Rena sedang termenung di ruang tamu, pikirannya masih terus saja pada Rio. Rena takut jika Rio tidak bisa di selamatkan dan Anya akan menjebloskan nya ke penjara. Dan benar saja ternyata Rio dan Anya datang menemui Rena, Rena sangat terkejut melihat keadaan Rio yang menggunakan kursi roda. Sementara Rio menatap tajam Rena, dia langsung berteriak pada Rena dan memakinya.
"Puas kamu Rena? Puas lihat aku cacat begini?" teriak Rio.
"Apa?! Kamu cacat mas?" tanya Rena bingung.
"Iya Rio lumpuh permanent sekarang, apa kamu puas melihat semua ini sekarang? Pernikahan kami berdua jadi tertunda, itu kan yang kamu mau Rena?" seru Anya.
Rena menggeleng. "Nggak, aku gak bermaksud seperti itu".
"Omong kosong Rena, kamu ini dendam kan sama aku? Makanya kamu sampai berbuat seperti ini" teriak Rio.
"Yang kamu mau, Rio itu balikkan sama kamu? Kamu mau Rio balik sama kamu kan Ren? Makanya kamu berniat untuk mencelakai aku demi mendapatkan Rio. Ngaku Ren, aku udah tau semua rencana busuk kamu. Dari awal kamu emang pengen misahin aku dari Rio kan?" sergah Anya.
Rena bingung, ia hanya terdiam melihat keadaan Rio yang sekarang sudah tidak berdaya. Rena tidak menyangka jika niat buruknya yang ingin mencelakai Anya malah berujung pada Rio yang menanggung semuanya.
"Kenapa diam, Ren. Jawab aku" tegas Anya.
"I-iya, aku memang ingin mencelakai kamu demi mendapatkan Rio kembali" sahut Rena terbata.
"Kamu bisa main dengan cara sehat, tanpa bikin cacat salah satu dari kami, Ren. Tapi semua itu sudah terlambat, kamu gak bisa balikin Rio supaya bisa jalan lagi" ujar Anya sambil terisak.
"Maa-maaafkan aku Anya, Rio" gumam Rena yang ikut terisak.
"Maaf pun aku rasa sudah percuma Ren, kalau kamu mau Rio balik lagi sama kamu bukan kaya gini caranya" seru Anya kesal.
"Maaf, maaf kan aku Rio."
"Kamu puas kan, udah deh gak usah basa basi lagi Ren. Mulai hari ini aku serahkan Rio sama kamu" ujar Anya.
Rio terbelalak. "Maksud kamu apa ngomong kaya gitu, Anya?"
"Maaf Rio, aku terpaksa. Aku gak mau kamu di celakai sama Rena, kalau kamu masih tetap sama aku" sahut Anya terisak.
"Tapi Anya, kita kan sudah mau menikah" renggek Rio sambil memegangi tangan Anya.
"Maaf Rio, aku rasa kamu harus tanggung jawab dengan anak yang di kandung Rena. Bagaimanapun anak itu adalah anak kamu"
"Tapi Anya—cukup Rio, aku rasa kita gak perlu bahas apa-apa lagi. Aku akan pergi, aku tidak akan mengambil apapun dari kamu" Anya memotong ucapan Rio sambil memberikan kunci rumah dan barang berharga yang pernah Rio berikan.
"Ini rekening hasil penjualan apartemen Rena yang sedari awal kamu meminta aku untuk mengelolanya juga aku kembalikan, sepeserpun tidak pernah aku gunakan uang itu" ujar Anya.
"Tapi Anya."
"Rio cukup, Rena adalah tempat ternyamanmu untuk pulang. Aku doakan semoga kalian berdua bahagia, maafkan aku yang pernah masuk dalam hubungan kalian berdua" gumam Anya yang langsung pergi dari hadapan Rio dan Rena.
"Anya tunggu Anya, Anya" panggil Rio, namun Anya tak menghiraukan ucapan Rio.
"Puas sekarang kamu Rena, lihat aku begini?" seru Rio.
