Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 18 - Part 17 - Kenyataan Pahit

Chapter 18 - Part 17 - Kenyataan Pahit

Sabila masih sibuk dengan pekerjaannya di sawah, hari ini sawah milik orang tuanya sudah mulai memasuki masa panen. Jadi Sabila juga turut berperan membantu kedua orang tuanya untuk menimbang hasil panen mereka ketika akhir pekan tiba. Tak lama kemudian ponsel miliknya berdering, Sabila segera panggilan telepon tersebut yang ternyata dari seorang penyewa rumahnya di Jakarta.

"Halo, Bu Lani apa kabar?".

"Saya baik bu, Ibu Sabila juga gimana kabarnya?".

"Alhamdulillah saya juga baik. Oh ya bu, jadi gini saya telepon ibu mau ngasih tau kalau saya sudah bayar uang sewa per tiga bulan sama suami ibu kemarin, katanya atm nya ibu rusak. Makanya kemarin suami ibu ada untuk menagih uang sewa".

"Apa? suami? saya tidak punya suami bu, saya sudah bercerai sama suami saya".

"Aduh, terus gimana dong bu? saya udah kasih uang sewanya ke orang itu".

"Apa ibu tau nama orang itu siapa?".

"Tommy bu, Tommy permana".

"Itu mantan suami saya bu, yasudah urusan ini biar saya yang selesaikan".

Tega sekali kamu sama aku mas. Gumam Sabila.

Sabila kembali melanjutkan pekerjaannya, ketika Sabila sedang sibuk berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. Dan sontak hal tersebut membuatnya menoleh ke belakang lalu ia mendapati Rahman yang sudah berada di hadapannya.

"Mas Rahman, tumben kesini gak ngabarin aku. Kalau tau mau kesini aku kan gak akan pergi ke sawah tadi". Gumam Sabila.

"Gak apa-apa, lagian aku juga baru aja sampe". Ujar Rahman.

"Yaudah kita ngobrol di rumah aja yuk, mas". Sahut Sabila.

"Gak usah Sabil, disini saja lagi pula pekerjaanmu masih banyak. Aku cuma mau ngabarin kamu kalau siang nanti aku akan bertolak ke Jakarta". Gumam Rahman.

"Mas Rahman mau balik ke Jakarta lagi?". Tanya Sabila.

"Iya Sabil, jadi maksud kedatanganku kemari untuk memberitahu kamu tentang hal ini. Tommy sedang sakit, dan sekarang ia dirawat di rumah sakit. Tadi siang Rena telepon aku dan dia bilang kalau Tommy menderita stroke". Ujar Rahman.

"Apa stroke? Lalu keadaannya Mas Tommy sekarang gimana mas?". Tanya Sabila panik.

"Aku juga belum tau gimana perkembangannya sekarang, nanti aku kabarin kamu kalau aku sudah sampai di Jakarta". Sahut Rahman.

"Iya mas",

"Kamu kenapa? kok sedih?".

"Aku sedih mendengar kabar Mas Tommy sakit dan aku juga sedih karena Mas Tommy mengambil hak sewa rumah yang ia berikan padaku mas".

"Apa? bagaimana bisa?".

"Tadi orang yang menyewa telepon, katanya dua hari yang lalu Mas Tommy datang untuk menagih uang sewa dan ia juga mengaku sebagai suamiku, mas. Dan jelas saja orang itu percaya dan langsung memberikan uang sewanya pada Mas Tommy".

"Astaga, keterlaluan sekali Tommy".

"Yasudah lah mas, mungkin Mas Tommy sedang butuh uang".

"Aku akan coba tanyakan nanti kalau aku sudah sampai. Kalau begitu aku pamit pulang dulu ya, karena aku harus packing". Ujar Rahman.

"Iya mas, kamu hati-hati". Sahut Sabila.

Sementara Rahman menganggukan kepalanya dan segera bergegas pergi, Sabila masih tidak menyangka jika mantan suaminya benar-benar jahat padanya.

Sementara itu di lain tempat Rahman yang baru saja tiba dirumah segera mengemasi pakaiannya, tak lama kemudian sang mama menghampirinya.

"Kamu tetap mau pergi kesana?".

"Iya ma, mama sama papa ikut kan?".

Sang mama menghela nafas. "Tidak, mama sama papa tidak mau bertemu dengan adik kamu itu".

