Sabila tengah tergesa-gesa mengejar kereta yang akan di tumpanginya, tak lama kemudian sesorang menabrak dirinya hingga barang-barang yang ia bawa jatuh berserakan.
Brakk.. Tabrakan pun tak terelakkan.
Berkas-berkas yang Sabila bawa pun jatuh berhamburan.
"Maaf mbak, maaf gak sengaja". Ujar orang tersebut.
Sabila pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. "Rena".
Rena terbelalak melihat Sabila yang sudah ada di hadapannya. Lalu pandangan Rena tertuju pada satu berkas yang sangat menarik perhatiannya, Rena segera mengambil berkas tersebut.
"Sertifikat rumah". Gumam Rena sambil membaca isi berkas tersebut.
"Balikin sertifikat rumah aku, Rena". Gumam Sabila.
"Nggak, serifikat ini punya aku. Ini kan rumah peninggalan suami aku, jadi aku yang berhak untuk rumah ini".
"Itu milikku Rena, kembalikkan".
Namun Rena segera bergegas pergi dari hadapan Sabila, sementara Sabila bergegas untuk mengejar Rena namun sayang Rena telah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan Sabila.
Astagfirullahaladzim. Gumam Sabila lirih.
Sabila hanya bisa menangis meratapi sertifikat rumah yang baru saja akan ia daftarkan untuk di jadikan panti asuhan atas nama almarhum Tommy. Semua keinginannya telah hancur dalam sekejap. Sabila bergegas menghubungi Amar, sementara Amar tidak kalah tercengangnya mendengar kabar tersebut.
Dengan cepat Amar segera menjemput istrinya di stasiun, tak lama kemudian Amar tiba dan sudah mendapati istrinya terduduk lesu di kursi taman dekat stasiun.
"Sabila". Ujar Amar, dengan cepat Sabila segera memeluk dan menangis di pelukan Amar.
"Kamu yang sabar ya, ikhlaskan saja mungkin ini belum rezeki kita untuk mendirikan panti asuhan untuk almarhum Tommy".
"Tapi Rena benar-benar keterlaluan mas, kita harus melaporkannya ke polisi". Ujar Sabila.
"Gak perlu sayang, biar Allah yang membalas semua perbuatan Rena. Insha Allah kalau kita ikhlas, kita pasti bisa dirikan panti asuhan di lain tempat. Kamu harus optimis dan jangan menyerah ya".
"Iya mas".
"Kamu mau ikut aku ke rumah sakit? Kebetulan aku tidak ada praktek hari ini, aku hanya ada meeting nanti jam sepuluh dengan para dokter lainnya".
"Kalau aku ikut, aku ngapain disana".
Amar tersenyum. "Kamu bisa nunggu di perpustakaan rumah sakit, apa kamu lupa? Nanti setelah selesai meeting, aku mau ajak kamu jalan-jalan". Ujar Amar antusias.
Sabila tersenyum. "Iya aku mau mas".
Amar segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit, sesampainya di rumah sakit, Amar segera mengantar Sabila ke perpustakaan rumah sakit yang berada di lantai tujuh belas. Setelah itu ia kembali ke ruangannya yang berada di lantai dua puluh lima.
Sabila menghela nafas panjangnya, ia masih belum percaya kalau Rena berani melakukan hal itu padanya. Tapi kali ini Sabila sudah mengikhlaskan semuanya dan biarkan Allah yang membalas semua perbuatan Rena.
"Mbak Sabila". Suara seseorang memanggil namanya.
Sabila segera menoleh ke arah suara tersebut. "Dokter Diana".
"Boleh, saya duduk disini?".
"Silahkan dokter".
Diana segera menarik kursi di samping Sabila.
"Panggil aja Diana, mbak. Kan saya lagi gak praktek". Ujar Diana tersenyum.
"Oh iya Diana".
"Mbak lagi nunggu Amar? Kebetulan dia mau ada meeting dengan direktur".
"Iya makanya saya nunggu disini, kamu gak ikut meeting juga?".
Diana tersenyum. "Nggak mbak, saya kan disini baru. Lagi pula saya kan hanya dokter biasa, kalau Amar kan selain jadi dokter dia kan punya jabatan juga di manajemen rumah sakit."
