Chereads / Jangan Rebut Suamiku / Chapter 21 - Part 20 - Pesan Terakhir Tommy

Chapter 21 - Part 20 - Pesan Terakhir Tommy

"Nduk, Tamune wis teka kie. Koe arep metu ora?". Ujar Mbok Sari dengan gaya bahasa ngapak nya. (Nak, tamunya sudah datang ini. Kamu mau keluar tidak).

"Nggih mbok, tenggo sakedap nggih mbok". Teriak ku. (Iya mbok, tunggu sebentar ya).

Aku pun langsung berdiri di depan cermin untuk memastikan agar aku tidak salah kostum. Setelah penampilan ku di rasa aman, aku segera bergegas keluar dari dalam kamar untuk menemui kedua orang tuaku di ruang tamu.

"Nah, ini dia yang sudah di tunggu-tunggu dari tadi". Ujar Pak Abdi.

Aku pun tersenyum. "Nggih pak, pangapunten nggih dadi nunggu lama". (Iya pak, maaf ya jadi nunggu lama).

"Nggak apa-apa nduk, lagi pula kita juga baru saja sampai. Duh Cah Ayu, kamu saben dina makin ayu aja toh nduk". Seru Ibu Mas Tommy. (kamu makin hari makin cantik aja).

"Ibu bisa saja". Ujarku malu sambil bergeser ke sebelah untuk bersalaman dengan Rahman, Laras lalu Mas Tommy.

"Sabil gimana kabar kamu?". Tanya Mas Tommy.

"Alhamdulillah baik mas, kamu sendiri gimana kabarnya mas?".

"Aku juga baik, bahkan aku sangat bahagia karena mau di jodohkan dengan bidadari cantik pilihan orang tuaku". Gumam Mas Tommy.

Ucapan Mas Tommy pun mengundang gelak tawa bagi setiap orang yang mendengarnya. Sementara aku berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipiku agar orang lain tidak ada yang tau.

Acara malam ini pun terasa sangat khidmat karena kesimpulan dari pertemuan kedua keluarga ini adalah untuk membahas acara pernikahan ku dengan Mas Tommy yang bulan depan akan segera di langsungkan.

Aku tidak tau harus bagaimana mengekspresikan untuk hal ini, karena sebenarnya aku memang tidak memiliki perasaan apapun terhadap Mas Tommy. Tapi bagaimana pun sebentar lagi aku akan segera menikah dengannya, jadi aku harus bisa untuk membuka hati dan belajar untuk mencintai calon suamiku.

Tiba-tiba lamunan ku buyar ketika Mas Rahman datang menghampiri ku.

"Sabil, kamu melamun?". Tanya Rahman.

"Mas Rahman, kamu bikin aku kaget aja. Gak kok mas, ada yang bisa aku bantu mas?".

"Nggak, aku cuma mastiin kamu kalau kamu baik-baik aja".

"Aku gak apa-apa kok mas, oh ya mas gimana kalau kita bawa Mas Tommy ke Singapore?".

"Aku rencananya juga mau bawa Tommy ke Singapore, tapi Tommy gak mau".

Sabila terbelalak. "Memang kenapa mas?".

"Aku juga gak tau, katanya dia mau berobat disini aja".

"Nanti biar aku coba yang bujuk ya, mas".

Rahman pun mengangguk sementara Sabila segera bergegas menuju kamar Tommy untuk membujuknya.

"Mas Tommy".

"Iya Sabil".

"Mas kenapa gak mau berobat ke Singapore? Mas harus mau ya, biar mas cepet sembuh".

Tommy menghela nafas. "Aku gak mau Sabil, aku cukup berobat disini aja".

"Mas, jangan gitu. Ini demi kesembuhan mas".

"Sabila, aku gak perlu di bawa ke Singapore. Karena aku ngerasa umur ku udah gak lama lagi".

Ucapan Tommy membuat Sabila terbelalak. "Astagfirullahaladzim, mas jangan ngomong gitu. Kamu harus sembuh mas".

"Sabil, sekali lagi aku mau minta maaf sama kamu karena dulu aku gak bisa jadi suami yang baik untuk kamu".

