Rahman baru saja tiba di rumah orang tuanya, ia sedikit terkejut ketika mendapati Santi sudah berada di rumah orang tuanya.
"Santi". Ujar Rahman.
"Mas Rahman". Sahut Santi yang langsung bergegas menghampiri Rahman dan langsung mencium punggung tangannya. "Mas apa kabar? Mas sehatkan?". Sambungnya.
"Alhamdulillah aku baik dan sehat, kamu kok mau kesini gak kabarin mas sih? Tau gitu kan mas jemput di bandara".
Santi tersenyum. "Aku gak naik pesawat mas, aku kesini pakai kereta biar bisa menikmati perjalanan".
"Oh ya? Okey kapan-kapan kita naik kereta sama-sama ya".
"Oh ya, mas dari mana?".
"Emm.. Aku abis mampir ke rumah kolegaku dan kebetulan aku juga berteman baik sama anaknya kolega ku".
"Oh gitu, mas besok anterin aku ke rumah ibu ya?".
"Ibu udah tau kalau kamu ke Jakarta". Tanya Rahman namun Santi menjawab nya hanya dengan sebuah gelengan kepala.
"Jadi ceritanya kamu mau kasih surprise ke ibu?".
"Iya mas, kamu bisa kan anter aku?".
Rahman tersenyum. "Ya jelas dong aku bisa, apa sih yang nggak buat calon istri aku".
"Gombal deh".
"Rahman, kamu ajak Santi makan sana. Dia belum makan loh katanya mau nungguin kamu biar bisa makan bareng". Ujar sang mama.
"Santi, kenapa kamu gak makan sih. Yaudah kamu makan sekarang ya, aku temenin".
Santi mengernyitkan dahi. "Cuma di temenin? Kamu gak ikut makan juga?".
Rahman menghela nafas. "Maafin aku sayang, maunya sih aku ikut makan bareng kamu. Tapi aku baru aja makan malam di rumah kolega ku, gak apa-apa kan kalau aku temenin aja?".
"Iya gak apa-apa, mas". Sahut Santi tersenyum.
Rahman segera menemani Santi makan malam, walau makan malamnya agak terlambat tapi Santi senang karena makan malam kali ini di temani oleh calon suaminya.
"Gimana dengan kuliah kamu?". Tanya Rahman menopang dagu dengan kedua tangannya.
"Alhamdulillah lancar, oh iya aku mau kasih tau soal ini sama kamu". Sahut Santi yang langsung menyodorkan kertas nilai semester nya kali ini.
"Apa ini?".
"Nilai semester aku, mas".
Rahman segera membuka amplop tersebut dan sedikit terkejut ketika melihat nilai ujian semester milik Santi yang sangat bagus.
"3,98? Serius ini nilai ipk kamu semester ini?".
"Iya mas".
"Wah, ini mah kamu bisa jadi pengusaha sukses nih nanti kalau udah lulus".
"Aamiin".
"Bisa-bisa aku punya saingan dong nanti".
Santi menghela nafas dan meletakkan sendoknya. "Mas, kok ngomong nya gitu? Justru harusnya kita bersatu dong mengembangkan bisnis kita sama-sama".
Rahman terkikik. "Iya juga ya".
"Mas, kamu udah tau belum kalau ibu sama Dokter Amar mau adopsi anak?".
"Aina kan?".
"Iya mas. Masha Allah, Aina itu pinter banget ya mas".
"Iya udah lucu, cantik, pinter lagi. Semoga kalau sudah nikah nanti kita dikasih anak-anak yang lucu dan pintar kaya Aina".
Santi tersenyum. "Aamiin".
***
Keesokan harinya Rahman segera mengantar Santi menuju rumah Sabila. Santi sudah tidak sabar ingin memberikan kejutan untuk ibu angkatnya dengan kedatangan dirinya.
Sesampainya di depan rumah Sabila, Rahman segera memarkirkan mobilnya di depan rumah Sabila. Sementara Santi bergegas turun dari dalam mobil dan langsung mengetuk pintu rumah Sabila. Tak lama kemudian Sabila membukakan pintu, Sabila terkejut melihat seseorang yang sudah berada dj hadapannya.
"Santi". Seru Sabila.
"Ibu". Sahut Santi, mereka berdua langsung saling memeluk satu sama lain.
"Kamu mau kesini kok gak ngabarin ibu sih".