"Oh begitu, apa sekarang lagi gak ada praktek?".
"Nanti siang mbak, setelah jam makan siang. Saya sengaja berangkat pagi karena ingin mampir ke perpustakaan, eh ternyata ada mbak juga disini".
"Panggil aja Sabila, lagian kayanya kita seumuran".
"Baiklah Sabila, oh ya Sabil, aku minta maaf ya untuk kejadian tempo lalu. Aku gak ada hubungan apa-apa sama suami kamu, waktu itu aku hanya sekedar mampir ke ruangan Amar dan ngobrol biasa. Maklum kita kan udah putus komunikasi setelah lulus kuliah, karena kebetulan waktu itu ponsel aku hilang".
Sabila tersenyum. "Gak apa-apa Diana, saya minta maaf juga ya karena udah berpikiran yang macam-macam tentang kamu".
"Nggak apa-apa kok, saya juga akan melakukan hal yang sama kalau ada di posisi kamu".
"Oh ya, kamu sudah nikah?".
Diana tersenyum. "Belum".
"Loh kenapa? Kamu ini kan cantik, dokter lagi".
"Belum nemu yang pas aja". Ujar Diana tertawa.
Andai kamu tau kalau aku pernah mencintai suami kamu Sabil. Gumam Diana dalam hati.
"Yaudah mbak, eh Sabil maksudnya, kalau gitu saya keliling dulu ya mau cari buku yang saya perlukan". Ujar Diana.
"Iya Diana".
Diana segera pergi dari hadapan Sabila, sementara Sabila kembali melanjutkan membaca buku pilihannya.
Rena
Rena baru saja tiba di bank, ia segera mengambil nomor antrian ke customer service. Ia berencana untuk mengadaikan sertifikat rumah milik Tommy yang baru saja ia rebut dari Sabila.
Akhirnya yang sudah lama aku inginkan terwujud juga, akhirnya rumah ini jatuh juga ke tangan ku.
Setelah urusannya di bank selesai, Rena segera keluar dari bank tersebut dengan hati yang sangat bahagia. Ia memutuskan untuk segera menemui Rio di kantor, karena ia butuh penjelasan untuk hubungan mereka berdua. Apalagi hari pernikahan mereka berdua semakin dekat, bahkan beberapa undangan juga sudah tersebar. Sesampainya di kantor, Rena langsung di sambut dengan teman-temannya yang mencoba untuk menguatkannya.
"Rena, kamu yang sabar ya. Aku yakin kamu pasti kuat ngadepin semua ini".
"Iya Ren, kamu yang sabar ya. Semoga kamu dapet jodoh yang lebih baik dari Rio".
Rena tercengang mendengar ucapan teman-temannya. "Maksud kalian apa sih? Aku beneran gak ngerti deh".
"Lah, kan Rio batalin pernikahan kalian berdua kan? Malahan tadi dia abis ngasih kita undangan pernikahannya sama pacar barunya itu".
"Apa?! Terus sekarang Rio dimana?".
"Ada di ruangannya".
Rena segera bergegas menuju ruangan Rio, tanpa mengetuk Rena langsung membuka pintu ruangan Rio begitu saja.
"Rio". Teriak Rena.
"Kamu ini apa-apaan sih Rena, kalau masuk ruangan orang itu ketu pintu dulu".
"Cukup Rio, maksud ini semua apa?". Tegas Rena sambil melempar undangan pernikahan Rio.
Rio menghela nafas. "Iya aku dan juga Anya akan segera menikah bulan depan? Memang kenapa?".
"Masih tanya kenapa? Aku ini sedang hamil anak kamu, Rio. Kita juga udah sebar undangan, kamu gak bisa tinggalin aku".
"Cukup Rena, sudah berkali-kali aku bilang sama kamu untuk gugurkan anak itu. Tapi kenapa kamu masih saja mempertahankannya".
"Bagaimana bisa aku tega mengugurkannya Rio, pokoknya kamu harus tanggung jawab". Tegas Rena.