"Mas, maafin aku. Aku gak bermaksud untuk mencelakakan kamu" ujar Rena.
Namun Rio hanya terdiam sambil terisak, sementara Rena masih bingung harus melakukan apa. Entah ia harus senang atau sedih melihat Rio kembali padanya. Karena bagaimanapun Rena tetap mencintai Rio dan tidak ada maksud untuk mencelakai Rio.
Rena memutuskan membiarkan Rio untuk sendiri, ia segera bergegas ke dapur untuk memasak makan siang untuknya dan juga Rio. Sementara Rio masih termenung dan tidak percaya jika Anya akan meninggalkan nya. Yang bikin Rio tidak percaya, walaupun Anya pergi namun ia tidak membawa harta benda miliknya.
"Anya kenapa kamu pergi" gumam Rio lirih sambil melihat foto Anya di ponselnya.
Tak lama kemudian Rena datang dan mengajaknya untuk makan siang, namun dengan cepat Rio memarahinya.
"Mas, makan siang dulu yuk. Aku udah masakin makanan kesukaan kamu" ujar Rena lirih.
"Menjauh dariku Rena, karena aku muak melihat manusia jahat kaya kamu" tegas Rio.
Rena langsung berdiri dari posisinya yang semula membungkuk di hadapan Rio. "Apa katamu mas? Aku jahat? Sekarang aku tanya sama kamu, siapa di antara aku dan Anya yang lebih jahat? Anya pergi ninggalin kamu ketika kondisi kamu sudah seperti ini, tapi aku? Aku masih mau ngurus kamu di sini, mas" seru Rena.
Namun Rio tak bisa menjawab apapun tentang pertanyaan Rena. Karena menurutnya ucapan Rena ada benarnya juga.
"Kenapa kamu diam, Rio?" seru Rena.
Rio menatap Rena dalam. "Apa kamu masih mau menerima aku? Walau keadaan aku seperti ini?"
Rena menghela nafas. "Kalau aku gak mau, ngapain aku biarin kamu masih tetap ada di sini."
Rio merentangkan tangannya pada Rena, sementara Rena langsung memeluk Rio dengan erat.
"Terima kasih, Rena" ujar Rio.
"Iya mas, sama-sama. Aku minta maaf ya, karena ulahku kamu jadi begini" sahut Rena terisak. "Yaudah mending sekarang kita makan dulu ya mas, aku udah masakin makanan kesukaan kamu" sambung Rena yang langsung mendorong kursi roda Rio menuju ruang makan.
***
Diana sedang asyik memilih pernak-pernik untuk kebutuhan kamar tidurnya, tiba-tiba pandangannya terfokus pada seseorang yang berjarak dua rak dari tempatnya berdiri. Diana kembali meletakkan sebuah bingkai foto di rak etalase, lalu bergegas menuju rak sebelah yang ternyata ia menemukan Rahman dengan seorang perempuan di sana sedang asyik memilih beberapa model lampu taman.
Diana tercengang melihat kedekatan mereka berdua, ia segera memundurkan langkahnya agar Rahman tidak melihat keberadaannya. Namun Diana kurang cepat, karena tiba-tiba Rahman sudah ada di hadapannya.
"Diana, kamu di sini juga" ujar Rahman senang.
"I-iya mas, aku lagi nyari bingkai foto" sahut Diana lirih.
Tak lama kemudian seseorang menghampiri mereka berdua.
"Mas, kalau yang ini gima—" ucapannya tertahan ketika melihat Rahman sedang bersama Diana, sementara Rahman segera menoleh.
"Kenapa sayang?" tanya Rahman pada Santi, dan ucapan itu seketika membuat hati Diana remuk.
"Dia siapa mas?" tanya Santi.
"Oh iya, kenalin ini Dokter Diana. Anaknya kolega aku yang waktu itu pernah aku ceritain ke kamu" Rahman menjelaskan.
"Oh iya aku inget, kenalin dokter. Saya Santi" ujar Santi yang langsung mengulurkan tangannya.
