๐๐๐
Tia masih terpaku menatap pintu ruang Dikta yang baru saja tertutup. Bahkan dia tidak menyadari kehadiran Aisha yang baru saja keluar dari ruangannya.
Aisha heran melihat Tia yang bengong. Dia pun mengarahkan pandangannya ke objek yang dipandangi sekretarisnya itu. Pintu ruang Dikta. Ada apa di sana?
"Tia, saya mau keluar jemput Alfa sekalian makan siang di luar. Saya tidak ada janji meeting dengan klien kan setelah jam istirahat makan siang?" kata Aisha membuyarkan lamunan Tia.
"I- iya Bu. Tidak ada," jawab Tia tergagap.
"Oke saya tinggal ya." Aisha melangkah menuju ruangan Dikta. Tia hendak mencegah tetapi dia tidak berani sama sekali. Terserahlah. Itu urusan mereka nanti.
Aisha mengetuk pintu ruang Dikta dua kali tetapi tak ada tanggapan. Dia memutar hendel pintu dan mendorong perlahan. Dia terbiasa melakukan itu karena setahu dia Dikta tidak pernah melakukan hal-hal aneh dalam ruangannya.
"Dikta, ayo kita jem ..." Aisha langsung terperangah dengan mulut membulat.
Di depannya, Aisha melihat seorang perempuan bergaun seksi berwarna merah dengan rambut panjang terurai sedang berdiri menghadap Dikta dengan tangan kanan di bahu pria itu dan tangan kirinya mengelus mesra dasi yang menempel di dada Dikta. Dikta hanya berdiri diam di sana sambil menatap perempuan di depannya. Posisi mereka sangat intim.
Sayang Aisha tidak bisa melihat wajah perempuan itu karena posisinya membelakangi Aisha.
Dikta mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan terkejut menyadari kedatangan Aisha. Perempuan itu pun menoleh ke arah yang sama dan lanngsung mengulas senyum licik melihat Aisha berdiri di sana.
"Maghdalena!" gumam Aisha syok.
Dikta langsung mendorong tubuh Maghdalena ke samping hingga perempuan itu hampir terjungkal. Dengan sigap Maghdalena mengimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh.
Sementara Dikta langsung mendehem salah tingkah sembari merapikan dasinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Aisha geram.
Maghdalena yang telah berhasil mengimbangi tubuhnya langsung tersenyum dan melangkah mendekati Dikta lagi.
"Aku mau mengajak Dikta makan siang bersama. Hanya kami berdua. Ada hal yang ingin kami bicarakan sebagai teman yang sudah lama tidak berjumpa," jawab Maghdalena dengan senyum sensual ke arah Dikta. Pria itu membuang muka.
"Maaf, tapi Dikta punya banyak urusan ketimbang menemanimu makan siang," sahut Aisha ketus. Dia menatap Dikta tajam seakan tatapannya mampu mencakar-cakar muka pria itu. Dikta tak mampu berkata apa pun.
"Apakah tugas yang kamu maksud adalah menjemput putramu kemudian menemanimu makan siang?" sarkas Maghdalena. Sangat kentara intonasi mengejek dalam nada bicaranya.
"Bukan urusanmu. Dikta adalah asistenku. Aku menggajinya. Jadi kamu tidak perlu repot mengurusi apa yang menjadi tugasnya. Sekarang keluar dari sini!" titah Aisha berang.
"Fine! Maaf Dikta sayang, sepertinya hari ini kita tidak bisa makan siang bersama. Semoga kita bisa melakukannya lain kali ya," ujar Maghdalena seraya mengusap bahu Dikta yang langsung ditepis pria itu. Maghdalena mengedipkan sebelah matanya kemudian keluar melewati Aisha yang berdiri depan pintu.
"Jangan senang dulu. Ada saatnya kamu akan berhadapan denganku dan saat itu aku akan memastikan kamu akan jatuh dan berharap untuk mati saja." Maghdalena membisikkan ancaman pada Aisha sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu.
Terdengar suara pintu dihempas di belakang Aisha. Perempuan itu menghela napas kesal. Dia menatap Dikta yang kini juga menatapnya.
"Tunggu apa lagi. Segera ikut aku menjemput Alfa," ketus Aisha. Tanpa menunggu tanggapan Dikta, dia segera berbalik meninggalkan ruangan sang sekretaris dengan langkah cepat penuh emosi. Dikta segera menyusul di belakangnya, menekan tombol lift untuk majikannya yang sedang marah kemudian menyusul masuk saat pintu lift terbuka.