"Kenapa ma? Tommy itu anak mama juga kan".

Sang mama terisak. "Tapi Tommy udah bikin mama kecewa, Tommy lebih memilih perempuan itu dari pada mama yang melahirkannya".

"Setidaknya mama kasihan sedikit padanya, sekarang Tommy lagi sakit. Kasih kesempatan untuk dia agar kembali ke jalan yang benar ma".

Sang mama menghela nafas lalu pergi dari hadapan Rahman, Rahman tau betul bagaimana rasa kecewa yang di rasakan oleh kedua orang tuanya. Tak lama kemudian ponsel Rahman berdering, ia langsung menjawab panggilan telepon dari orang yang di cintainya.

"Halo sayang, iya aku baru aja selesai packing. Sampai ketemu nanti sore ya, aku tunggu kamu di Malioboro". Gumam Rahman yang langsung mematikan ponselnya.

Rahman tersenyum memandangi foto kekasihnya tersebut, untuk saat ini ia belum berani memperkenalkan gadis pujaannya kepada kedua orang tuanya. Karena Rahman tidak mau menambah beban pikiran kedua orang tuanya.

❤️❤️❤️

Amar sedang sibuk memeriksa berkas pasiennya, tak lama kemudian asistennya memberitahunya jika ada tamu yang datang untuknya. Amar segera meminta asistennya untuk menyuruh tamunya tersebut masuk ke dalam ruangan Amar.

"Permisi".

"Ya silahkan masuk". Gumam Amar yang belum menyadari tamunya tersebut.

"Kayanya lagi sibuk banget ya, maaf ya aku jadi ganggu kamu".

Amar berhenti sejenak lalu melihat ke arah depannya. "Sabila, maaf ya maaf aku tidak tau kalau yang datang itu kamu. Kamu sama sekali gak ganggu kok, aku malah senang kalau kamu mau main kesini".

Sabila tersenyum. "Mau makan siang bareng aku?". Tanya Sabila.

Amar tersenyum. "Tentu saja, kenapa nggak. Sebentar ya aku selesaikan berkas-berkas aku dulu".

"Iya santai aja".

Setelah pekerjaan Amar selesai, mereka langsung bergegas menuju cafe di dekat rumah sakit untuk makan siang bersama.

"Kamu kenapa Sabil?".

"Hah, emang aku kenapa?".

"Aku lihat dari raut wajah kamu seperti ada sesuatu yang sedang kamu rasakan".

Sabila tersenyum. "Kamu udah kaya peramal aja ya".

Amar terkikik. "Memang ada apa? kamu lagi ada masalah?".

Sabila menghela nafas. "Mas Tommy, merebut hak rumah sewa milikku. Dia datang ke penyewa dan mengaku sebagai suamiku, lalu ia juga bilang kalau atm aku rusak makanya Mas Tommy minta si penyewa untuk bayar sewa ke dia".

"Astagfirullahaladzim, tega sekali mantan suami kamu. Terus apa kamu udah telepon Tonmy?".

Sabila menunduk. "Belum, tadi pagi baru aja aku dapat kabar kalau Mas Tommy kena stroke. Jadi aku bingung mau gimana tanyanya. Aku hanya berpikir mungkin Mas Tommy butuh biaya untuk berobat makanya dia sampai merebut hak sewa rumah ku".

Amar menghela nafas. "Sabila, hatimu sebenarnya terbuat dari apa? Tommy udah banyak banget bikin kamu menderita tapi kamu masih memaafkannya".

"Aku hanya berusaha memperbaiki hubungan antara keluarga ku dan keluarga Mas Tommy, apalagi sekarang bapak sangat membenci keluarga Tommy. Padahal bapak sama Papanya Mas Tommy udah berteman sejak kecil".

"Kamu yang sabar ya Sabila, semoga Allah membalas semua kebaikanmu".

"Aamiin, jadi curhat kan, Yaudah yuk pesan makanan. Kamu mau pesan apa?". Tanya Sabila.

"Aku pesan sapi lada hitam, minumnya jeruk panas. Oh ya, biar kamu gak sedih lagi gimana kalau besok kita keliling kota terus pergi nonton".

"Boleh, jemput aku ya besok".

"Pasti lah aku jemput".

