(Sebelumnya)
"Emm, menurut kamu Rahman itu orangnya gimana?". Tanya ku penasaran.
"Ya baik, dia tipikal orang yang baik dan juga bertanggung jawab. Kenapa? Kamu suka ya sama dia".
"Ih apaan sih, nggak kok". Kelak ku dengan cepat dan hal itu membuatku sedikit salah tingkah.
***
Tak lama kemudian pesanan mereka berdua datang, Diana segera menghirup aroma iga bakar miliknya. Sementara Amar masih sibuk mengaduk-aduk soto Lamongan yang di pesannya.
"Dari dulu masih aja suka iga bakar ya. Kalau gak ada yang jual iga bakar pasti kamu bikin sendiri di apartemen". Ujar Amar.
"Ih, masih inget aja".
"Ya ingetlah, siapa lagi coba yang di repotin buat bikin bumbu iga bakarnya kalau bukan aku".
Diana tertawa. "Abis bumbu iga bakarnya kamu tuh enak banget sih, Mar. Lagian kenapa dulu kamu gak buka aja kedai iga bakar di New york".
"Kalau aku buka kedai di sana, nanti yang ada pulang ke Indonesia aku bukannya jadi dokter tapi malah jadi chef. Bingung nanti seluruh keluarga ku, lagian kamu tuh kurang-kurangin makan iga bakar nanti kolesterol loh".
"Kan gak setiap hari".
"Kamu suka ya sama Rahman?".
Ucapan Amar seketika membuat Diana tersedak, dengan cepat Amar langsung memesan air mineral di meja kasir lalu bergegas memberikannya pada Diana. Mengingat minuman yang mereka pesan adalah jeruk panas, jadi tidak bisa di minum langsung oleh Diana.
"Ini di minum dulu". Ujar Amar.
Diana segera menenggak minuman nya dan barulah ia bisa berhenti batuk.
"Gimana? Mendingan?". Tanya Amar memastikan.
"Iya mendingan".
"Maaf ya".
"Maaf untuk apa?". Tanya Diana bingung.
"Soal pertanyaan yang tadi, yang aku tanya tentang Rahman".
Diana menghela nafas. "Kenapa tiba-tiba kamu tanya kaya gitu?".
"Ya abis kalian berdua keliatan deket banget".
Diana kembali menghela nafas. "Kan sudah ku bilang, Amar. Aku dan Rahman dekat karena Rahman rekan bisnis papa ku, apa aku salah kalau dekat sama dia? Ya kan sama aja kaya aku dekat sama kamu".
Amar memasang cengiran kuda. "Iya deh, maaf ya".
Diana mendengus pelan melihat tingkah Amar, ia kembali melanjutkan makannya.
Sementara itu di lain tempat Rena yang sedang tertidur pulas tiba-tiba terbangun karena mendengar notifikasi ponselnya berbunyi. Ia segera meraba ponselnya yang ia letakkan di atas nakas samping ranjang tidurnya.
Rena mengerjapkan matanya lalu melihat notifikasi pesan tersebut yang ternyata adalah laporan persetujuan pengajuan dana pinjaman. Rena segera bangkit dari tidurnya dan langsung mengecek m-banking miliknya, ia tersenyum sumringah ketika melihat nominal angka di rekeningnya bertambah.
Astaga, bangun tidur dapat rezeki nomplok. Gumam Rena.
Ia segera beranjak dari tempat tidur dan mencuci muka agar sedikit segar, di lihat nya jam dinding yang menempel di sudut ruangan kamar tidurnya yang ternyata baru menunjukkan pukul satu siang. Perutnya terasa lapar, mengingat kini porsi makannya bertambah karena ada janin di dalam perutnya yang juga membutuhkan asupan makanan.
Ia memutuskan untuk keluar rumah mencari udara segar sambil mencari makan siang untuknya dan juga calon anaknya. Tepat satu bulan sudah Rena mengontrak rumah, bahkan Rena juga masih sering mendatangi Rio untuk meminta Rio kembali padanya. Namun usaha nya tersebut selalu gagal dan tidak pernah membuahkan hasil.
Pernikahan antara Rio dan Anya tinggal hitungan hari, Rena tidak bisa tenang karena bagaimanapun Anya telah menghancurkan hidupnya. Ketika Rena sedang berhenti di lampu merah, ia seperti melihat seseorang yang tidak asik baginya. Ya, benar saja orang itu adalah Anya dan tanpa pikir panjang Rena segera menancapkan gas lalu melaju kencang menghampiri Anya.
Kali ini Rena telah di butakan oleh emosinya, ia segera menabrak Anya yang kini sudah tepat berada di hadapannya. Namun na'as Anya tidak sempat ia tabrak, karena seorang laki-laki telah mendorongnya dan hal itu membuat Anya selamat. Rena kesal karena lagi-lagi usahanya untuk mencelakai Anya harus gagal.
Sial, kenapa harus selamat lagi sih. Gerutu Rena kesal.
Rena segera kabur untuk melarikan diri, sementara itu Anya yang masih shock langsung melihat ke arah laki-laki tersebut. Anya berteriak histeris ketika melihat Rio sudah terbujur kaku dengan luka parah di bagian kepala akibat benturan yang sangat keras.