"Kalau aku ngabarin ibu, namanya bukan surprise dong".
Sabila tersenyum. "Yaudah yuk kita masuk, mas ayo masuk".
"Iya Sabil".
Mereka bertiga langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Sementara Sabila segera bergegas membuatkan minuman untuk tamunya, Santi senang kembali menginjakkan kakinya di rumah ini. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di rumah ini, ia masih ingat betul pertama kalinya ia datang ke rumah ini sebagai perawat Sabila.
Saat itu almarhum Tommy masih sangat baik padanya dan juga Sabila, bahkan Santi sangat senang melihat kemesraan antara Tommy dan juga Sabila. Namun semuanya sirna ketika Santi menyadari jika Tommy telah berbuat kasar pada istrinya sendiri, Santi memergoki Tommy sedang memukuli Sabila yang terbaring lemah.
Kesan suami terbaik yang pernah Santi sematkan untuk Tommy langsung hilang begitu saja dan berubah menjadi benci yang tak berujung. Tak lama kemudian lamunan Santi buyar ketika seseorang menyadarkan lamunannya.
"Santi, kamu ngelamunin apa nak?". Ujar Sabila.
"Eh, ibu. Bikin kaget aja, aku tiba-tiba ke inget waktu pertama kali aku datang ke rumah ini. Pada saat itu almarhum Pak Tommy masih sangat baik dan perhatian sama ibu".
Sabila menghela nafas. "Ibu juga terkadang masih teringat, pertama kali ibu jatuh di dapur dan tubuh ibu semuanya terasa kaku. Waktu ibu di bawa ke rumah sakit, ibu sudah tidak bisa bicara dan tidak bisa mengerakkan tangan sama sekali".
"Maafkan aku Sabil, semua itu salah ku". Ujar Rahman sedikit terisak.
"Mas, sudah aku tidak mempermasalahkan hal itu".
"Kalau bukan karena aku, pasti rumah tangga kalian berdua baik-baik saja. Dan mungkin sampai saat ini Tommy dan Laras juga masih hidup".
"Kamu yang sabar ya mas". Ujar Santi menguatkan.
"Mas, semua itu sudah takdir. Sudah ah jangan bahas itu, bahas yang lain aja". Seru Sabila.
"Iya ya kan kedatangan aku kesini mau kasih tau ibu soal ini". Ujar Santi sambil menyodorkan sebuah amplop pada Sabila.
Sabila meraih amplop tersebut. "Amplop apa ini nak?".
"Itu nilai hasil ujian semester ku bu".
Sabila segera membuka amplop tersebut dan ia terkejut ketika melihat nilai-nilai ujian semester Santi yang sangat memuaskan.
"3,98? Masha Allah, ibu bangga liatnya Santi". Seru Sabila antusias.
"Iya bu dan alhamdulillah nya aku dapet beasiswa sampai lulus kuliah nanti. Rencana nya aku mau ambil beasiswa itu, bu".
Sabila terkejut. "Loh, tapikan kamu mau ikut Mas Rahman ke Amerika dan melanjutkan kuliah disana".
"Justru itu Sabil, Santi minta aku untuk menunda pernikahan sampai ia lulus kuliah". Sahut Rahman.
"Apa kamu sudah pikirin semua ini matang-matang Santi? Ibu gak mau kalau kamu salah ambil tindakan".
Santi tersenyum. "Ya ampun bu, ini kan demi masa depan aku dan juga Mas Rahman. Kamu juga jangan gitu dong mas, semalam kamu udah dukung aku loh".
Sabila termenung dan hanya takut jika anak angkatnya tersebut bisa batal menikah. Mengingat kini ada Diana di antara mereka berdua, yang sewaktu-waktu bisa menjadi benalu dalam hubungan mereka berdua.
"Bu, ibu kok malah melamun". Seru Santi.
"Ah, nggak kok. Yaudah di minum dulu ya teh nya, kebetulan tadi ibu baru aja masak nasi. Nanti kita makan siang sama-sama ya".
"Ah Sabil, kayanya aku gak bisa ikut makan siang bareng. Soalnya abis ini aku mau ke gerai mebel yang ada di Serpong". Ujar Rahman.
"Oh gitu, yaudah gak apa-apa".
"Kabarin aku ya mas, kalau udah sampai Serpong".
"Iya sayang, yaudah aku pergi dulu ya".