Sabila segera mencatat pesanan mereka berdua lalu menyerahkan kertas tersebut pada pelayan cafe, Tak lama kemudian suara ponsel Amar berdering. Dengan cepat Amar segera menjawab panggilan telepon tersebut, raut wajah Amar mulai berubah ketika ia di minta untuk datang ke Jakarta. Karena ada salah satu pasien yang membutuhkan tindakan dari dirinya, Amar benar-benar bingung karena besok ia sudah terlanjur janji dengan Sabila untuk mengajaknya berkeliling kota. Tapi tugas ini sudah menjadi tanggung jawabnya, karena pasien tersebut sangat membutuhkan bantuannya.

"Amar, kenapa? siapa yang telepon?".

Amar menghela nafas. "Aku ada tugas di Jakarta".

"Oh gitu, kirain kenapa. Terus kenapa mukanya kaya orang bingung gitu?".

"Aku harus berangkat besok pagi, aku minta maaf ya karena harus batalin janji aku untuk ajak kamu jalan-jalan besok".

Sabila tersenyum. "Aku gak apa-apa Amar, aku gak marah. Lagian itu kan udah jadi kewajiban kamu, yang penting sebelum berangkat kamu jangan lupa sarapan. Dan jangan lupa kabarin aku kalau udah sampai sana".

Amar menghela nafas. "Makasih ya Sabil, iya aku pasti sarapan dan kabarin kamu kalau udah sampai Jakarta".

Tak lama kemudian pesanan mereka berdua datang, Amar dan Sabila langsung menikmati makan siangnya.

❤️❤️❤️

Rahman sudah bersiap-siap untuk pergi menuju bandara, ia segera berpamitan dengan kedua orang tuanya. Raut kesedihan sangat terlihat di wajah sang mama, Rahman tau betul apa yang di rasakan oleh sang mama. Sang mama sebenarnya sedih mendengar kabar kalau Tommy sakit, tapi ketika mengingat kembali perilaku Tommy yang lebih memilih Rena, membuat hati sang mama sang mama kecewa di buatnya.

"Mah, kalau mama ingin ketemu Tommy, mama bisa ikut dengan ku".

"Nggak, mama gak mau ketemu Tommy".

"Rahman, kamu jangan paksa mama untuk bertemu Tommy. Anak itu benar-benar sudah membuat kami kecewa".

"Pak, tapi sekarang posisinya Tommy lagi sakit".

"Cukup Rahman!!". Ujar sang papa.

Rahman menghela nafas. "Iya pa, maafkan aku. Yasudah kalau gitu aku pamit pergi dulu".

"Iya, kamu hati-hati ya, nak". Ujar sang mama.

Rahman langsung mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan bergegas masuk ke dalam taksi online yang sudah di pesannya. Sebelum berangkat menuju bandara, Rahman memutuskan untuk menemui kekasihnya di Malioboro. Sesampainya di Malioboro Rahman segera turun dari dalam mobil dan bergegas menghampiri kekasihnya yang sedari tadi sudah menunggunya.

"Sayang, maaf ya kamu jadi nunggu lama". Ujar Rahman yang langsung memeluk kekasihnya.

"Gak apa-apa mas, aku malah takut kalau kamu tidak jadi datang".

"Aku pasti datang lah, kan aku udah janji sama kamu".

"Mas, ini aku bawakan bekal untuk makan malam. Biar gak jajan di dalem pesawat, jadi sambil menunggu di ruang tunggu kamu bisa makan dulu bekalnya. Nanti pas udah di pesawat tinggal tidur deh, bangun-bangun udah sampai di Jakarta deh"

Rahman tersenyum. "Kamu emang pantas di jadikan istri. Kalau nanti kita udah nikah, kayanya aku gak bakalan lagi makan di luar nih".

"Ah, kamu bisa aja mas".

"Aku makasih banget ya, udah di bawain bekal. Aku minta maaf karena harus menemuimu secara diam-diam seperti ini, aku janji ini tidak akan selamanya dan secepatnya aku akan mengenalkan kamu dengan kedua orang tuaku".

"Iya sayang, aku gak apa-apa. Aku ngerti kok sama semua keadaan kita saat ini, yang terpenting sekarang kamu jaga hati kamu ini hanya untuk aku". Gumam perempuan tersebut sambil menunjuk ke bagian dada Rahman.