Anya langsung meminta bantuan pada orang sekitar untuk membawa Rio menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Rio segera di tangani oleh dokter. Anya tak henti-hentinya menangis karena masih shock dengan kejadian yang baru saja menimpanya.
Tak lama kemudian dokter yang memeriksa Rio telah keluar dari dalam ruangan, Anya segera menghampiri dokter tersebut dan langsung menanyakan keadaan Rio.
"Dokter, gimana Rio?". Tanya Anya panik.
"Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, ada luka yang serius di bagian kepalanya. Maka dari itu kami akan segera melakukan operasi?".
"Apa?! Operasi dok? Yasudah lakukan apapun asal calon suami saya sembuh, dok". Ujar Anya.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, bu. Kalau begitu saya permisi dulu, ibu bisa mengurus biaya administrasi terlebih dahulu".
"Baik, dokter".
Anya segera menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan biaya administrasi Rio. Demi kesembuhan Rio, Anya akan melakukan hal apapun asal calon suaminya tersebut bisa kembali sehat.
***
Santi baru saja selesai membantu Sabila menyiapkan makan malam, ia sangat senang karena bisa membantu ibu angkatnya lagi setelah berpisah selama beberapa bulan. Santi menetap di Jogja bersama Fira di rumah orang tua Sabila, karena ia sedang berkuliah di salah satu universitas ternama di kota Jogja. Tak lama kemudian ponsel Santi berdering, di layar ponsel tertera nama Rahman. Ia segera menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo mas".
"Halo sayang, kamu lagi apa?".
"Baru aja selesai bantuin ibu bikin makan malam, kamu udah sampai rumah? Udah makan malam belum?".
"Belum, aku masih di Serpong. Ini aku udah order online dan bentar lagi makanan ku datang".
"Kamu mau pulang jam berapa? Ini udah jam tujuh malam".
"Paling nanti dari sini jam sembilan, sayang. Sayang, udah dulu ya nanti aku telepon lagi. Kayanya orderan aku udah sampai tuh di depan, kamu jangan lupa makan ya".
"Iya mas".
Sambungan telepon pun terputus, Santi kembali meletakkan ponselnya dan melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat terhenti. Menu makan malam kali ini sayang spesial, karena Santi membuat oseng-oseng mercon paru dan juga tempe goreng tepung.
Sabila segera menghampiri Santi yang kini sudah siap menata masakannya di meja makan, Sabila tersenyum melihat masakan Santi sudah tersaji di atas meja makan.
"Wah, kelihatannya enak nih. Kamu pasti di jogja sering makan oseng-oseng mercon di depan kampus ya, hayo ngaku". Gumam Sabila.
Santi melempar senyum dan di tambah cengiran kuda. "Ibu tau aja, abis enak banget kan bu. Ibu dulu pas jaman kuliah juga sering makan disitu kan".
"Jelas, soalnya kedai depan kampus itu masakan oseng-oseng mercon nya beda dari yang lain. Pokoknya khas banget rasanya dan gak ada tandingannya".
"Resep oseng-oseng mercon paru yang baru aja aku masak, resepnya ini aku boleh dapet dari ibu penjualnya loh bu".
"Serius? Baik banget ya ibunya, Santi sebentar ya kayanya Mas Amar sudah sampai". Gumam Sabila yang langsung bergegas menuju teras rumah.
Sementara Santi kembali menyiapkan beberapa piring dan juga gelas, lalu menatanya dengan rapi di meja makan.
"Assalamualaikum". Ujar Amar.
"Waalaikumsalam, mas aku punya kejutan buat kamu".
Amar mengernyit kan dahinya. "Kejutan? Perasaan aku gak ulang tahun".
"Ihh, bukan kejutan ulang tahun. Pokoknya ayo cepet ikut aku ke dalam".
Amar begitu penasaran dengan kejutan yang akan Sabila berikan dan sesampainya di ruang makan, Santi langsung berteriak untuk menyambut kedatangan Amar.
"Surprise". Teriak Santi berteriak.
"Santi, ya ampun kapan datang kamu? Gimana kabar kamu? Sehatkan? Fira, ibu dan bapak gimana kabarnya". Seru Amar.
"Alhamdulillah aku baik Pak Dokter, Fira, nenek dan kakek juga baik-baik aja. Aku baru sampe Jakarta tadi malam dan langsung ke rumah orang tua Mas Rahman".
"Oh begitu, jadi kamu ke Jakarta kangen sama Mas Rahman ya". Gerling Amar.
"Nggak ya, aku ke Jakarta karena kangen sama ibu".
"Ah masa sih?".
"Mas, Santi nilai ipk nya di semester awal sangat memuaskan loh". Ujar Sabila.
"Oh ya? Berapa?". Tanya Amar.
"3,98 mas. Gimana? Keren kan mas".
"Wah, kayanya ada yang mau nyaingin aku nih". Ujar Amar.
"Ih, apaan sih Pak Dokter. Ipk Pak Dokter lebih tinggi kan, pasti dapat di angka empat koma teruskan?".
"Uhh, sok tau". Ujar Amar.
"Tau dong, kan aku punya indera ke enam".
"Yaudah ngobrol nya di lanjut nanti ya, sekarang kamu mandi ya mas. Kita berdua tunggu di meja makan, Amar segera bergegas menuju kamar mandi. Sementara Sabila langsung menyiapkan pakaian untuk suaminya.