Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 13 - Tentang Dikta dan Diksa

Chapter 13 - Tentang Dikta dan Diksa

🍁🍁🍁

"Ada bisa dibantu Mbak?" sapa Josua pada pelanggan yang baru saja memarkirkan motor matic hitamnya.

"Tambal ban Mas," jawab si pelanggan. Arif terkejut. Suara itu sedikit familiar di telinganya. Secepat kilat dia menoleh pada pelanggan yang sedang membuka helm hello kitty-nya. Ketika helm terbuka, dia mendapati seraut wajah manis namun dengan ekspresi datar.

"Lho, kamu ...?" seru Arif kaget. Tangannya menunjuk ke arah gadis helm hello kitty.

"Siapa dia, Bro?" tanya Josua penasaran.

"Kamu yang menolong aku semalam kan?" tanya Arif dengan antusias dan mengabaikan pertanyaan Josua.

"Menolong siapa?" tanya gadis helm hello kitty dengan wajah datar.

"Semalam di gang Setia. Kamu menolong aku dari komplotan Bang Jack yang kepalanya gundul?" Arif berusaha menjelaskan dengan menggerakkan tangannya di kepala.

Gadis itu tampak berpikir sebentar kemudian raut wajahnya berubah biasa seolah dia telah mengingat sesuatu.

"Sudah ingat kan?" tanya Arif lagi. Gadis helm hello kitty mengangguk pelan.

"Semalam aku belum sempat mengucapkan terima kasih tetapi kamu keburu pergi. Dan pagi ini aku mencari kamu di klub, kata cleaning service di sana klub kamu libur kalau akhir pekan.

"Klub?" Dahi si gadis mengernyit.

"Kamu anggota klub silat kan?" tanya Arif memastikan. Gadis helm hello kitty kembali mengangguk.

"Aku Arif. Aku kuliah di jurusan Desain Tata Kota semester awal. Nama kamu siapa?" ulik Arif. Dia mengulurkan tangannya ke arah si gadis helm hello kitty. Gadis itu menatap sesaat tangan.Arif yang terulur padanya.

"Diksa Erlingga. Panggil Diksa saja," ucap si gadis.

"Wow, nama yang cantik. Seperti orangnya. Kalau dia sahabat aku. Namanya Josua. Panggil saja Jo," kata Arif menunjuk pada temannya yang sedang memperbaiki ban motor Diksa.

"Hai ..." Josua melambaikan tangannya.

Arif mengajak Diksa duduk di bangku panjang yang dia tempati sebelumnya. Mereka mengobrol panjang lebar. Lebih tepatnya hanya Arif yang banyak bicara dan banyak bertanya. Sedangkan Diksa hanya menjawab dengan jawaban pendek berupa "iya" atau "tidak" atau bahkan hanya menggumam.

Dari percakapan tidak seimbang itu, Arif jadi tahu kalau Diksa kuliah di jurusan Ekonomi Menejemen semester awal juga. Mereka seangkatan meski beda fakultas.

"Mengapa aku tidak melihat kamu di kegiatan Osmaba kemarin?" tanya Arif.

"Aku hanya masuk dua hari selebihnya aku sakit," jawab Diksa. Tatapannya fokus pada tangan terampil Josua yang sedang menyelesaikan pekerjaan tambal ban-nya.

"Oh, begitu. Mmm ... apakah aku boleh berkunjung ke klubmu?" tukas Arif penuh harap.

"Tidak boleh!" jawab Diksa.

"Kenapa?"

"Hanya anggota klub yang boleh masuk ke base club," ujar Diksa.

"Tapi cleaning servis boleh kok?" protes Arif merasa tidak adil.

"Anggota club dan cleaning servis. Itu pun hanya membersihkan ruangan pada hari libur. Selebihnya tidak boleh," tegas Diksa.

"Oh!"

"Oke, sudah selesai Nona!" seru Josua yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Dia lalu membersihkan tangannya di wastafel yang terletak di sudut bangunan bengkel.

Diksa memeriksa hasil pekerjaan Josua sejenak. Dia menyerahkan selembar uang sebagai biaya reparasi kemudian memakai helmnya dan bersiap menghidupkan mesin.

"Terima kasih," kata Diksa pada Josua. Pria berkacamata itu membalas dengan mengangkat sebelah tangannya.

"Nanti aku traktir ya sebagai ucapan terima kasih," kata Arif.

"Tidak perlu. Aku menolong tanpa pamrih," sahut Diksa sembari menyalakan mesin motornya.

"Tapi ..."