Rahman tersenyum dan kembali memeluk kekasihnya. "Aku janji, aku akan menjaga hati aku hanya untuk kamu seorang. Kalau begitu aku pamit dulu, ini aku ada uang untuk memenuhi kebutuhan kamu dan adik kamu. Kamu simpan ya, siapa tau kamu membutuhkan untuk membeli peralatan kuliah".

"Gak usah mas, aku masih ada uang kok".

"Gak apa-apa, kalau gitu uangnya bisa kamu simpan dulu. Pliss jangan nolak apapun dari aku".

"Kalau gitu uangnya aku terima ya mas, makasih banget ya kamu udah perhatian banget sama aku".

Rahman kembali memeluk kekasihnya dan langsung mengecup keningnya. Lalu ia bergegas berpamitan untuk pergi menuju bandara. Sementara itu di lain tempat, Sabila yang sedang berkeliling kota seperti melihat seseorang yang di kenalnya. Sabila memicingkan matanya dan benar saja orang tersebut adalah Santi yang tak lain anak angkatnya.

Sabila segera melajukkan mobilnya setelah lampu hijau menyala, lalu berjalan perlahan mendekati Santi. Sabila segera membunyikan klakson dan memanggil nama Santi, seketika Santi terdiam sejenak dan melihat ibu angkatnya sudah berada di hadapannya.

"Ibu".

"Santi, ayo masuk". Ujar Sabila, tanpa pikir panjang Santi segera masuk ke dalam mobil Sabila.

"Kamu dari mana San?".

"Abis muter-muter aja bu di Malioboro sambil mampir ke toko buku, nih sambil beli buku yang kemarin di rekomendasikan oleh dosen". Gumam Santi sambil memperlihatkan buku tersebut.

"Kamu udah makan malam belum?".

"Belum bu".

"Gimana kalau kita makan dulu sebelum pulang?".

"Gak usah bu, tadi sore aku sama nenek udah masak banyak loh. Ada pepes ayam pedas kesukaan ibu".

"Oh gitu, wah kebetulan dong ibu lagi pengen makan pepes ayam dari semalam. Yaudah kalau gitu kita langsung pulang aja ya sekarang".

Santi mengangguk sementara Sabila segera melajukkan mobilnya.

Keesokan Harinya.

Amar baru saja tiba di bandara Halim Perdana Kusuma, ia segera mengambil kopernya di bagian bagasi lalu bergegas menuju mobil yang sudah menjemputnya. Kali ini Amar langsung menuju rumah sakit untuk mempelajari berkas riwayat pasien yang akan di tanganinya. Sesampainya di rumah sakit, Amar segera menuju ruangannya dan disana sudah terdapat beberapa berkas yang harus ia pelajari.

Ketika sedang fokus membaca berkas tersebut, ponsel Amar berdering dan di layar telepon tertera nama Sabila.

"Halo, Amar. Gimana apa kamu sudah sampai bandara Jakarta?".

"Maafkan aku Sabil, aku telat mengabarimu. Aku baru saja tiba di rumah sakit dan sekarang aku sedang mempelajari berkas pasien yang akan aku tangani".

"Oh begitu, baiklah selamat bekerja Amar. Jaga kesehatan ya".

"Terima kasih Sabil, kamu juga jaga kesehatan ya".

Sambungan telepon pun terputus, Amar kembali mempelajari riwayat penyakit pasien yang akan ditanganinya. Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu ruangannya, sementara Amar langsung mempersilahkan untuk masuk.

"Permisi dokter, ini ada istri pasien yang akan anda tangani. Beliau ingin berkonsultasi dengan anda mengenai suaminya". Ujar sang suster.

"Oh ya, suruh ia masuk sus". Sahut Amar.

Tak lama kemudian Rena pun masuk ke dalam, Rena terkesima ketika melihat sosok Amar yang begitu tampan.

"Silahkan duduk bu, ada yang bisa saya bantu?". Ujar Amar.

"Terimakasih dokter, perkenalkan saya nama saya Rena. Jadi bagaimana dok apakah suami saya bisa disembuhkan?". Sahut Rena.

"Salam kenal Ibu Rena, saya Dokter Amar. Setelah saya mempelajari berkas hasil pemeriksaan suami ibu, kemungkinan untuk suami ibu bisa sembuh total sangatlah kecil. Mengingat banyak syaraf ditubuh suami ibu yang sudah tidak berfungsi". Gumam Amar.

