keluar dari ruang kerja Aisha dan menutup pintu perlahan. Dia menuju ke balkon samping menerima panggilan telepon dari ibunya. Panggilan tersebut sudah lama terputus sehingga Dikta memutuskan menelepon balik. Mungkin ada hal urgent yang ingin disampaikan ibunya.
Baru satu dering nada sambung, ibunya langsung menjawab panggilannya.
"Assalamu'alaikum, Bu!" sapa Dikta.
"Wa'alaikumussalam, Nak. Gimana kabarmu?" jawab Bu Marni di seberang sambungan.
"Alhamdulillah baik, Bu. Bagaimana Ibu dan Diksa?" tanya Dikta.
"Alhamdulillah sehat juga, Nak. Kamu tak usah khawatir dengan keadaan kami di sini. Semuanya tercukupi. Uang bulanan yang kamu kirim juga masih banyak dan Ibu tabung sebagian,"
"Habiskan saja kalau Ibu pengen beli sesuatu yang Ibu suka. Jangan menahan diri. Aku akan kirim tiap bulan juga. Untuk uang semester Diksa Ibu tak usah khawatir. Aku sudah bayar untuk empat semester ke depan," pungkas Dikta. Dia menyulut sebatang rokok untuk menghalau udara dingin yang menerpa tubuhnya.
"Tidak apa-apa, Nak. Ibu juga tidak perlu apa-apa. Ngomong-ngomong apakah Ibu ganggu kamu malam-malam begini?" tukas Bu Marni dengan nada hati-hati.
"Tidak, Bu. Aku baru selesai bantu Nyonya Aisha menyelesaikan pekerjaan kantor," balas Dikta.
"Kamu sibuk ya, Nak?"
"Tidak, Bu. Ini juga sudah mau tidur," balas Dikta. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Ibu mau tanya sesuatu, Nak. Ibu harap kamu jawab jujur." Dikta mendengar suara ibunya yang seperti menahan beban di hatinya.
"Ibu mau tanya apa?"
"Nak, benar ya kamu tinggal serumah dengan majikan perempuanmu?"
Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari mulut ibunya. Selama enam tahun dia tinggal serumah dengan majikannya, dia tidak pernah mengatakan kepada ibunya karena dia tidak ingin perempuan kesayangannya itu khawatir. Namun Dikta sadar suatu saat ibunya pasti akan tahu.
"Iya, Bu," jawab Dikta lirih. Terdengar helaan napas berat di seberang sana.
"Nak, kamu tahu kan hukumnya serumah dengan perempuan yang bukan mahrom apalagi dia tidak punya wali yang mendampinginya. Apalagi dia janda, kaya raya, dan masih muda serta cantik. Ada fitnah besar di dalamnya, Nak. Kamu lelaki dewasa yang normal. Sekuat apa pun imanmu, syaitan tetap akan berusaha menggoda dan melemahkan imanmu. Syetan akan tetap mencari celah agar bisa menjerumuskanmu," tutur Bu Marni dengan nada lembut penuh nasehat. Dikta diam mendengarkan. Hanya hembusan napasnya yang terdengar menandakan bahwa dia masih mendengarkan ibunya.
"Nak, Ibu tahu tugas kamu melindungi nyonya majikanmu dan tuan muda. Tetapi ada hal yang lebih penting dari keselamatan fisik semata. Kamu harus bisa menjaga muru'ah nyonya majikanmu sebagai seorang perempuan baik-baik. Dia janda dan rentan dengan fitnah. Jangan mengedepankan nafsumu, Nak. Kamu mengerti kan maksud Ibu?" pungkas Bu Marni.
"Iya, Bu. Aku paham. Terima kasih Ibu sudah mengingatkan Dikta," tukas Dikta.
"Baiklah. Ini sudah larut. Kamu istirahat sana. Ibu juga mau istirahat. Besok mau ke warung. Sudah dulu, Nak. Baik-baik di sana. Assalamu'alaikum," tutup Bu Marni. Lalu panggilan telepon terputus setelah Dikta membalas salam ibunya.
Dikta memandang kegelapan malam yang melingkupi halaman samping. Pikirannya beriak memikirkan nasehat ibunya. Semua yang dikatakan ibunya benar. Dia tidak pernah tahu kapan dia akan lepas kontrol dan bertindak di luar batas. Dia lelaki dewasa dan normal.
Bersama dengan Aisha setiap hari, memandang wajah cantik wanita itu saat baru bangun tidur, saat makan bersama, saat di kantor atau saat berduaan di dalam ruang kerja benar-benar menguji imannya.
Perasaan sukanya selama enam tahun ini perlahan bertumbuh menjadi rasa cinta dan ingin memiliki. Namun sejauh ini dia masih bisa mengendalikan rasa frustasi di dalam dadanya. Tapi sampai kapan? Jangan sampai bukannya melindungi Aisha tetapi malah melukai perasaan wanita itu.
Dikta melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu kaca pembatas dengan balkon kemudian menarik horden penutupnya. Perlahan dia memeriksa ruang kerja Aisha. Sudah sepi tak ada lagi wanita itu. Mungkin dia sudah pergi tidur. Dikta naik ke lantai dua menuju kamar Alfa. Dia berniat memeriksa keadaan kamar bocah itu.
Alfa tidur dengan nyenyak sambil memeluk robotnya. Tubuhnya sudah tidak tertutup selimut karena benda tersebut telah teronggok di lantai. Perlahan Dikta menyelimuti kembali tubuh mungil bocah tersebut. Sosok mungil yang telah mengisi hidupnya selama enam tahun. Kehadiran bocah itu telah menambal rasa sepi di ceruk hatinya. Betapa dia sangat menyayanginya.
Bisakah dia tidak melihat bocah itu walau hanya sehari? Aisha dan Alfa telah menjadi tujuan hidupnya. Dia akan melindungi keduanya dengan seluruh jiwa raganya.
Bersambung ....
๐ธ๐ธ๐ธ
Jangan senyum-senyum sendiri bacanya ya nanti dikira orang gila hahaha
Jangan lupa dukung Dikta dengan batu kuasa dan komen positifnya.
See you next chapter ๐