"Sampai jumpa!" Diksa memacu motornya perlahan meninggalkan halaman bengkel meninggalkan Arif yang melongo di belakangnya.

"Hahahaha ... ternyata cewek itu yang nolongin elu semalam. Cakep juga. Tapi elu dicuekin gitu," ledek Josua sembari menopang sebelah tangannya di bahu Arif.

"Capek-capek aku cari dia ke klubnya ternyata malah ketemu di sini. Tapi aku makin penasaran deh sama tuh cewek," ujar Arif dengan senyum misterius.

"Elu mau ngejar dia?" tanya Josua. Arif menaikkan sebelah alisnya tanda mengiyakan.

"Ceileee ... hehehe kejar sampai dapat. Semangat Bro!" seru Josua menepuk bahu Arif memberi semangat. Keduanya tertawa bersama dan kembali menikmati soda sambil duduk di bangku. Josua kembali mendengarkan cerita Arif tentang aksi heroik Diksa saat menyelematkannya. Dan dia bertekad akan menaklukkan wonder girl itu.

***

Pagi yang sangat sibuk. Alfa kembali berulah dan tidak mau berangkat ke sekolah dia ingin ke taman bermain padahal akhir pekan telah berlalu dan kini dia harus berangkat ke sekolah.

Aisha mengeluarkan berbagai jurus rayuan untuk membujuk Alfa dibantu oleh Dikta. Setelah hampir sejam saling berkejaran dengan sang bocah, akhirnya Alfa bersedia berangkat ke sekolah dengan iming-iming akan ke taman bermain akhir pekan berikutnya.

Setelah masalah Alfa selesai, mereka tidak sempat lagi untuk sarapan. Akhirnya Bi Suri menyiapkan sarapan Alfa di dalam sebuah kotak bento dan dua kotak lainnya untuk Aisha dan Dikta. Mereka akan sarapan di kantor. Aisha dan Dikta mengantar Alfa ke sekolahnya terlebih dahulu.

Setelah mengantar Alfa ke depan pintu kelasnya dan memastikan putranya akan memakan sarapannya, Aisha merasa tenang berangkat ke kantor. Masih ada setengah jam waktu mereka untuk sampai di kantor.

Aisha duduk diam di kursi penumpang di samping Dikta yang sedang mengemudi. Keheningan menyeruak di antara mereka. Tak ada yang memulai pembicaraan.

Dikta melirik nyonya majikannya.

'Mungkin dia masih marah masalah kemarin,' pikir Dikta. Dia menghela napas perlahan. Namun helaan napasnya menguar dengan jelas di antara keheningan yang mereka ciptakan.

Aisha melirik sang sekretaris.

"Apakah tidak ada hal yang ingin kamu bicarakan?" tanya Aisha memecah kebisuan.

"Bicara masalah apa?" Dikta balik bertanya.

"Bukankah kemarin ada yang berjanji akan menjelaskan sesuatu," gerutu Aisha dengan wajah cemberut.

"Kirain sudah lupa," kilah Dikta. Aisha melengos membuat Dikta tersenyum.

Dikta diam sejenak. Dia sedang fokus ke depan saat berbelok di persimpangan yang ramai.

"Saya dan Maghdalena tidak berteman," ucap Dikta membuka pembicaraan. Aisha seketika menoleh ke arahnya dengan raut meminta penjelasan lebih.

"Saya memang pernah ketemu Maghdalena sekali. Di Singapura. Saat itu Maghdalena meninggalkan ponselnya di bangku taman. Saya hanya berniat mengembalikannya. Tak disangka ternyata dia masih mengingat wajahku," tutur Dikta sambil konsentrasi menyetir.

"Singapura? Kenapa kamu bisa ada di sana. Kalau Maghdalena setahu saya memang tinggal di Singapura dengan ibunya," cetus Aisha penasaran.

"Apakah Ibu tahu pekerjaan asli saya?" tanya Dikta kembali melirik Aisha yang masih menatapnya.

"Kamu sekretaris saya sekarang," jawab Aisha retoris.

Dikta tertawa mendengar jawaban nyonya majikannya. Aisha sampai terpana. Dia terpesona. Dikta hampir tidak pernah tertawa seperti itu. Sehari-hari dia hanya menampilkan wajah serius. Pria itu jadi terlihat sangat tampan.

"Ternyata Tuan benar-benar merahasiakan dari Ibu. Pekerjaan asli saya adalah seorang bodyguard. Pengawal," ucap Dikta.

"Bodyguard? Tapi kamu tidak seperti seorang pengawal. Setahu saya pengawal itu ..."