"Keluar dari sini Rena, aku gak mau lihat muka kamu lagi". Gumam Rio sambil mendorong Rena keluar dari ruangannya.
Rena masih berteriak di depan ruangan Rio dan hal itu memancing para karyawan lain. Rena mendengus kesal dan langsung pergi dari kantor Rio, sementara para karyawan lainnya langsung menjadikan berita ini sebagai bahan gosip di kantor.
Rena segera bergegas pergi menuju rumah sakit, ia ingin sekali meluapkan emosinya dengan cara bercerita dengan Amar. Sepanjang perjalanan Rena masih saja terus menggerutu akibat kesal dengan Rio. Setiba nya di rumah sakit Rena segera turun dari mobil dan bergegas menemui Amar, belum jauh ia melangkah tiba-tiba ia mendapati sosok Amar sedang berjalan di lorong bassement rumah sakit. Rena langsung naik pitam karena menurutnya Sabila telah merebut Amar dari dirinya.
"Aww". Sabila berteriak karena tiba-tiba seseorang menarik jilbabnya.
"Kurangajar kamu Sabila, berani-beraninya kamu jalan sama gebetan aku".
"Rena lepasin aku, apa kamu sudah gila?". Teriak Sabila.
Sementara Amar langsung menyingkirkan Rena dari Sabila dan hal itu membuat Rena terjatuh.
"Amar, kamu dorong aku?".
"Maafkan aku Rena, tapi kamu sudah keterlaluan sama istri aku". Tegas Amar.
"Apa?! Istri? Gak mungkin kamu pasti bohong kan Amar".
"Bohong? Aku sama Sabila sudah menikah satu bulan yang lalu, suami kamu yang menyatukan kita berdua sebelum ia pergi untuk selamanya".
"Apa?! nggak, nggak mungkin".
"Ini buktinya kalau kamu masih bilang gak mungkin". Amar segera memperlihatkan foto pernikahannya dengan Sabila dan hal itu membuat Rena masih tidak percaya.
"Rena, balikin sertifikat rumah aku. Sertifikat itu mau aku daftarkan untuk pembukaan panti asuhan atas nama almarhum Mas Tommy".
"Apa? Panti asuhan? Mending rumah itu di jual, lagian apa gunanya panti asuhan itu?". Gerutu Rena.
"Astagfirullahaladzim, balikin Rena". Gumam Sabila.
"Rumah itu akan jadi milik ku, sebaiknya kalian pergi dari sana sekarang". Gerutu Rena yang langsung pergi dari hadapan Sabila.
Rena tunggu, Rena. Teriak Sabila.
"Sudah sayang, sudah. Biarin aja dia pergi". Ujar Amar.
Sementara Rena segera mengendarai mobilnya, ia kembali kesal ketika tau jika Amar sudah menikah dengan Sabila.
Kurangajar kamu Sabila, kenapa harus kamu yang menikah dengan Amar? Harusnya Amar itu menikah dengan aku.
Diana
Diana sedang sibuk memilih beberapa barang di supermarket, ketika sedang asik memilih tidak sengaja troly miliknya menabrak troly seseorang yang berada di hadapannya.
Brukk.. Suara benturan sesama troly terdengar dan hal itu membuat Diana sedikit tersentak kaget.
"Astaga, maaf ya mas nggak sengaja".
"Iya nggak apa-apa mbak, loh Dokter Diana".
"Pak Rahman". Ujar Diana lirih.
"Kebetulan banget ketemu disini dok, sendirian aja dok?".
"Iya ini baru aja balik kerja, jadi sekalian mampir kesini".
"Oh gitu, emm.. Ngomong-ngomong udah makan malam belum dok? gimana kalau kita makan malam bareng? Biar lebih akrab".
"Emm.. Boleh".
"Saya udah selesai ini belanjanya, kalau dokter belum selesai silahkan di lanjut saya nunggu di depan nanti". Ujar Rahman.
"Kebetulan saya juga udah selesai".
Mereka berdua segera bergegas menuju kasir untuk membayar belanjaan masing-masing.
"Mbak, pakai kartu saya aja ya". Ujar Rahman sambil memberikan kartu kreditnya ke kasir.