Di dalam lift, Aisha berdiri menyandarkan punggungnya di sudut sebelah kanan sementara Dikta berdiri kaku di arah yang berlawanan. Keduanya diam tanpa ada satu pun yang membuka suara. Bilik besi itu terasa hening dan dingin. Hanya suara gemuruh samar kotak besi yang melesat turun ke basement tempat mobil mereka terparkir.
Keluar dari lift Aisha berjalan tergesa menuju ke mobil. Dikta segera membuka kunci otomatis mobil sehingga Aisha langsung masuk ke kursi penumpang bagian belakang. Dikta heran. Tidak biasanya majikannya duduk di belakang kecuali saat menemani Alfa.
Wajah datar Aisha langsung memberi jawaban atas keheranan Dikta. Nyonya majikannya sedang marah. Maka tanpa berlama-lama lagi Dikta segera memacu mobilnya ke sekolah Alfa untuk menjemput bocah imut itu.
***
Di kampus Universitas A kota S.
Seorang pemuda sedang bergegas menaiki tangga menuju gedung fakultasnya. Fakultas Teknik. Teriknya matahari siang tak menyurutkan niat sebagian besar mahasiswa salah satu kampus bergengsi tersebut untuk datang menimba ilmu. Suasana kampus begitu ramai. Mungkin karena ini adalah awal semester baru sehingga aktifitas kampus begitu ramai. Kebanyakan mahasiswa yang berseliweran adalah mahasiswa baru yang baru saja menyelesaikan masa pengenalan kampus mereka.
Pemuda tersebut adalah Arif Rahman salah satu mahasiswa baru jurusan Teknik Tata Kota. Posturnya jangkung sedikit kurus. Namun fitur wajahnya tegas dan terlihat penuh intrik. Dia memakai setelan jins dipadu dengan kemeja kotak-kotak lengan pendek melapisi kaos putih yang membungkus tubuhnya. Sepasang sepatu sneaker membungkus kakinya menambah kesan santai pada pemampilannya.
"Hai, Arif!" sapa seseorang dari belakang pemuda itu saat dia hampir sampai di anak tangga teratas. Arif menoleh dan mendapati seorang pemuda yang seumuran dengannya dan juga gaya berpakaian yang sama dengannya.
"Hai, Jo. Baru datang," balas Arif pada temannya yang aslinya bernama Josua. Dia dan Josua bertemu dalam kegiatan pengenalan kampus. Mereka berteman meski mereka tidak berada di jurusan yang sama. Karena Josua mengambil jurusan Teknik Mesin.
Mereka saling berjabat tangan ala anak muda pada umumnya lalu saling berangkulan.
"Iya nih. Tadi ke bengkel dulu. Ada masalah," jawab Jo. Keduanya sama-sama menaiki tangga lalu menyusuri koridor di depan kelas Fakultas Teknik.
"Ngomong-ngomong elu mau masuk klub apa?" tanya Jo yang aslinya dari ibukota.
"Belum ada pilihan Bro. Masih menikmati jadi maba. Kalau klub hacker ada mungkin aku pilih itu," sahut Arif dengan senyum lebar.
"Mana ada klub begitu," ujar Jo meninju bahu Arif perlahan. Arif terbahak dan mengusap bahunya.
"Gue juga bingung mau masuk klub apa. Secara gue sibuk di bengkel juga jadi gak ada waktu main klub-kluban. Paling juga nanti gue cari klub motor," tukas Jo.
"Asal jangan jadi begal aja Bro," seloroh Arif.
"Gak lah. Bisa mati gue dipites sama bokap gue. Sudah syukur bokap gue izinin gue kuliah di sini ambil jurusan yang gue suka. Kalau dia dengar gue berulah habis deh gue di suruh pulang ke kota J terus disuruh kelola perusahaan. Gak mau gue," dengus Jo. Arif menepuk bahu Jo pelan.
"Sudah. Nikmati aja hidup kamu sekarang. Tidak usah mikirin yang lain. Masalah klub nanti saja," pinta Arif. Jo mengangkat jempol tanda setuju. Mereka berpisah di persimpangan koridor menuju ke kelas masing-masing.
Ketika melewati ruang klub silat, Arif mendengar teriakan-teriakan dari dalam ruangan klub. Kebetulan pintu ruangan tidak tertutup rapat. Arif penasaran dengan suara teriakan-teriakan di dalam. Dia pun mengintip melalui celah pintu.
Ada beberapa laki-laki dan perempuan sedang berlatih di dalam. Kira-kira ada sepuluh orang lebih. Mereka berbaris memanjang saling berhadapan di pinggir arena.
Yang menarik perhatiannya adalah seorang gadis yang tampak masih sangat muda sedang memasang kuda-kuda untuk melawan seorang pria di depannya. Tubuh gadis itu mungil dengan rambut diikat ekor kuda. Namun gerakannya gemulai seperti sedang menari. Arif tertarik untuk menonton lebih lanjut.
