Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 12 - Wonder Girl

Chapter 12 - Wonder Girl

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Malam semakin larut. Langit pekat hanya diterangi bintang-bintang.

Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tetapi suasana gang sebuah kompleks kos-kosan sudah sunyi. Tak ada orang yang lalu-lalang. Hanya gonggongan anjing yang terdengar dari ujung gang nan jauh di sana.

Arif melangkahkan kakinya perlahan menyusuri lorong-lorong gang yang temaram. Hanya bayangannya yang menemaninya. Lampu panel surya yang berdiri di beberapa titik tak mampu menerangi setiap sudut gang yang berliku dan padat dengan rumah-rumah penduduk.

Tiba di dekat sebuah tanah lapang sempit yang biasa digunakan anak-anak bermain bola Arif mendengar beberapa orang bercakap-cakap sambil tertawa. Dari kejauhan dia melihat sekelompok anak muda yang seumuran dengannya dan ada juga yang lebih tua sedang berkumpul sambil mengisap rokok. Bahkan ada dua botol berwarna hijau yang Arif yakin isinya bukan minuman soda.

Arif melangkah pelan dan tenang berharap kelompok anak muda tersebut tidak menyadari kehadirannya yang hanya ingin lewat saja menuju ke rumah kosnya. Tiba-tiba ....

"Berhenti!" teriak salah satu dari pemuda-pemuda tersebut.

Arif berhenti namun tidak berbalik.

"Elu tuli ya gak dengar ucapan gue?" hardik pemuda yang berteriak tadi. Dia menghampiri Arif. Sebatang rokok yang masih berasap terselip di salah dua jarinya.

"Ada apa, Mas?" tanya Arif masih berusaha tenang ketika dia telah menghadap pemuda yang menghardiknya.

"Ada apa? Ternyata selain tuli elu juga buta heh? Gak lihat apa kita-kita berdiri di sini?" lanjut pemuda itu membentak Arif. Dengan wajah sombong dia menepuk-nepuk pipi kiri Arif seoalah mengintimidasi Arif. Teman-teman lainnya malah terkekeh dengan nada mengejek.

"Maaf, Mas. Saya lihat. Hanya saja saya buru-buru mau pulang, Mas," jawab Arif sekenanya. Sebisa mungkin dia tidak menyinggung kelompok preman itu yang tampak garang. Pakaian mereka ala anak punk.

"Hohoho, ngapain terburu-buru. Mari kita bermain-main dulu," ujar salah satu pemuda lain yang duduk di sebuah bangku reyot. Pria itu mengulurkan sebuah botol hijau.

"Maaf, Mas. Saya tidak biasa minum minuman begitu," tolak Arif halus.

"Ah, masa cowok kaya elu gak bisa minum. Cemen lu," kekeh pemuda yang menawarkan minuman tadi disambut tawa berderai temannya.

"Oke kalau elu gak mau main sama kami maka elu harus bayar tarif dulu baru boleh pulang," cetus pemuda yang berdiri di depan Arif.

"Tarif apa Mas?" Arif heran.

"Ya tarif lewat jalan inilah," ketus si pemuda yang kalau Arif perhatikan ternyata rambutnya dicat warna merah muda.

"Ini kan jalan umum, Mas," kilah Arif.

"Apa lu bilang? Jalan umum. Elu gak tau ya kalau ini daerah kekuasaan Bang Jack. Siapa pun yang lewat di sini harus bayar tarif, tau?" hardik pemuda berambut merah muda.

"Siapa Bang Jack?" tanya Arif lagi dengan raut polos. Pemuda berambut merah muda makin kesal.

"Itu tu. Perhatikan baik-baik!" tunjuk pemuda rambut pink ke arah seorang pria rada gemuk di bagian perut. Seorang pria yang tampak lebih tua dari pemuda lainnya. Rambutnya nyaris gundul dan hanya memakai baju singlet hitam dipadu celana jins belel. Pria itu duduk di sebuah batu besar sambil menikmati rokok dan minumannya.

"Bos, bocah itu tidak kenal sama Bos. Sepertinya dia anak baru di kompleks ini," celutuk salah satu pemuda.

"Karena elu anak baru di sini elu harus serahin mahar ke Bang Jack," cetus pemuda rambut pink.

"Mahar?" beo Arif dengan kening berkerut. Gila apa pemuda-pemuda ini. Dia masih normal sebagai lelaki dan kalau pun harus menyerahkan mahar maka itu pada gadis yang dicintainya. Bukan pada seorang pria berkepala gundul.

"Iya. Mahar. Sebagai uang keamanan selama elu tinggal di wilayah kekuasaan Bang Jack," imbuh si pemuda berambut pink. Mungkin dia adalah juru bicara kelompok Bang Jack ini.