"Pak Rahman, gak usah repot-repot".
"Gak apa-apa dok, sekali-kali kok".
"Duh jadi gak enak nih, makasih ya pak". Sahut Diana tersenyum.
Setelah selesai membayar, mereka berdua langsung menuju food court yang berada di supermarket tersebut. Rahman menarik kursi untuk Diana, lalu memanggil pelayan untuk meminta daftar menu.
"Terima kasih, pak". Ujar Diana yang langsung duduk.
"Jangan panggil pak, panggil Rahman aja".
"Tapi kan kamu kolega papa saya, jadi saya harus sopan dong". Seru Diana.
Rahman tertawa. "Aku kan berbisnisnya sama papa kamu, jadi gak perlu dong kamu panggil saya bapak. Lagian saya belum bapak-bapak kok, umur saya baru 29 Tahun". Ujar Rahman.
"Oh, kita cuma beda 2 Tahun, yaudah biar lebih akrab aku panggil kamu Mas Rahman ya".
"Emm.. Boleh dok".
"Mas, kita lagi di food court bukan di rumah sakit. Jadi panggil Diana aja ya".
Rahman terkikik. "Iya Diana".
Mereka berdua saling tersipu sambil membolak balikkan daftar menu, setelah selesai memesan tak lama kemudian pesanan mereka datang. Rahman dan Diana segera menyantap makanannya sambil berbincang tentang kehidupan masing-masing.
Keduanya saling mengagumi satu sama lain dengan hasil kerja keras yang telah membawa mereka bisa sampai seperti saat ini. Setelah selesai makan dan bersiap untuk pulang, Rahman memanggil seorang pelayan untuk meminta bill. Ketika Rahman ingin mengambil dompet di saku celananya, namun ia kalah cepat dengan Diana yang sudah memberikan kartu kredit kepada pelayan food court.
"Loh, kenapa jadi kamu yang bayar?". Ujar Rahman.
"Gak apa-apa, gantian lah. Kan tadi kamu udah bayarin belanjaan aku, sekarang gantian aku yang traktir kamu makan".
Rahman tersenyum. "Makasih ya Diana".
"Sama-sama mas".
"Oh ya, kamu balik naik apa? Apa bawa mobil?".
"Pake taksi online mas, kebetulan mobil aku lagi masuk bengkel".
"Oh gitu, yaudah biar aku anter aja ya sekalian".
"Gak usah mas, gak apa-apa aku bisa naik taksi online aja".
"Diana, aku gak akan membiarkan anak kolega ku kenapa-kenapa. Apalagi saat ini kamu sedang bersama ku".
"Emm.. Yaudah deh maaf ya jadi ngerepotin".
"Sama sekali gak ngerepotin kok".
Mereka berdua bergegas menuju parkiran dan menata belanjaan mereka di dalam bagasi mobil. Rahman segera melajukan mobilnya menuju kediaman Diana, sementara Diana merasa senang bisa mengenal Rahman. Karena menurutnya Rahman adalah sosok pria yang baik dan juga sopan kepada wanita.
Setelah menempuh waktu kurang lebih tiga puluh menit akhirnya mereka berdua tiba di rumah Diana. Diana segera bergegas turun dari dalam mobil dan membantu Rahman untuk membawakan belanjaan miliknya. Tak lama kemudian sang mama keluar dari dalam rumah dan keberadaan mereka berdua mengundang decak kagum bagi sang mama.
"Diana, kok kamu bisa bareng sama Nak Rahman?". Ujar sang mama.
"Mama, bikin kaget aja deh. Iya ma, kebetulan tadi ketemu di supermarket terus di anter pulang sekalian sama Mas Rahman".
"Oh begitu.Duh, makasih ya Nak Rahman udah mau anterin Diana".
"Iya bu, sama-sama".
Tak lama kemudian sang papa datang menghampiri mereka bertiga.
"Ada apa ini rame-rame di luar, oh rupanya ada Nak Rahman".
"Iya pa, ini Diana di anter pulang sama Nak Rahman. Kebetulan tadi mereka ketemu di supermarket, ih kalian so sweet banget deh. Kayanya ini mah beneran jodoh deh kalian berdua, udah tiga kali ketemu kan".