"Sudah mas, jangan bahas itu lagi. Aku sudah maafkan kamu mas, yang terpenting sekarang kamu harus sembuh mas".

Tommy tak menjawab ucapan Sabila, ia langsung memejam kan matanya. Sementara Sabila sudah menitikan air mata, Sabila memutuskan untuk keluar dari dalam kamar. Di depan kamar sudah ada kedua orang tua Tommy dan juga Rahman, sang mama segera menghampiri Sabila.

"Sabila gimana? Apa Tommy mau di bujuk untuk berobat ke Singapore?". Tanya sang mama terisak.

Sabila tak menjawab, ia hanya menggeleng kan kepalanya lalu menangis di dalam pelukan mertuanya.

"Mas Tommy bilang gak mau berobat ke Singapore ma, karena Mas Tommy merasa kalau umurnya sudah tidak akan lama lagi". Ujar Sabila lirih.

Sang mama yang mendengar ucapan Sabila ikut terisak, terlebih lagi juga sang papa. Rahman mencoba untuk menenangkan sang papa.

3 Bulan Kemudian.

Ya Allah, aku sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini. Aku sudah pasrah dengan hidupku, maafkanlah segala kesalahanku di masa lalu ya Allah. Aku sadar betapa jahatnya perlakuanku kepada Sabila, istri yang pernah aku telantarkan sewaktu sakit. Ujar Tommy lirih sambil menitikan airmata.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar di buka, Sabila langsung menghampiri Tommy yang masih terbaring di atas tempat tidur.

"Mas, kamu sudah bangun? Kita sarapan dulu yuk sebelum Dokter Amar datang". Ujar Sabila sambil meletakan nampan berisi makanan.

"Aku tidak ingin makan Sabil". Sahut Tommy lirih.

Sabila menghela nafas. "Mas, sudah satu minggu ini kamu makan tidak teratur. Kamu mau sembuhkan? Ayo mas berjuang, aku yakin kamu juga bisa sembuh kaya aku". Gumam Sabila.

"Sabil, aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi di dunia ini. Sabil aku minta maaf karena dulu pernah menyakitimu dengan perlakuanku yang sangat tidak berperasaan". Ujar Tommy lirih.

Sabila menitikan airmata. "Mas, jangan bicara seperti itu. Aku yakin Allah pasti kasih kamu kesembuhan kalau kamu mau berjuang. Aku sudah memaafkan kamu jauh sebelum kamu meminta maaf mas, makanya sekarang kamu harus semangat untuk sembuh ya mas". Seru Sabila sambil menyeka airmatanya.

Di lain tempat, Amar yang sedari tadi sudah berdiri di depan kamar Tommy, mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Amar yang mendengar percakapan Tommy dengan Sabila, merasa terharu dengan kebesaran hati Sabila yang mampu memaafkan seluruh kesalahan Tommy di masa lalu. Tak lama kemudian Sabila yang menyadari kedatangan Amar, segera menyuruhnya masuk ke dalam.

"Amar, ngapain disitu? Sini masuk". Ujar Sabila.

Amar pun langsung menyeka air matanya dan bergegas masuk kedalam. "Maaf jika tadi saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian berdua". Seru Amar.

"Tidak apa-apa dokter. Dok, hari ini saya tidak perlu terapi". Ujar Tommy lirih.

"Tapi kenapa pak?". Tanya Amar.

"Dokter, saya mau bicara dengan dokter". Gumam Tommy.

"Kalau begitu saya keluar dulu ya mas, saya tidak ingin mengganggu obrolan kalian". Ujar Sabila.

"Kamu tetap di sini Sabil, karena kamu tidak mengganggu sama sekali". Seru Tommy.

Dan tak lama kemudian Rahman datang menghampiri mereka bertiga. "Belum mulai terapinya?". Ujar Rahman.

"Pak Tommy tidak ingin di terapi". Sahut Amar.

"Kenapa?". Tanya Rahman bingung.

"Mas, aku tidak ingin di terapi. Aku hanya ingin di temani oleh kalian semua. Mas Rahman, aku minta maaf untuk semua kesalahanku di masa lalu. Aku sudah tega berselingkuh dengan istri kamu mas dan sekarang kamu malah mau ngurus aku". Ujar Tommy.