"Jadi suami saya akan lumpuh selamanya dok?". Tanya Rena panik.

"Saya tidak ingin mengatakan itu, karena prediksi dokter tidak bisa mengalahkan kuasa Allah. Sebab jika Allah berkehendak suami ibu akan sembuh kita semua juga tidak ada yang tau". Sahut Amar.

Duh.. Nih dokter gemesin banget sih. Mending gue sama nih dokter, udah ganteng, pinter, jadi dokter lagi. Kalau dibandingkan dengan Mas Tommy ini mah jauh banget. Gumam Rena dalam hati.

"Ibu Rena, apa anda mendengar saya?". Tanya Amar.

Tak lama kemudian lamunan Rena buyar ketika Amar menyadarkannya. "Oh iya dok, saya mengerti. Ngomong-ngomong dokter sudah punya istri belum?". Tanya Rena spontan.

Amar tersenyum. "Belum bu, tapi mudah-mudahan saja niat saya bisa terkabul di tahun ini".

"Oh belum ya, ya mudah-mudahan saja dokter segera menikah di tahun ini. Tapi kalau calonnya belum ada, saya siap kok jadi calonnya dokter". Gumam Rena sambil terkikik.

Amar terkekeh. "Ibu bisa saja, baik kalau begitu mari kita liat keadaan suami ibu. Saya akan menanganinya mulai malam ini". Ajak Amar.

Sementara Rena langsung bergegas dari duduknya, lalu mereka berdua segera menuju ruangan Tommy. Sesampainya diruangan Tommy, Amar di kejutkan dengan sosok Rahman yang sudah ada disana.

"Loh, Pak Rahman apa kabar?". Sapa Amar yang langsung menjabat tangan Rahman.

"Dokter Amar, Alhamdulillah saya baik. Dokter sendiri gimana kabarnya?". Tanya Rahman.

"Alhamdulillah saya baik Pak, hubungan bapak dengan pasien saya?". Gumam Amar bingung.

"Oh ya, jadi Tommy ini adalah adik kandung saya. Jadi Dokter yang akan menangani adik saya?". Ujar Rahman.

"Apa adik? Berarti Pak Tommy ini mantan suami Sabila?". Sahut Amar.

"Aduh, kenapa jadi ngobrol sih? Emang dokter kenal apa sama Sabila?". Gerutu Rena.

Amar tersenyum. "Ya tentu saja, Sabila adalah sahabat saya sejak masih kecil".

"Dan Dokter Amar juga yang menangani Sabila waktu Sabila kena stroke". Sambung Rahman.

"Oh begitu ceritanya, yaudah Mas Rahman kamu jaga Mas Tommy ya malam ini. Aku mau pulang, cape banget dari kemarin nungguin mayat hidup kaya gini". Gumam Rena yang langsung bergegas pergi dari hadapan Rahman dan juga Amar.

"Astagfirullahaladzim, istri macam apa dia pak? Tega sekali dengan suaminya". Ujar Amar.

Rahman menghela nafas. "Mungkin ini teguran untuk adik saya, karena dulu pernah mencampakkan Sabila sekejam itu".

"Yasudah pak tidak usah di pikirkan, yang terbaik sekarang adalah kesembuhan adik anda". Gumam Amar.

Amarpun segera memeriksa kondisi Tommy, sementara Tommy hanya bisa menangis di dalam hati melihat kelakuan Rena yang begitu kejam kepadanya.

Jahat sekali kamu Rena berkata seperti itu padaku, bahkan untuk merawat akupun kamu seperti tidak mau. Rintih Tommy dalam hati.

Sementara itu di lain tempat, Rena sedang berdiri di lobby rumah sakit menunggu kedatangan kekasih gelapnya untuk datang menjemput. Tak lama kemudian sebuah pajero putih datang dan berhenti tepat di hadapannya, Rena segera bergegas masuk dan langsung mengecup pipi kiri kekasihnya.

"Hai sayang".

"Hai sayang, maaf ya aku telat. Tadi macet banget, kita langsung pergi sekarang?".

"Iya dong mas, lagian aku udah cape banget ngurusin mayat hidup itu".

"Sabar ya Rena ku sayang, kan ada Mas Rio yang akan selalu mensupport kamu". Ujar Rio terbahak-bahak.

"Apaan sih kamu, lebay banget deh. Gimana kerjaan kamu di kantor mas?".