"Berpakaian hitam, berkacamata hitam, sikapnya kaku dan wajahnya hanya punya stok satu ekspresi. Maksud Ibu seperti itu?" potong Dikta. Aisha mengangguk. Dikta kembali tersenyum. Entah sudah berapa kali pria itu tersenyum sepagi ini. Biasanya dari pagi hingga pagi lagi senyumnya bisa dihitung jari. Hanya bersama Alfa dia akan menambah sedikit jumlah senyumnya.

"Bagaimana kamu bisa jadi seorang bodyguard?" ulik Aisha.

"Saya tidak pernah punya rencana untuk menekuni pekerjaan ini. Awalnya karena keadaan mendesak. Setamat kuliah saya belum punya pekerjaan tetap. Bapak saya sakit dan butuh biaya besar untuk operasi penyakit jantungnya yang makin parah. Saya mulai putus asa. Hingga saya bertemu seorang pria asing berkewarga negaraan Singapura. Aslinya dia orang Indonesia. Dia menawarkan pekerjaan dengan gaji lumayan besar. Awalnya saya menolak karena takutnya dia adalah gembong narkoba atau pekerjaan yang dimaksud adalah pembunuh bayaran. Tetapi dia meyakinkan saya kalau pekerjaan ini di bidang jasa yang menyediakan layanan keamanan bagi yang memerlukan. Semacam organisasi legal yang melatih bodyguard.

Akhirnya aku terima tawaran itu dan selama hampir setahun saya mengikuti pelatihan di Singapura. Selama pelatihan saya sudah mulai bisa bekerja tetapi yang ringan-ringan kaya pengamanan konser. Tetapi saya sudah mulai bisa menabung. Sayangnya bapak tidak bisa diselamatkan lagi sebelum mendapat penanganan di meja operasi. Saya terpukul dan menyesal. Tetapi hidup harus berlanjut. Saya juga memikirkan ibu. Memikirkan nafkah hidupnya dan juga biaya sekolah Diksa adikku. Akhirnya saya memutuskan tetap menekuni pekerjaan ini. Hingga saya bertemu Almarhum Tuan Alif." Dikta terdiam sejenak setelah penjelasan panjang lebarnya. Dia mencoba menarik ingatan akan pertemuannya dengan tuan majikannya.

Sementara Aisha masih setia menunggu cerita Dikta sambil memandang jalanan di depan.

"Suatu hari Tuan Alif datang ke markas organisasi atas rekomendasi seorang koleganya yang juga memakai jasa kami. Dia membutuhkan seorang pengawal yang akan menemani istrinya hampir setiap saat namun dia tidak ingin istrinya tahu karena mempertimbangkan kenyamanan sang istri tentunya. Setelah memberikan deskripsi pekerjaan dan kebiasaan sang istri akhirnya saya ditugaskan sebagai pengawal sekaligus sekretaris pribadi dengan pertimbangan latar belakang pendidikan saya. Dalam kondisi dan sesuai permintaan tertentu dari klien, kami harus bisa melakukan pekerjaan lain untuk menutupi identitas kami. Dan di sinilah saya menjadi pengawal sekaligus sekretaris Ibu." Dikta menutup ceritanya dengan senyum menawan.

Aisha merenung setelah mendengar cerita Dikta. Dia ingat saat pertama kali Dikta menjadi sekretarisnya, dia heran karena Dikta harus serumah dengan mereka dan mengekorinya kemana-mana. Dia protes tetapi suaminya menjelaskan bahwa Dikta adalah sekretaris pribadinya yang juga akan menjadi editor bukunya sehingga dia harus selalu siaga saat dia membutuhkannya. Aisha yang saat itu masih lugu menelan alasan itu mentah-mentah. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan sekretarisnya yang selalu ada di sekitarnya. Bahkan dia tidak menyadari kini dia telah begitu bergantung kepada sang sekretaris.

"Apakah ibumu tahu pekerjaanmu sebagai bodyguard?" tanya Aisha. Dikta menggeleng.

"Yang ibu tahu saya bekerja kantoran, berpindah-pindah beberapa tempat lalu menetap di kota ini. Pernah ibu bertanya dari mana saya mendapat uang banyak padahal saya hanya pengawal rendahan. Saya bilang bahwa saya punya pekerjaan sampingan yang gajinya lumayan. Sejak itu tidak bertanya lagi," jawab Dikta.

Aisha terdiam lagi. Masih ada yang mengganjal di hatinya.

"Tentang Maghdalena, apakah benar kamu tidak berhubungan dengan dia sebelumnya?" Kembali ke persoalan awal.