Rahman menghela nafas. "Yang lalu biarlah berlalu, anggap saja itu sebagai pelajaran untuk lebih baik kedepannya. Soal aku merawat kamu, kamu tidak usah pikirkan itu, karena bagaimanapun kita adalah keluarga dan kamu adalah adik aku. Jadi sudah sewajarnya kalau kita saling menjaga". Sahut Rahman.

"Terima kasih mas. Ma, pa Tommy minta maaf ya kalau dulu Tommy sudah ngecewain mama dan papa".

"Tom, sudah papa sama mama sudah memaafkan kamu. Kamu gak perlu ingat soal itu lagi". Ujar sang papa.

"Iya nak, papa benar. Yang terpenting sekarang kamu harus berjuang untuk sembuh".

"Terimakasih ma, pa".  Oh ya dokter, saya mau minta tolong pada anda, tolong jaga Sabila. Sabila adalah wanita yang baik dan ia berhak berada di sisi pria yang baik juga". Gumam Tommy.

"Tapi kenapa harus saya, pak?". Tanya Amar.

"Karena saya tau Dokter Amar adalah teman Sabila sejak kecil dan saya juga melihat dari cara Dokter Amar menatap Sabila, sepertinya dokter memiliki perasaan khusus terhadap Sabila. Jadi saya mohon dok, tolong jaga Sabila, saya tidak ingin ada orang lain yang menyakitinya". Gumam Tommy sambil mempersatukan tangan Sabila dengan Amar.

Sementara Sabila hanya bisa menitikan air matanya mendengar semua ucapan Tommy.

"Insha Allah, saya akan menjalankan semua amanah Pak Tommy. Tapi semua itu saya kembalikan lagi pada Sabila, apakah Sabila mau atau tidak menerima lamaran saya". Ujar Amar.

"Sabil, bagaimana dengan keputusanmu? Apa kamu keberatan jika aku memintamu untuk menikah dengan Dokter Amar?". Tanya Tommy.

Sabila menatap Tommy sebentar, lalu ia mengarahkan pandangannya untuk menatap Amar dalam. Ketika matanya saling bertemu dengan mata Amar, Sabila seperti menemukan keteduhan pada hatinya. Tanpa pikir panjang Sabila segera memutuskan untuk memberikan jawaban saat itu juga.

"Iya, aku bersedia menikah dengan kamu Amar". Ujar Sabila.

Mendengar jawaban Sabila seperti itu membuat Amar berkaca-kaca, ia tidak menyangka jika penantiannya selama ini tidak sia-sia. Kali ini ia langsung berani melamarnya dan Sabila mengatakan jawaban yang sangat ingin ia dengar sejak lama.

"Kamu serius Sabila? Kamu terima lamaran aku?". Gumam Amar bahagia.

Sabila tersenyum dan menganggukan kepalanya, sementara Tommy juga tersenyum dan merasa bahagia karena ia sudah bisa menyatukan kedua insan yang memang seharusnya di takdirkan bersama.

"Alhamdulillah, aku ikut seneng dengernya. Selamat ya Sabila, Dokter Amar". Ujar Rahman.

"Terimakasih mas". Sahut Sabila.

"Terimakasih Pak Rahman". Ujar Amar dan langsung menjabat tangan Rahman.

"Selamat ya Sabila, Dokter Amar. Kalian berdua memang cocok". Ujar sang papa.

"Mama doakan semoga Sabila dan Dokter Amar di berikan kelancaran sampai hari pernikahan".

"Aamiin, terima kasih ma, pa". Sahut Sabila. "Mas, aku kan sudah nurutin permintaan kamu, sekarang kamu mau ya di terapi". Sambung Sabila sambil memegang pundak kanan Tommy.

Namun tak ada respon sama sekali dari Tommy, Sabila pun kembali untuk membangunkan Tommy namun lagi-lagi Tommy tak memberikan respon apapun.

"Mas Tommy, bangun mas. Amar, Mas Tommy kenapa?". Gumam Sabila.