Gadis itu terus berputar mengatur gerakan untuk menyerang. Dengan teriakan keras dia merengsek ke depan ke arah lawannya yang juga maju di saat bersamaan. Arif terpaku melihat pola serangan gadis itu yang begitu halus tetapi penuh tenaga. Padahal tubuhnya kecil dan tampak lemah.
Hingga satu serangan kilat berupa tendangan berputar yang dilayangkan oleh kaki pendek itu, menyerang ke titik krusial lawannya, menyebabkan lawannya terjungkal ke belakang.
"Yes!" Arif berseru dengan tangan terkepal ke udara saat gadis itu berhasil merobohkan lawannya. Tanpa sadar dia bertepuk tangan heboh sendiri.
Gadis itu menoleh ke arah Arif dengan tatapan mata tajam mengintimidasi. Arif salah tingkah dan senyum-senyum tak jelas. Gadis itu dan lawannya saling memberi hormat dengan membungkukkan badan lalu kembali ke barisan dan duduk bersimpuh disana.
Gadis itu kembali menoleh ke Arif yang sudah melangkah pergi meninggalkan pintu ruang klub. Arif segera bergabung bersama teman-temannya yang sedang menunggu dosen kelas siang.
***
Kembali ke kota M.
Aisha duduk bersama Alfa di kursi penumpang belakang. Suasana hatinya belum sepenuhnya pulih. Hanya sesekali dia tersenyum ketika Alfa berceloteh hal-hal lucu tentang teman-teman sekolahnya.
"Mama, Alfa lapar," seru Alfa dengan raut polosnya.
"Alfa mau makan apa?" tanya Aisha sembari mengusap rambut putranya.
"Alfa pengen mekdi," jawab Alfa memohon. Bocah itu tahu ibunya pasti akan langsung protes saat dia meminta makanan cepat saji.
"Oke!" Aisha melingkarkan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O.
"Asiiik! Paman singgah mekdi ya!" seru Alfa kegirangan. Dia bahagia karena kali ini ibunya mengizinkan makan makan makanan yang sudah lama diidamkannya.
Dikta hanya melempar senyum lewat kaca spion tengah pada pasangan ibu dan anak itu. Tapi Aisha tidak membalasnya. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Dikta membelokkan kendaraan ke area parkir salah satu restoran cepat saji. Mereka bertiga segera menuju ke meja konter pemesanan. Alfa begitu antusias menunjuk menu ayam goreng ukuran jumbo dan juga burger yang terlihat begitu menggoda.
Selesai memesan mereka beranjak ke salah satu meja yang terletak di dekat dinding kaca yang berhadapan langsung dengan halaman restoran. Alfa duduk di samping Aisha sedangkan Dikta duduk di depan mereka.
Alfa sibuk memainkan ponsel ibunya. Aisha dan Dikta saling berdiam diri tanpa ada yang memulai percakapan. Sampai akhirnya Dikta tidak tahan dengan aksi diam Aisha.
"Ibu ... marah?" tanya Dikta hati-hati.
Aisha memutar wajahnya menatap Dikta karena sejak tadi dia tidak selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain yang membuat Dikta tidak nyaman.
"Marah? Marah kenapa?" Aisha berdalih dengan membalikkan pertanyaan.
"Sedari tadi diam sejak dari kantor. Apakah Ibu marah karena Maghdalena masuk ke ruangan saya?" Pertanyaan frontal yang membuat Aisha mendelik sebal. Mendengar nama Maghdalena membuat ubun-ubunnya panas.
"Tidak," jawab Aisha singkat.
Akhirnya Dikta memilih diam. Kembali suasana hening menyapa mereka hingga pramusaji datang membawa pesanan mereka. Satu paket ayam goreng jumbo untuk Alfa, masing-masing satu paket burger untuk Aisha dan Dikta, sepaket kentang goreng dan tiga gelas minuman soda
Alfa begitu riang dan dengan hikmat menikmati makan siangnya.
Setelah menghabiskan porsi makan siang masing-masing, mereka kembali ke kantor. Alfa ikut bersama mereka karena mereka tidak punya waktu lagi untuk mengantar bocah itu ke rumah lalu kembali ke kantor.
Setibanya di kantor, Tia menyerahkan sebundel besar dokumen yang harus dipelajari oleh Aisha.
Dikta kembali ke ruangannya diikuti oleh Alfa yang meminta Paman Dikta-nya membantu mengerjakan PR. Tugasnya hanya menggambar sebuah mangga dan memberi warna. Dia lebih suka meminta bantuan sekretaris ibunya itu karena Dikta sangat pandai menyelesaikan hal-hal remeh seperti menggambar atau merangkai robot. Sedangkan ibunya kadang hanya melongo atau sering membuat gambar yang tidak sesuai ekspektasi Alfa.