"Iya mas". Sahut Santi.
Sabila tersenyum melihat kemesraan di antara mereka berdua, tapi ada sedikit perasaan pada diri Sabila. Sabila hanya takut jika Rahman berubah pikiran dan malah tidak jadi menikahi Santi.
Astagfirullahaladzim, pikiran macam apa ini. Gumam Sabila dalam hati.
***
Diana.
Aku masih terus memikirkan ucapan Rahman kemarin, bagaimana bisa ia sama sekali tidak menarik di mata Rahman. Bahkan menurut nya ia sudah dandan secantik mungkin untuk mendapatkan perhatian dari Rahman.
Lamunan ku buyar ketika pintu ruangan ku di ketuk, aku segera membukanya dan di sana menampilkan sosok Amar yang sudah berada di hadapan ku.
"Amar, ada apa?".
"Mau makan siang bareng?".
"Hah?". Seru ku bingung.
"Kok hah, mau makan siang bareng gak?". Amar menegaskan kalimatnya sekali lagi.
"Iya boleh, bentar ya aku ambil dompet dulu".
"Gak usah, kali ini biar aku yang traktir".
"Serius?". Ujar ku antusias.
Amar mengangguk sementara aku langsung melepas jas putih kebanggaan ku dan menggantungnya di dalam lemari.
"Ayo, emm.. Tapi apa gak apa-apa kalau kita makan bareng? Aku takut istri kamu salah paham".
Amar tersenyum. "Gak apa-apa, lagian kan Sabila udah tau kalau kita itu temen lama".
"Iya sih, aku cuma gak enak aja. Takutnya istri kamu ngelarang kamu untuk deket-deket sama aku".
"Ya nggak lah, istri aku itu wanita paling baik sedunia". Gumam Amar.
Aku tersenyum dan langsung mempercepat langkah karena melihat pintu lift yang akan tertutup.
"Kita mau makan dimana?". Tanya ku.
"Di cafe sebrang rumah sakit aja, di sana pilihan menu makanannya enak-enak".
"Oh ya? Ada iga bakar?".
"Sop iga juga ada".
"Asyik". Aku bersorak riang.
Pintu lift terbuka, kami berdua segera bergegas keluar dari dalam lift yang membawa kami ke lantai lobby rumah sakit. Kami berdua langsung berjalan menyusuri halaman rumah sakit lalu bergegas untuk menyebrang jalan menuju cafe tersebut.
Setelah mendapat tempat duduk yang nyaman, Amar segera meminta daftar menu pada pelayan cafe. Sementara aku segera menjelajahi buku menu tersebut dan akhirnya aku menemukan menu iga bakar yang aku inginkan.
"Fix, aku pesen iga bakar". Ujar ku penuh semangat.
"Boleh, mau berapa porsi?". Seru Amar.
"5 porsi boleh?".
"Boleh, asal di habiskan".
Aku terkikik. "Bercanda, yaudah aku mau pesen iga bakar. Terus minumnya jeruk panas aja".
"Oke aku catat ya". Ujar Amar yang langsung mencatat menu pesanan mereka berdua, lalu Amar menyerahkan kertas menu tersebut kepada pelayan cafe tersebut.
"Makasih ya, udah mau traktir aku".
"Belum juga makan, udah makasih aja".
Aku tersenyum. "Ya kan ngucapin makasih dulu, takut lupa".
Amar menghela nafas. "Iya sama-sama, gimana kerjaan kamu hari ini?".
"Alhamdulillah lancar, kamu sendiri gimana?".
"Ya alhamdulillah, aku juga lancar. Kamu sama Rahman udah kenal lama?".
"Nggak kok, baru aja. Kebetulan waktu itu Rahman berobat sama aku dan pas aku pulang praktek, aku udah lihat dia ada di ruang tengah lagi bahas bisnis sama papa dan semenjak itu yaudah kita temenan".
"Oh gitu, pantesan kelihatan kaya udah kenal lama. Ternyata papa kamu bisnis bareng sama Rahman".
"Ya begitu deh. Emm, menurut kamu Rahman itu orangnya gimana?". Tanya ku penasaran.
"Ya baik, dia tipikal orang yang baik dan juga bertanggung jawab. Kenapa? Kamu suka ya sama dia".
"Ih apaan sih, nggak kok". Kelak ku dengan cepat dan hal itu membuatku sedikit salah tingkah.