"Sebentar Sabil, biar saya periksa terlebih dahulu". Ujar Amar yang langsung bergegas memeriksa Tommy.

Setelah melewati beberapa proses pemeriksaan, Amar pun terdiam tanpa sepatah katapun dan hal itu membuat Sabila, Rahman dan kedua orang tuanya panik.

"Amar, gimana kondisi Mas Tommy?". Gumam Sabila.

"Maafkan aku Sabil, Pak Rahman, bu, pak. Saya sudah berusaha semampu saya, namun Allah berkehendak lain, Pak Tommy sudah meninggal dunia". Sahut Amar lirih.

Mendengar ucapan Amar seperti itu, tangis sang mama pun langsung pecah dan langsung memeluk sang anak. Rahman pun juga langsung memeluk sang adik sementara Sabila mencoba untuk menguatkan Rahman.

"Kamu yang sabar ya Sabila". Ujar Amar.

Sabila menganggukkan kepalanya sambil menitikan air mata, sementara Amar langsung menyeka air mata Sabila di kedua pipinya.

Sementara itu di lain tempat, Rena masih terus mencoba menghubungi Rio, berkali-kali ia mencoba menghubungi namun Rio sama sekali tidak mau menjawab telepon darinya. Setelah berusaha menghubungi sekali lagi, akhirnya Rio menjawab telepon Rena.

Setelah berdebat beberapa menit akhirnya Rio meminta Rena untuk menemuinya di cafe tempat biasa mereka bertemu. Rena pun segera bergegas menuju cafe tersebut, karena ia harus meminta penjelasan dari Rio, mengapa akhir-akhir ini ia sangat sulit dihubungi dan tidak pernah lagi pulang kerumahnya.

Rena pun sudah sampai lebih dahulu di cafe tersebut, tak lama kemudian Rio datang menghampiri Rena dan langsung duduk di hadapan Rena. Raut wajah Rio tampak sedikit murung seperti menyimpan sesuatu.

"Kamu kenapa? Apa ada masalah dikantor?". Tanya Rena.

Rio menghela nafas. "Gak apa-apa, aku mau ngasih tau kamu kalau Tommy meninggal".

"Apa? Meninggal? Kapan?". Ujar Rena shock.

"Hari ini, orang-orang kantor tadi dapet infonya di grup". Gumam Rio.

Rena pun terdiam dan tiba-tiba langsung tertawa terbahak-bahak dan hal itu membuat Rio bingung melihatnya.

"Kamu kenapa malah ketawa?". Tanya Rio.

"Ya kalau Mas Tommy meninggal, itu bagus dong. Untung saja semua harta yang dia punya sudah aku ambil kan". Gumam Rena senang.

Rio pun tertawa mendengar ucapan Rena. "Benar juga ya, kamu benar-benar licik".

"Oh ya uang hasil penjualan apartement apa sudah di transfer sama orangnya? Aku tuh mau nanyain itu sama kamu, tapi kamu malah gak pernah jawab telepon aku". Gumam Rena.

Rio menghela nafas. Maafin aku sayang, aku sibuk. Orang itu sudah transfer. Oh ya sayang gimana kalau sebagian uang itu kita putar untuk modal usaha?". Tanya Rio.

"Mau usaha apaan?". Sahut Rena.

"Aku sih pengen buka usaha kuliner, kan kalau usaha kuliner gak ada matinya. Gimana kamu setuju?". Ujar Rio meyakinkan.

"Bener-bener iya usaha kuliner aja, aku dukung kamu sayang yang penting kamu bener ya gunain uang itu". Gumam Rena.

"Iya pasti, kamu tenang saja". Sahut Rio sambil menggenggam kedua tangan Rena.

Tak lama kemudian pesanan mereka berdua pun datang dan mereka langsung menyantap makanan yang sudah di pesannya.

"Terus gimana? Apa kamu mau datang melayat?". Tanya Rio.

"Untuk apa? Gak penting juga".

"Bagaimana pun Tommy kan pernah jadi suami kamu".

"Ah udah deh mas, aku gak mau bahas soal Tommy. Untung aja kita bisa gerak cepat kan sebelum dia mati".

"Iya kamu benar Ren".