"Saya tidak punya uang Mas. Saya hanya mahasiswa biasa saja. Saya juga cuma nge-kos di kos-kosan sederhana." Arif terpaksa mengiba agar selamat dari komplotan ini.

"Bohong lu! Mahasiswa itu biasanya banyak duitnya. Elu pura-pura aja biar lolos ya!" gerutu sang juru bicara.

"Benar Mas. Saya tidak punya uang atau pun barang berharga," ucap Arif dengan wajah memohon.

"Banyak bacot lu. Kalian. Geledah dia!" perintah sang juru bicara.

"Jangan Mas!" Arif berontak ketika salah satu dari pemuda itu merampas tas ranselnya dan dua lainnya menahan tubuhnya dan menggeledah setiap saku pakaiannya.

"Ketemu, Bos!" seru salah satunya menemukan iPhone Arif di saku celananya.

"Jangan Mas. Itu satu-satunya barang berharga saya." Arif terus mengiba.

"Diam lu!"

"Bos, di tasnya cuma ada buku-buku. Gak ada yang lain," teriak pemuda yang menggeledah tas Arif. Semua buku kuliahnya sudah berserakan di atas tanah jalanan. Bahkan ada yang sampai masuk got yang penuh air comberan.

"Dasar bocah miskin," gerutu si rambut pink.

Di tengah ketakutan Arif dikerumuni dan diperas oleh kelompok preman tersebut, dari arah berlawanan muncul seorang gadis mengendarai sebuah motor matic hitam.

Gadis tersebut terpaksa berhenti karena kelompok pemuda tersebut menghalangi jalannya.

"Wah ada cewek bening nih!" seru rambut pink yang langsung menangkap bayangan gadis tersebut dari kejauhan.

"Minggir!" teriak gadis itu galak.

"Wih galak benar. Hmm ... elu turun!" perintah si rambut pink menghadang di depan motor si gadis. Arif makin ketar ketir berharap gadis tersebut tidak dijahati oleh kelompok preman itu. Dia tidak ingin jadi saksi korban perkosaan apalagi pembunuhan.

"Ee ... para manusia tak berguna. Jadi laki itu gentle. Kenapa main keroyokan gitu. Gak malu ya sama tu rambut?" seru si gadis dengan berani. Arif mengusap wajahnya frustasi. Kenapa sih gadis ini memancing kemarahan para macan lapar ini.

"Wah ... berani juga lu gadis ya." Kali ini Bang Jack yang maju. Dia sepertinya tertarik dengan gadis mungil itu.

"Oh jadi kamu gundul yang jadi pemimpin di sini?" sinis Si gadis. Bang Jack terkekeh hingga perutnya yang benar-benar jauh dari sixpack bergetar.

"Berani lu ya nantang Bang Jack," geram si Bang Jack.

"Oh, jadi kamu Bang Jack yang ditakuti di daerah ini? Kalau memang kamu hebat jangan main keroyokan. Maju satu-satu," tantang si gadis santai. Bang Jack makin murka. Wajahnya langsung merah padam hingga kepala gundulnya. Arif langsung tegang. Kedua tangannya masih dikunci ke belakang oleh salah satu anak buah Bang Jack.

Dengan amarah yang meluap Bang Jack langsung memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si gadis mungil.

Seulas senyum miring terukir di sudut bibir sang gadis tatkala dua pemuda menyerangnya. Dia segera menyambut serangan mereka dengan sedikit berkelit ke kiri dan ke kanan lalu melancarkan sebuah tendangan pada salah satu pemuda yang pertahanannya terbuka.

Sontak saja pemuda tersebut menjerit kesakitan saat terpental ke belakang. Belum pulih rasa terkejut mereka, sebuah serangan lain melayang ke arah pemuda ke dua. Pemuda tersebut menyusul kawannya yang telah terkapar. Arif, Bang Jack dan pemuda lainya langsung tercengang.

Tanpa bisa menahan murka akhirnya Bang Jack ikut merangsek maju menyerang si gadis bersama si kepala pink dan dua pemuda lainnya. Kesempatan ini dimanfaatkan Arif. Dengan sekuat tenaga dia mengangkat kaki kanannya dan menghujamkan ke atas kaki pemuda yang mengunci tangannya. Segera pemuda itu mengadu kesakitan dan sedetik kemudian dia menerima sebuah tonjokan di wajah dari Arif.

"Masih mau? Rasain tuh?" sergah Arif kepada pemuda yang telah terkapar mengaduh sambil memegang wajahnya.

Perhatian Arif lalu terarah pada sang gadis yang menerima serangan dari empat pria sekaligus. Gadis itu tampak gemulai menghindari serangan Bang Jack dan kawan-kawan sembari sesekali melakukan serangan dengan tinju dan tendangannya saat menemukan celah. Gerakannya sangat gemulai seolah sedang menari. Arif melongo. Seakan dejavu. Dia teringat gadis di klub silat.