"Mama, apaan sih. Mas sini belanjaannya biar aku aja yang bawa. Makasih ya udah mau anterin aku, kalau gitu aku masuk dulu ya". Gerutu Diana.
"Iya sama-sama".
"Ayo Nak Rahman, masuk dulu kita ngobrol dulu di dalam".
"Makasih pak, bu tapi saya mau langsung pamit karena udah kemaleman. Nanti gampang saya kapan-kapan mampir lagi kesini".
"Oh gitu, yasudah terima kasih ya nak sudah mau mengantar Diana".
"Iya sama-sama pak, permisi". Ujar Rahman yang langsung melajukan mobilnya.
Sementara itu Diana yang baru saja tiba di dalam kamar, langsung memutuskan untuk mandi. Belum sempat ia masuk ke dalam kamar mandi tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang, Diana segera membuka kan pintu.
"Mama, ada apa ma?".
"Ini tadi mama bikin wedang jahe, di minum ya nanti setelah selesai mandi, biar badan kamu hangat dan fresh setelah seharian bekerja".
"Oh iya ma, terima kasih".
"Diana, mama rasa ini sudah waktunya kamu harus punya hubungan yang serius".
"Maksud mama?".
"Mama mau kamu menikah secepatnya, kamu mau nunggu apalagi? Toh laki-laki yang kamu tunggu juga udah nikah kan?".
Diana menghela nafas. "Ma, aku masih nyaman sendiri".
"Mau sampai kapan? semakin hari mama dan papamu akan semakin tua, masa kamu gak mau bikin mama sama papa bahagia menimang cucu. Mama kan juga pengen kaya temen-temen mama yang lainnya pergi arisan cucunya di bawa, kemana-mana bawa cucu. Apa kamu gak kasihan sama mama?".
"Ya doain aja ma, semoga aku cepat ketemu jodoh".
"Kan sudah ada di depan mata".
"Maksud mama gimana?". Tanya Diana bingung.
"Kan ada Rahman, dia itu anak yang baik loh. Mama juga suka lihat kamu berdua dengan dia itu serasi banget deh, Rahman pengusaha sukses dan kamu dokter. Apalagi yang kalian cari, kalian sudah sangat cocok dan saling melengkapi. Ayolah Diana kamu mau kan mengenal Rahman lebih jauh".
"Mama, aku baru kenal Rahman kemarin. Aku kan gak tau gimana kehidupan Rahman yang sebenarnya. Aku gak mau ma kalau harus salah melangkah".
"Ya makanya dari itu, kamu mulai pengenalan satu sama lain dong sama Rahman. Biar kalian bisa sama-sama mengenal lebih jauh. Kalau kalian gak memulai sekarang ya gimana kalian bisa mengenal satu sama lain".
Diana menghela nafas. "Iya ma gampang".
"Jangan anggap enteng Diana, apa perlu mama minta papa kamu untuk mengatur jadwal kalian bertemu?"
"Terserah mama, ah. Yaudah aku mau mandi dulu ya ma". Seru Diana yang langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara sang mama hanya menghela nafas dan bergegas keluar dari dalam kamar Diana.
Anya
Aku baru saja selesai membuatkan kopi untuk Mas Rio, kemudian aku bergegas menuju teras rumah karena ia sudah menunggu ku disana.
"Mas, ini kopinya". Ujarku.
"Terima kasih, sayang". Gumam Mas Rio yang langsung menyeruput kopinya perlahan.
"Oh ya mas, besok kamu jadikan beliin aku mobil baru?". Tanya ku penasaran.
Belum sempat Mas Rio menjawab pertanyaanku, tiba-tiba aku di kejutkan oleh sosok Rena yang sudah berdiri tepat di depan pagar rumah Mas Rio.
"Mas, itu Rena kan? mau ngapain dia malam-malam kesini". Gumam ku penasaran. Mas Rio pun langsung memicingkan matanya untuk memastikan apakah yang datang benar Rena atau bukan.