Rena pun tertawa, mereka berdua kembali melanjutkan makan siangnya.

❤❤❤

Sabila masih termenung duduk di samping mertuanya, ia tidak menyangka jika Tommy harus pergi secepat ini. Tak lama kemudian kedua orang tua Sabila tiba di rumah duka bersama Santi. Dengan cepat Sabila langsung menghampiri kedua orang tuanya dan memeluk sang ibu.

Sementara sang bapak langsung menghampiri kedua orang tua Tommy untuk memberikan bela sungkawa. Ketegangan yang sempat terjadi diantara orang tua Sabila dan juga Tommy pun seketika memudar.

"Abdi, saya turut berbela sungkawa. Kamu yang sabar dan ikhlas semoga Tommy husnul khotimah, sekarang dia udah gak ngerasa sakit lagi". Ujar bapak Sabila.

"Terima kasih, saya mohon untuk di bukakan pintu maaf untuk Tommy".

"Sudah jangan bahas itu lagi, saya dan keluarga sudah memaafkan Tommy".

Santi segera memeluk ibu angkatnya, tak hentinya ia menguatkan agar ibu angkatnya bisa kuat.

"Bu yang sabar ya, aku yakin Pak Tommy sudah bahagia sekarang".

"Iya Santi, terima kasih".

Rahman pun memberikan informasi kepada para tamu yang datang, bahwa sebentar lagi jenazah Tommy akan segera di makam kan. Para tamu  dan juga keluarga sudah bersiap-siap untuk pergi ke pemakaman.

"Mas, kamu yang kuat ya. Aku yakin adik kamu sudah tenang disana".

Rahman menghela nafas. "Terima kasih sayang, kamu sudah sempetin waktu untuk datang kemari". Ujar Rahman menggenggam tangan kekasihnya.

"Iya mas, sama-sama".

❤ ❤ ❤

Rena sedang sibuk mencatat nama-nama tamu undangan yang akan ia undang di pesta pernikahannya bersama Rio. Tak tanggung-tanggung ia mengundang hampir seribu undangan, karena Rena mau konsep pernikahannya kali ini bersama Rio harus terkesan mewah.

Pokoknya pernikahan aku sama Mas Rio kali ini harus terlihat mewah.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dari pintu rumahnya. Rena segera bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Dan di lihatnya sosok Rio sudah ada di hadapannya.

"Mas Rio, tumben kamu pulang cepet?".

"Iya hari ini seluruh karyawan sengaja pulang cepat untuk melayat. Tommy".

"Berarti tadi kamu dateng?".

"Ngapain, males banget. Pokoknya aku masih dendam banget sama Tommy, aku gak akan pernah lupain sakit hati aku karena dia sudah pernah menghina aku di kantor".

Rena terkikik dan hal itu membuat Rio mengernyitkan dahinya. "Kenapa kamu ketawa begitu?".

"Lagian kamu lucu mas, ngapain juga kamu dendam begitu. Toh orangnya kan juga udah mati, harusnya kamu seneng dong itu tandanya kamu yang jadi pemenangnya". Gumam Rena.

"Iya juga ya, ngapain aku cape-cape buat benci dia. Kamu kadang pinter juga sayang".

"Yaudah yuk masuk, aku udah siapin makan malam. Tapi sebelum makan kamu mandi dulu ya".

Rio pun langsung bergegas menuju kamar mandi, sementara Rena langsung bersiap menyiapkan makan malam dan menata beberapa masakannya di atas meja. Ketika ia sedang sibuk menata makanan di atas meja makan, tiba-tiba pandangan Rena terlihat kabur dan kepalanya merasa sedikit pusing.

Ia memutuskan untuk duduk sejenak agar untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Rio yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Rena dengan keadaan pucat, segera bergegas menghampirinya.

"Ren kamu kenapa? Kok muka kamu pucet banget sih".

"Gak tau nih mas, tiba-tiba kepala aku sakit banget".

"Ini kamu minum dulu ya".

Rena segera meminum air mineral yang Rio berikan.

"Yaudah yuk mas, kita makan sekarang".

"Iya sebentar ya sayang, aku jemur handuk dulu".