Di bawah temaram bias sinar lampu, Arif berusaha menajamkan penglihatannya. Dari gerakannya, teriakannya dan postur tubuhnya Arif langsung mengenalinya. Benar. Dia si gadis klub silat.

Arif berniat membantu tetapi gadis itu telah berhasil merobohkan ke empat pria tersebut.

"Masih mau maju?" tantang si gadis dengan sikap kuda-kuda. Tanpa memberi tanggapan keenam anak buah Bang Jack bangkit dengan penuh kesakitan. Mereka segera memapah bos mereka yang paling babak belur setelah menerima banyak serangan. Kelompok itu segera melarikan diri sebelum serangan susulan datang. Mereka menghilang di ujung gang yang gelap.

Arif memungut ponselnya yang terhempas di tanah. Untung tidak pecah. Kemudian memunguti ransel dan buku-bukunya satu persatu. Gadis itu mendekatinya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya si gadis. Arif menoleh dan tersenyum.

"Saya tidak apa-apa. Terima kasih bantuanny," jawab Arif sambil mengulurkan tangannya. Tetapi gadis itu langsung berbalik menuju motornya. Dia memakai helm dan menyalakan mesin motor.

"Tunggu!" seru Arif berusaha menahan si gadis jagoan. Tetapi gadis itu tidak menghiraukan dan terus memacu matic hitamnya melewati Arif. Pemuda itu hanya terpaku di tempatnya manatap punggung si wonder girl yang kian menjauh.

***

Keesokan harinya Arif buru-buru ke kampus. Meski dia tidak mempunyai jadwal kuliah pagi tetapi pemuda itu sudah hadir sebelum jam delapan pagi.

Kini dia sedang berdiri di depan ruang klub silat yang pintunya masih tertutup rapat. Suasana di sekitarnya pun masih sepi. Dia tampak dalam mode menunggu seseorang. Sudah dua jam menunggu tapi sosok yang ditunggu belum menampakkan batang hidungnya sedikit pun. Bahkan pintu klub tidak menunjukkan tanda-tanda akan dibuka.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Arif mulai gelisah mondar mandir, duduk selojor di lantai kemudian berdiri lagi. Sesekali mengetuk pintu klub atau mencoba mengintip ke dalam. Namun nihil.

Arif mulai putus asa dan memutuskan berhenti menunggu hari ini dan kembali besok. Saat dia berbalik dan melangkah pergi terdengar bunyi hendel pintu dibuka. Dengan kecepatan 120 km perjam dia berbalik dan berlari menuju pintu klub yang tampak setengah terbuka. Dia segera melongo ke dalam. Hanya seorang petugas kebersihan dengan sapu dan ember pel di dalam sana.

"Permisi! Maaf Mang ganggu?" sapa Arif dengan ramah.

"Kenapa Dek?" tanya si petugas kebersihan.

Arif masuk ke dalam mendekati si mamang tukang bersih-bersih.

"Mau tanya Mang. Klub ini kok sepi ya?" tanya Arif.

"Hari Sabtu ini klub libur Dek," jawab si mamang.

"Dari mana Mamang tahu?" tanya Arif tidak percaya. Jangan-jangan si mamang mau mengerjainya.

"Adek gak baca pengumuman di depan pintu ya?" jawab si mamang.

"Hah??"

Arif menuju ke pintu. Di sana terpampang selembar kertas berisi jadwal latihan klub dan keterangan libur Sabtu dan Minggu.

Arif menghela napas. Sedari tadi dia menunggu sia-sia ternyata ini hari libur klub.

"Si Adek mau daftar klub ya?" tanya si mamang yang sudah berdiri di samping Arif. Pemuda itu langsung terkejut.

"Tidak Mang. Cuma cari teman saja yang ikut gabung di klub ini," jawab Arif mengusap dadanya.

"Samperin aja ke rumahnya Dek," usul si mamang.

"Aku tidak tahu rumahnya, Mang hehehe," sahut Arif canggung. Dia mengusap kepala belakangnya. Bagaimana mau tahu rumahnya, ketemu saja baru kemarin itu pun tidak sempat kenalan.

"Terima kasih ya Mang." Arif melambai pada si mamang kemudian beranjak pergi. Hari ini dia tidak punya jadwal kuliah tapi malas mau pulang ke kosannya. Akhirnya dia memutuskan menemui Josua. Sepertinya pemuda berkacamata itu ada di bengkelnya. Karena Arif tak melihat sejengkal pun bayangan sobatnya itu di sekitaran kampus.

Arif memacu motor Ya**ha Aerox Maxi yang dibelikan oleh kakaknya Aisha beberapa bulan lalu ke arah bengkel Josua. Letak bengkel itu tak jauh dari kampus terletak di sisi selatan gerbang kampus.