"Iya benar itu Rena, tapi mau ngapain gembel itu datang kemari". Gumam Mas Rio yang langsung bergegas menghampiri Rena, sementara aku langsung mengekori Mas Rio di belakang.
"Heh, gembel. Mau ngapain lo kesini?". Sergah Mas Rio.
"Aku yang sudah berjuang mati-matian untuk dapetin semua harta Tommy demi kamu, tapi setelah aku mendapatkan semuanya dengan teganya kamu ambil semuanya dariku. Lalu kamu pergi dengan wanita murahan seperti dia". Teriak Rena.
"Tutup mulut kamu, Rena! Kamu gak berhak hina calon istri aku. Sebaiknya kamu pergi dari sini Rena". Bentak Mas Rio.
"Oke, aku akan pergi tapi serahkan sertifikat rumah ini Rio. Rumah ini milikku, kamu boleh ambil uang hasil penjualan apartement tapi aku mohon Rio kamu kembalikan rumah aku". Gumam Rena memelas. Lalu Mas Rio segera pergi dari hadapan Rena, aku pun menatap Rena tajam sebelum mengikuti Mas Rio untuk masuk ke dalam.
"Mas, apa kita berikan saja rumah ini pada Rena? lagi pula kan kamu sudah dapat semua hasil penjualan apartemen Rena. Ujar ku.
"Anya, come on. Kamu ini kenapa? aku udah susah payah buat lampiasin dendam aku ke Tommy tapi aku harus berbagi sama orang lain? jangan mimpi Anya, aku tidak akan mau". Sahut Mas Rio sambil menyilangkan tangannya di dada.
"Termasuk kamu gak mau berbagi sama aku, calon istri kamu?". Seru ku.
"Maksud kamu!".
"Tadikan kamu bilang, katanya semua hasil yang kamu dapatkan gak akan mau kamu berbagi sama orang lain, berarti termasuk aku kan". Protesku kesal.
Mas Rio langsung menghampiri aku dan memegang kedua bahuku. "Bukan begitu maksudku sayang, kalau harus berbagi sama orang lain ya aku gak mau, kalau kamu kan bukan orang lain bagiku, kamu itu ratu yang harus aku bahagiakan".
"Ah, yang bener!". Sergah ku lirih.
"Bener dong, kamu mau minta apa aja pasti aku turutin".
Aku langsung membalikkan tubuhku menghadap Mas Rio, lalu memeluknya dengan erat. "Makasih ya mas".
"Tapi mas, kalau misalnya Rena bales dendam ke kamu dan dia ngelampiasin amarahnya sama aku gimana mas? Aku takut".
"Kamu gak usah takut, karena Rena gak akan berani macam-macam".
"Ya kan bisa aja mas, namanya juga nekat".
"Apa perlu aku sewa bodyguard untuk melindungi kamu?".
"Gak usah lah mas, sayang uangnya mending di tabung aja".
"Kamu ini emang istri idaman, udah cantik, Pinter nabung lagi".
"Bisa aja kamu, terus gimana mas? Aku jadi gak di beliin mobil?".
"Jadi dong, tapi kamu sabar ya. Bulan depan bonus penjualan aku cair, nanti kalau udah cair kita langsung pergi ke showroom dan kamu tinggal tunjuk aja mobil mana yang kamu suka".
"Beneran mas?".
"Emang aku lagi kelihatan bohongan?".
"Iya nggak, asik makasih ya mas. Kamu emang laki-laki paling baik sedunia, aku bersyukur banget punya kamu".
"Sama-sama sayang, aku juga seneng banget akhirnya kamu balik lagi sama aku. Aku minta maaf ya kalau dulu udah pergi ninggalin kamu gitu aja, tapi aku pergi juga untuk masa depan kita".
"Iya mas, nggak apa-apa yang penting sekarang kita mulai semuanya dari awal untuk masa depan kita berdua".
"Iya sayang".
Mas Rio langsung memeluk erat diriku, dan aku langsung membalas pelukannya. Aku sangat senang karena Mas Rio bisa kembali ke pelukanku lagi, setidaknya aku mampu mengalahkan semua wanita yang berusaha untuk mengambil hati Mas Rio.