Sementara itu di lain tempat, suasana rumah Sabila telah ramai dengan tamu dan juga para tetangga yang datang untuk tahlilan. Sabila dan Santi sedang sibuk berkutat di dapur menyiapkan beberapa makanan untuk menjamu para tamu yang datang.

Suasana pengajian pun berjalan dengan hikmad, Sabila berharap Tommy sudah mendapat kebahagiaan di sana. Sabila sangat bersyukur karena ia masih sempat untuk menggurus mantan suaminya tersebut selama sakit.

"Bu, aku masih gak nyangka Pak Tommy akan pergi secepat ini. Aku kasian sama Pak Tommy, bu selama sakit ia malah makin menderita karena istrinya yang tidak tau diri itu".

Sabila menghela nafas. "Iya, ibu juga masih gak percaya kalau Mas Tommy akan pergi secepat ini. Padahal tadinya kita berencana bawa Mas Tommy untuk berobat ke Singapore tapi dia malah gak mau. Kita doakan saja semoga Rena mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang benar".

"Aamiin, yaudah bu, Santi mau bawa minuman ini ke depan dulu ya".

"Iya sayang, kamu hati-hati ya".

Santi segera bergegas menuju ruang tamu.

❤ ❤ ❤

Amar baru saja tiba di rumah sang mama setelah mengikuti acara pengajian tahlil di rumah Sabila. Tak lama kemudian sang mama datang menghampiri nya sambil membawakan secangkir teh hangat.

"Ini di minum dulu tehnya".

"Makasih ma, aku gak perlu di suguhin kaya gini terus ma".

"Mama akan berhenti menyuguhkan untuk kamu kalau kamu sudah mendapatkan istri". Gerling sang mama.

"Ah mama bisa aja".

"Gimana pengajian nya? Lancar?".

"Alhamdulillah lancar ma, oh ya ada yang mau aku omongin sama mama".

"Soal apa?".

"Mendiang Tommy telah menjodohkan aku dengan Sabila, ma".

"Terus?".

"Alhamdulillah nya Sabila menerima pinangan aku ma".

"Alhamdulillah akhirnya anak mama laku juga".

Amar mengernyitkan dahinya. "Ih apaan sih ma, kok gitu ngomongnya".

"Ya kan selama ini kamu sama sekali gak pernah punya pacar, dua belas tahun kamu hanya fokus untuk menunggu Sabila".

"Iya juga ya ma, gak kerasa perjuangan ku berat banget".

"Berarti secepatnya kita harus mengadakan lamaran resmi di hadapan kedua orang tua Sabila. Gimana? Kamu setuju?".

Iya ma, aku setuju. Mumpung kedua orang tua Sabila juga ada di Jakarta ma".

"Wah kebetulan banget kalau gitu ya, pokoknya kamu harus atur acara ini sama Sabila".

"Iya ma, aku akan bicarakan soal ini besok".

"Yasudah pokoknya mama tunggu secepatnya ya".

"Iya ma".

"Yaudah kalau gitu mama ke kamar dulu ya". Sang mama pun bergegas pergi dari hadapan Amar.

Amar pun masih belum percaya jika Tommy harus pergi secepat ini. Tapi disisi lain ia juga sedang merasakan bahagia karena Sabila sudah mau membuka hati untuknya.

12 Tahun bukan waktu yang sebentar, sudah banyak lika-liku yang aku lalui untuk bisa mendapatkan cinta yang telah lama aku nantikan. Terkadang kita memang harus jatuh terlebih dahulu agar bisa menikmati apa yang kita inginkan selama ini. Sabila terima kasih karena kamu sudah mau membuka hatimu untuk ku, aku berjanji setelah pernikahan, aku akan menjadi imam yang baik untuk kamu. Aku tidak akan menyianyiakan hidupmu seperti apa yang mantan suamimu dulu pernah lakukan. Terima kasih ya Allah, engkau telah memberi kesempatan pada ku dan juga Sabila untuk bersatu. Gumam Amar dalam hati sambil memandangi foto Sabila di ponselnya. Amar sangat bersyukur karena penantiannya selama ini tidak sia-sia.