Setelah memarkir sepeda motor di salah satu sudut yang teduh, Arif menghampiri Josua yang sedang berbaring di bawah sebuah mobil mewah. Bengkel itu lumayan besar dan lengkap sehingga menjadi rujukan anak-anak kampus ketika yang kendaraannya membutuhkan perbaikan atau kebutuhan kendaraan lainnya. Letaknya juga strategi, mudah dijangkau dan dekat dengan kafe dan minimarket.

Josua benar-benar turunan pebisnis sejati, pikir Arif.

"Hai Bro. Tidak ngampus?" seru Arif pada Josua di bawah mobil.

Josua menengok dan tampak senyum semringah. Dia memakai kacamata khusus yang memiliki tali terikat di belakang kepalanya. Josua mempunyai mata minus sehingga dia menggunakan kacamata setiap saat.

"Gue gak ada mata kuliah hari ini. Emang elu ngampus hari Sabtu?" Josua balik bertanya melihat penampilan rapi Arif.

"Tidak ada," jawab Arif sambil mengempaskan bokongnya di salah satu bangku yang disiaplan bagi pelanggan.

"Terus kenapa penampilan elu gitu? Kusut amat tu muka?" celutuk Josua. Dia menggeser tubuhnya keluar dari bawah mobil lalu bangkit berdiri. Dia menghampiri sebuah mesin minuman otomatis, mengambil dua kaleng soda kemudian menyerahkan salah satunya pada Arif.

"Ada apa?" tanya Josua sembari meneguk sodanya.

"Kamu tahu tidak?" Arif memulai ceritanya.

"Gak," sambar Josua.

"Dengar dulu. Aku sudah cerita sama kamu?" lanjut Arif tidak jelas.

"Belum. Emang elu pernah cerita apa sama gue?" sahut Josua.

"Semalam aku diserang sekelompok preman di gang depan kosan aku," cerita Arif. Dia ikut meneguk soda kaleng di tangannya.

"Serius? Terus elu cedera atau luka?" Kaget. Josua langsung bangkit memeriksa kondisi tubuh Arif.

"Tidak lah. Aku ditolong orang semalam," ujar Arif.

"Syukurlah. Motor elu gak diapa-apain?" tanya Josua lagi.

"Aku tidak bawa motor kemarin. Numpang sama Andri sama depan gang," sahut Arif.

"Lalu, siapa yang nolongin?" Josua kembali duduk di tempatnya.

"Seorang cewek mungil," jawab Arif.

"Wihh hahahahha elu ditolongin sama cewek. Aduh Bro bisa jatuh harga diri." Josua terbahak. Dia menepuk-nepuk bahu Arif. Sedangkan Arif hanya tersenyum masam.

"Dia jago silat. Semua preman itu dia hajar satu persatu. Jago banget. Tipe wonder girl gitu. Tapi orangnya galak banget Bro. Aku mau ucapin terima kasih eee dia malah nyelonong pergi," ujar Arif. Dia kembali meneguk sodanya.

"Ooo pantas elu pagi-pagi sudah rapi begini ke kampus. Dia anak klub silat kan? Terus elu cariin dia ke sana kan?" tebak Josua. Arif mengangguk. Pria satu ini benar-benar peka dengan keadaan.

"Ketemu?" tanya Josua. Arif menggeleng.

"Klubnya libur akhir pekan," jawab Arif.

"Terus apa rencana elu," tanya Josua.

"Tentu saja aku musti temui dia dan mengucapkan terima kasih. Sebagai pria sejati aku harus tahu berterima kasih," tegas Arif.

"Beuuhh mantap Bro. Selamat berjuang ya hehehe," tukas Josua lalu berdiri karena ada pelanggan yang datang.

"Ada bisa dibantu Mbak?" sapa Josua pada pelanggan yang baru saja memarkirkan motor matic hitamnya.

"Tambal ban Mas," jawab si pelanggan. Arif terkejut. Suara itu sedikit familiar di telinganya. Secepat kilat dia menoleh pada pelanggan yang sedang membuka helm hello kitty-nya. Ketika helm terbuka, dia mendapati seraut wajah manis namun dengan ekspresi datar.

"Lho, kamu ...?" seru Arif kaget

Bersambung ....

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Episode ini dan berikutnya akan membahas tentang Arif Rahman adik Aisha tetapi sangat erat kaitannya dengan cerita Aisha dan Dikta. Yang menunggu cerita Aisha dan sekretarisnya setelah part Arif ya. Nanti akan mulai muncul konflik hati Aisha tetapi tidak berat kok. Saya tidak suka konflik yang terlalu menguras emosi hehehe

Author jangan pe ha pe ya?

InsyaAllah siyaaap!!!

Jangan kasi kendor power stone nya juga. Dan...

See you next chapter ๐Ÿ˜‰