Aisha berkutat dengan dokumen hingga sore hari. Dia tidak pernah keluar dari ruangannya. Hanya Tia yang diminta menyeduh kopi dan mengantar ke ruangannya. Dan dia tidak perlu kuatir tentang Alfa karena pasti bocah itu sedang menempel pada Dikta.
Memikirkan Dikta, Aisha kembali kesal jika mengingat bagaimana dekatnya pria itu dengan si ular betina Maghdalena tadi siang. Aisha kesal karena Dikta seperti membiarkan Maghdalena menempel padanya. Kenapa dia tidak menepisnya? Apakah dia menikmati sentuhan perempuan penggoda itu?
'Cih, dasar laki-laki semua sama. Kalau sudah didekati perempuan cantik apalagi seksi sudah pasrah,' gerutu Aisha sambil membolak-balikan lembar kertas di depannya.
'Apa bagusnya perempuan ular itu? Ampun deh, apa selera Dikta kaya gitu,' Aisha masih terus menggerutu dalam hatinya.
Entah mengapa dia tidak senang kalau Dikta dekat dengan perempuan lain. Beberapa kali juga dia memergoki Tia yang berusaha mendekati sekretarisnya itu. Apakah tidak ada cowok lain yang bisa mereka dekati? Desis Aisha dalam hati.
***
Waktu pulang kantor, Dikta keluar dari ruangannya dengan membopong Alfa yang telah terlelap di pundaknya. Dia mengetuk pintu ruangan Aisha. Tak lama perempuan itu muncul dengan tas tangannya.
"Sudah tidur?" tanya Aisha.
"Iya," jawab Dikta lalu mendahului ke arah lift. Meja kerja Tia sudah kosong karena gadis itu sudah sedari tadi pulang.
Sepuluh menit kemudian Dikta sudah memacu mobilnya pulang ke rumah. Seperti tadi siang hingga sore, mereka masih berdiam diri.
Makan malam kali ini disiapkan Bi Suri karena Aisha terlalu lelah untuk memasak makan malam. Alfa pun menghabiskan makan malamnya dengan tenang lalu merengek meminta dinina-bobokan ibunya. Tanpa menunggu lama Alfa kembali terlelap di balik selimutnya setelah Aisha membacakan sebuah dongeng pendek. Sepertinya bocah itu terlalu lelah usai bermain seharian.
Ketika Aisha beranjak bangun dari ranjang putranya, Dikta masuk ke dalam kamar Alfa. Dia berdiri di depan ranjang mengamati Alfa yang memejamkan mata dengan tenang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia belum berganti pakaian kantornya. Pada dasarnya Dikta hanya suka mengenakan kemeja dan celana bahan untuk ke kantor. Dia tidak terlalu suka memakai setelan resmi. Kecuali jika ada meeting dengan klien.
Aisha duduk di tepi ranjang membiarkan Dikta berdiri di tempatnya.
"Ada apa?" tanya Aisha tanpa menoleh.
"Saya tahu Ibu marah masalah Maghdalena tadi. Saya minta maaf karena membiarkan dia masuk ke ruangan saya. Saya tidak bisa mencegah karena dia tiba-tiba masuk," ujar Dikta seperti memberikan penjelasan pada seorang kekasih yang cemburu. Apa benar Aisha cemburu. Dikta berharap begitu tapi dia tidak bisa mengatakannya.
"Apa benar kamu janjian dengan dia makan siang?" Kali ini Aisha mencoba menatap Dikta.
"Tidak. Maghdalena hanya membual," jawab Dikta meyakinkan. Pria itu menangkap kelegaan di mata perempuan di hadapannya.
"Apakah kamu benar mengenal Maghdalena sebelumnya. Seperti katanya kalau ... kalian berteman?" tanya Aisha lirih.
"Aku akan menjelaskan besok. Sebaiknya Ibu istirahat dulu."
"Oh!" lirih Aisha.
"Hmm ..." gumam Dikta. Perlahan tangan Dikta terulur, dengan lembut jemarinya menyelipkan sejumput helaian rambut yang menjuntai di depan wajah Aisha ke belakang telinganya.
"Good nite and nice dream!" bisik Dikta kemudian berbalik keluar dari kamar Alfa menuju kamarnya. Pria itu menutup pintu kamar perlahan, meninggalkan Aisha dengan pipi merona malu.
Bersambung ...
๐๐๐
Hai manteman maaf baru up lagi. Semoga kalian tidak bosan menunggu.
Happy reading jangan lupa komen dan batu kuasanya! ๐