Diana langsung menjabat tangan Santi. "Diana, panggil Diana aja."
Santi tersenyum. "Aku panggil kakak aja ya, karena kelihatannya kamu sepantaran sama Mas Rahman"
"Iya terserah kamu aja" sahut Diana.
"Oh ya Diana, Santi ini calon istri aku. Ya walaupun aku masih harus nunggu dia tiga tahun lagi sampai lulus kuliah" ujar Rahman.
Lagi-lagi ucapan Rahman bak sembilu tajam yang menghujam jantungnya. "Loh, kok kamu gak pernah cerita sama aku kalau udah punya calon istri"
Rahman tersenyum. "Iya sengaja aku mau ngenalin langsung kalau orangnya ada di sini"
"Memang Santi kuliah di mana?" tanya Diana.
"Di jogja kak, kebetulan ini lagi liburan semester makanya aku lagi pulang ke Jakarta buat ngecek cowo ini nih" gerling Santi pada Rahman.
"Oh di Jogja, kamu gak perlu khawatir Santi. Mas Rahman ini orang baik, dia gak mungkin macem-macem sama kamu" ujar Diana tersenyum.
"Oh iya Diana kebetulan aku sama Santi mau makan malam abis ini. Gimana kalau kita makan bareng sekalian?" ajak Rahman.
"Duh, pengen sih sebenernya. Tapi aku udah ada janji sama temen aku" ujar Diana.
"Temen apa pacar?" gerling Rahman.
"Temen, mas. Yaudah aku duluan ya, kebetulan aku udah selesai belanjanya" gumam Diana.
"Iya, kamu hati-hati ya" sahut Rahman.
"Hati-hati ya kak" sahut Santi.
Diana tak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya dan bergegas pergi dari hadapan mereka berdua. Diana terpaksa berbohong pada Rahman, karena dia tidak sanggup jika harus melihat kemesraan mereka berdua. Diana segera melajukan mobilnya menuju rumah, sepanjang perjalanan Diana masih terbayang gimana cara Rahman memperlakukan Santi.
Diana dapat melihat jelas jika Rahman benar-benar mencintai Santi, dan begitu sebaliknya. Diana begitu frustasi, karena ketika dia mencoba kembali untuk membuka hati. Tapi dia harus kembali merasakan luka batin jika orang yang di cintainya sudah memiliki pasangan masing-masing. Sesampainya di rumah, Diana segera masuk ke dalam kamar.
Diana tak menghiraukan kedua orang tuanya yang berada di ruang tengah. Kedua orang tuanya saling pandang dan merasa aneh dengan tingkah Diana malam ini. Sang mama langsung menyusulnya ke dalam kamar, sementara Diana yang berada di dalam kamar sedang terisak mengingat pertemuannya dengan Rahman.
"Diana, kamu kenapa? Pulang-pulang kok gak salam sama mama dan papa. Dan sekarang kamu malah lagi nangis, coba cerita sama mama. Ada apa Diana? Kamu ada masalah apa?" tanya sang mama.
Diana segera memeluk sang mama. "Mah, tadi aku ketemu Mas Rahman sama calon istrinya. Ternyata Mas Rahman sudah punya calon istri, mah"
"Apa?! Rahman sudah punya calon istri?" sang mama terbelalak tak percaya. "Yang bener kamu, Diana? Setau mama dia gak lagi deket sama siapa-siapa" sambung sang mama.
"Calon istrinya emang gak tinggal di Jakarta, ma. Tapi di jogja, karena masih kuliah di sana?" ujar Diana.
"Udah ya Diana, kamu jangan sedih. Mama yakin kamu pasti dapat jodoh yang lebih baik lagi" sahut sang mama.
Diana menganggukkan kepalanya dan kembali memeluk sang mama, sementara sang papa yang mendengar percakapan mereka berdua dari luar kamar merasa sangat teriris. Ketika mengetahui jika anak semata wayangnya jatuh cinta pada Rahman.