"Saya sudah menjelaskan tadi. Tipe wanita liar seperti Maghdalena bukan selera saya. Maka untuk apa saya memperpanjang hubungan dengan dia?" tukas Dikta santai.

"Memangnya tipe wanita yang kamu sukai seperti apa?" tanya Aisha perlahan. Dikta tersenyum mendengar pertanyaan nyonya majikannya.

"Mungkin ... wanita yang lembut dan shalehah," jawab Dikta sekenanya.

Aisha menggigit bibirnya. Lembut? Shalehah?

Setiap pria mengidamkan wanita seperti itu. Pria seperti Dikta yang lahir dari keluarga agamis tentu saja mengedepankan masalah agama dalam memilih pasangannya.

Mungkinkah pria ini telah memiliki wanita pilihan selama ini? Aisha membayangkan wanita imajiner yang telah dipilih oleh Dikta. Yang memakai pakaian longgar dengan kerudung panjang. Selalu tersenyum hangat dan menenangkan. Ibadahnya tak pernah putus dan suaranya merdu saat membaca Alquran. Semua bayangan itu membuat Aisha cemburu dan iri dengan wanita pilihan sekretarisnya. Rasanya dia tidak rela melepaskan Dikta suatu saat.

***

Mobil yang mereka kendarai tiba di pelataran parkir bawah tanah gedung Pramana Corp. Aisha berjalan menuju lobi diikuti oleh Dikta di belakang selayaknya seorang sekretaris. Dikta menenteng sebuah tas kulit berisi dokumen penting di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah bungkusan kotak bekal untuk sarapan pagi.

Setiap karyawan yang mereka temui mengucapkan salam sambil membungkuk hormat hingga keduanya masuk ke dalam lift. Aisha menanggapi salam mereka dengan senyum hangat.

Lima menit kemudian Aisha dan Dikta sampai di depan ruangan mereka. Tia tidak tampak di belakang meja kerjanya. Dikta segera membuka pintu ruangannya.

"Dikta, taruh saja tas dokumen itu kemudian datang sarapan di ruangan saya," pinta Aisha yang masih berdiri di depan pintu ruangannya yang telah terbuka.

"Baik, Bu!" jawab Dikta. Baginya semua perintah nyonya majikannya adalah bagian dari pekerjaannya walaupun itu hanya menemani sarapan atau makan siang di luar. Dia berusaha tidak melibatkan perasaan dalam hubungan kesehariannya dengan sang nyonya majikan agar tidak ada kesalahan pahaman di kemudian hari.

Tia masuk ke dalam ruangan Aisha ketika atasannya itu akan mulai sarapan.

"Ini kopinya, Bu," kata Tia. Dia memegang sebuah nampan dengan secangkir kopi.

"Taruh di atas meja kerja saya. Terima kasih Tia," ujar Aisha sembari tangannya sibuk menyendok nasi goreng dan omelette tomat ke piring Diksa. Pria itu sedang duduk tenang di sofa yang sama dengan Aisha sambil menatap layar Macbook-nya.

Tia melirik aktifitas duo majikan dan sekretaris itu yang lebih mirip sepasang kekasih yang akan sarapan bersama. Aisha menyadari tatapan Tia.

"Tia, kamu belum sarapan ya? Mari sarapan bersama," tawar Aisha sambil menunjuk menu sarapan. Tia kembali melirik Dikta yang kini menatapnya dengan tatapan tajam.

Sebenarnya sudah hal biasa Dikta bersikap seperti itu kepada semua karyawan di kantor. Diam dan jarang senyum. Tapi kali ini Tia merasakan tatapan pria itu seperti isyarat mengusir agar tidak mengganggu mereka. Tia menelan ludahnya ciut.

"Saya- saya sudah sarapan tadi di kantin, Bu," tukas Tia.

"Oh begitu!"

"Saya permisi balik ke depan, Bu." Tia segera keluar dari ruangan atasannya meninggalkan dua orang yang mulai sarapan.

Tia merasa aneh dengan sikap Aisha pada Dikta. Atau sebaliknya, cara Dikta memperlakukan Aisha. Tidak seperti biasanya. Atau hanya dia saja yang sedang berhalusinasi? Tia pusing memikirkannya.

Bersambung ....

🍁🍁🍁

Mohon maaf sebenarnya sedari tadi bab ini diposting, tetapi ada kesalahan teknis sehingga seluruh naskah bab ini terhapus. Saya harus mengetik kembali dengan mengandalkan ingatan sebelumnya. Terima kasih kepada yang masih setia menunggu cerita pasangan Dikta dan Aisha.

Selamat membaca mohon komen yang membangun 😘