"Ya lancar-lancar aja, malah aku sedang di promosikan untuk menjabat sebagai direktur. Karena Pak Eko sebentar lagi kan mau pensiun".

Rena terkejut. "Benarkah mas? ahhh, aku seneng banget dengernya. Pokoknya kamu harus tambah semnagat ya mas kerjanya".

"Tapi jatah ku juga harus seimbang ya". Gerling Rio.

Rena terbahak. "Soal itu kamu gak usah khawatir mas, mulai sekarang kamu akan dapat full service seperti semula".

"Akhirnya setelah sekian lama aku mengalah, aku dapatkan kembali apa yang aku inginkan".

"Berarti uang bulanan ku nambahkan mas? kan pastinya gaji kamu juga nambah dong". Seru Rena.

Rio tersenyum. "Kamu gak usah khawatir soal itu, aku sudah mempersiapkan semuanya untuk kamu. Nih uang bulanan kamu untuk bulan ini, jumlahnya sudah aku tambah menjadi tiga kali lipat".

Rena terbelalak. "Apa? seriusan mas?". Gumam Rena yang langsung membuka amplop tersebut dan langsung menghitung jumlah uang tersebut.

Rena berteriak kegirangan karena Rio benar-benar menambahkan uang bulanannya sebanyak tiga kali lipat, kali ini ia akan pergunakan uang tersebut untuk shopping dan juga perawatan di salon mewah.

❤️❤️❤️

Sabila, Sabila, Sabila.

Rahman terbangun dari tidurnya ketika mendengar Tommy menyebut nama Sabila, Rahman segera menghampiri Tommy dan membangunkannya agar tersadar dari igauannya.

"Tommy, Tom bangun".

Tommy pun membuka kedua matanya, ia langsung tersadar dan meminta Rahman untuk mendatangkan Sabila.

"Mas, Sabila mana?".

"Kamu mimpi apa?".

"Aku bermimpi kalau Sabila meninggalkan aku".

Rahman mengernyitkan dahi. "Tapi pada kenyataannya kamu yang udah ninggalin Sabila".

Tommy menghela nafas. "Mas, Rena mana? apa di benar-benar pulang ke rumah?".

"Iya sepertinya Rena benar-benar pulang ke rumah. Sebenarnya aku prihatin sama kamu, kenapa dulu kamu bisa memilih Rena menjadi istri kamu. Sekarang kamu lihat kan, ketika kamu sakit seperti ini dia malah tidak mengurusmu sama sekali".

"Aku juga menyesal mas, aku sudah banyak salah sama papa mama, aku lebih memilih Rena dari pada mereka. Apa mama dan papa masih marah sama aku, mas?".

Rahman menghela nafas. "Ya seperti itu, mereka masih kecewa dengan kamu".

"Mas Rahman". Panggil Tommy lirih.

"Aku minta maaf ya mas, karena dulu aku sudah menghianati persaudaraan kita. Aku telah di butakan oleh nafsu ku sendiri sehingga aku dengan berani tidur dengan istrimu mas".

Rahman menghela nafas. "Sudah lah Tom, itu sudah masa lalu. Kamu tidak usah mengingatnya lagi, aku sudah memaafkanmu dan juga Laras. Yang terpenting sekarang kamu harus fokus untuk sembuh".

"Iya mas, sekali lagi terima kasih".

"Ada yang mau aku tanyakan padamu Tom".

"Soal apa mas?".

"Apa kamu mengambil hak uang sewa rumah yang sudah menjadi milik Sabila?".

Tommy menghela nafas. "Jadi mas sudah tau tentang hal itu?".

"Kemarin Sabila bilang sama aku, kalau orang yang menyewa rumah tersebut telah memberikan uang sewa padamu".

"Aku terpaksa melakukan itu mas, semua itu karena tuntutan Rena. Ia sama sekali tidak pernah ada puasnya soal uang".

"Apa? Rena".

"Iya mas, Rena paksa aku untuk melakukan itu. Karena sekarang aku sudah tidak menjadi manajer lagi, maka dari itu Rena mendesak ku untuk mengambil kembali rumah yang pernah aku berikan pada Sabila".

Rahman menghela nafas panjang lalu memijit keningnya yang sedikit menegang, Rahman tidak menyangka jika adik kandungnya tidak bahagia menjalani kehidupan rumah tangga dengan istri keduanya.